Episode 4. Mimpi Aneh
Mentari t'lah bergulir lama tertelan bumi. Malam kian larut. Di satu bilik, seorang gadis belum juga bisa memejamkan matanya. Ia hanya membolak-balikan badannya. Bayangan pria dewasa yang baru saja dijumpainya dengan tidak sengaja tadi siang, tidak juga lepas dari ingatannya.
Kecupan itu! Kecupan yang hanya sekedipan mata di pipinya, masih terasa bekasnya. Diraba pipinya perlahan. Dadanya berdebar-debar membayangkannya.
Ia merasa heran dengan apa yang terjadi pada dirinya. Selama ini, ia tidak pernah peduli dengan makhluk yang namanya cowok, lelaki, pria atau sejenisnya. Namun kali ini mengapa ia merasa peduli? Mengapa ia sejak tadi selalu memikirkannya? Ia seperti mengenal pria itu. Ia merasa begitu dekat dengannya. Namun siapa? Ia belum pernah bertemu dengannya. Mengapa peristiwa-peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini sepertinya pernah dialaminya?
Regina! Ia ingat, tadi pria itu menggumamkan sebuah nama, saat melihatnya. Siapa Gina? Apa hubungan Gina dengan dirinya? Ah! Kepalanya terasa berat memikirkan hal-hal yang tak terjangkau pikirannya.
Akhirnya, dengan pikiran penuh tanda tanya, ia tertidur. Baru saja ia terlelap, ia seperti tersedot ke dalam mesin waktu yang melemparnya ke sebuah masa silam. Masa silam yang tidak ia kenali. Namun semua yang ada di sana, seperti ia kenal.
***
Ia merasa berada di sebuah ruang kelas Sekolah Menengah Umum. Kelas itu seperti mirip dengan kelasnya yang sekarang. Hanya semua muridnya berbeda, dan warna dinding kelas berbeda dengan yang sekarang.
Ia duduk di bangku kedua barisan tengah. Di sampingnya ada sebuah bangku yang kosong.
Seorang guru cantik berdiri di depan kelas dan berkata, "Selamat pagi anak-anak! Sebelum kita mulai pelajaran Kimia hari ini, Kelas kalian akan mendapatkan seorang murid baru. Silakan kamu memperkenalkan dirimu."
Seorang gadis tomboy, berdiri di samping guru itu dan memperkenalkan dirinya. "Selamat pagi, teman-teman. Nama saya Anggawati Kusuma. Kalian bisa memanggil saya Angga." Si tomboy yang bernama Anggawati atau Angga itu, menyapu pandangannya ke seluruh ruang kelas. Semua murid nampak diam dan memperhatikannya. Sebagian yang lain berbisik-bisik.
"Ada yang ingin ditanyakan pada Angga anak-anak?" tanya Sang Guru penuh wibawa.
"Udah punya pacar belum?" Seorang murid laki-laki yang duduk di depannya yang bernama Joko menatap ke arah Angga.
"Belum!" jawab Angga pendek.
"Seorang anak perempuan yang duduk paling kiri depan menangangkat tangannya. "Hobi kamu apa?"
Seorang murid lelaki yang duduk dua baris dari kiri menyela, "Kalo diliat tampangnya, pasti sepak bola dan angkat berat! Lihat badannya, gagah gitu!"
Grr! Seluruh kelas tertawa.
Wajah Angga memerah. Ia menatap anak itu dengan tatapan marah.
"Sudah! Sudah! Nanti kalian tanya saja langsung dengan Angga. Kamu duduk dengan Regina di sana." Kelas menjadi tenang kembali. Sang Guru menunjuk ke arah dirinya "Silakan duduk."
Diperhatikannya Angga. Anak yang jauh dari kesan feminin. Ia lebih terlihat maskulin. Berwajah tegas dengan rambut pendek agak berantakan. Tubuhnya tegap dan gagah seperti seorang atlet bela diri. Tingginya mungkin sekitar 170 cm dengan berat badan sekitar 62 kg. Tidak seperti dirinya yang hanya mempunyai tinggi 148 cm dan berat badan 43 kg.
Seorang teman lelaki yang duduk paling depan memulai keisengannya. Ia menjulurkan kakinya saat Angga akan menuju tempat duduknya. Bruk! Angga terjerembab tersandung kakinya.
Grrr! Semua murid di kelas itu tertawa tak terkecuali dirinya. Kelas yang tadinya hening, tiba-tiba menjadi ramai. Sang Guru hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Semua diam!" bentaknya suara menggelegar.
Sontak semua murid di kelas itu diam. "Joko, jam istirahat nanti kamu ke kantor ibu!" Mata Sang Guru tajam menatap temannya yang duduk di depan, yang diketahui bernama Joko.
Joko duduk terdiam di kursinya. Ia agak takut pada guru yang nampak killer itu.
Angga bangkit dan mengibaskan rok yang dikenakannya! Ditatapnya Joko dengan penuh emosi, sambil mengemeletakkan giginya. "Awas kau!" Angga melangkah menuju bangku yang di sampingnya.
Dirinya terkejut melihat Angga jatuh. Diperhatikannya anak perempuan itu. Rambut dan pakaian seragamnya berantakan sekali. Jalannya juga terlalu gagah dan tegap, tidak seperti perempuan, hingga nampak lucu memakai rok. Ia senyum-senyum sendiri.
Angga melangkah ke tempat duduknya, meletakkan tasnya ke laci mejanya sambil duduk. Ia mendengus melihat dirinya tersenyum-senyum sambil menatap Angga. Angga membentaknya dengan suara ditahan agar tidak terdengar Bu Susi. "Apa lo senyum-senyum! Lucu ya?!"
Ia langsung terdiam. "Galak banget, ni orang!" Hatinya menjadi ciut.
"Nama lo sapa?" tanya Angga dengan suara ketus.
"Regina, panggil aja Gina." ucapnya ragu-ragu. Oooh, dirinya mengapa memperkenalkan diri dengan nama Regina?
"Lo, seneng liat gua jatoh?" Suara Angga masih saja sewot.
"Ssst, jangan berisik, entar Bu Susi marah. Dia terkenal killer!" Gina meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. Ia agak ngeri melihat tampang Angga dengan wajah ditekuk seperti itu. Ia paling tidak suka melihat orang marah, karena itu ia selalu sabar dan mengalah pada siapa saja.
Pulang sekolah Angga menunggu Joko di depan gerbang sekolah. Saat Joko muncul ia langsung mencegatnya sambil berkacak pinggang. "Lo belum tau siapa gua ya?" hardik Angga.
"Gue udah tau, kok. Lo kan anak salah satu pengurus yayasan sekolah. Gue minta maaf, ya?" ucap Joko dengan nada menyesal.
"Pasti Bu Susi yang kasih tau! Enak aja, lo minta maaf! Lo harus, gua kasih pelajaran!" Angga yang sejak tadi menahan kekesalan, menarik kerah kemeja Joko dan mengayunkan tinjunya.
Joko membelalakkan matanya. Ia tidak menyangka gadis tomboy ini begitu kasar dan hendak main pukul saja.
Teman-teman sekelasnya yang melihat kejadian itu langsung berhamburan mendekati mereka. "Angga, stop!" teriak Regina sambil memegangi tangan Angga. Walau berteriak, tetap saja nada suara Gina terdengar sangat lembut. Paling tidak terdengar di telinga Angga. Berbeda dengan dirinya yang tidak biasa berbicara lembut.
Angga menahan tinjunya. "Napa lo peduli sama cowok brengsek ini! Lo pacarnya?" bentak Angga tanpa basa-basi.
Wajah Gina memerah. "Bukan, tapi Gina paling enggak suka liat temen berantem. Jangan nyimpen dendem, Ang. Enggak baek, kan? Mendingan kamu temenan sama Joko. Sebenernya dia baek, kok, Cuma kadang suka iseng aja." Ia sebenarnya merasa simpati pada Angga. Walau terlihat cuek, agak kaku, berantakan dan garang, ia melihat ada sinar ketulusan dan kebaikan di sorot matanya yang tajam.
Hati Angga melunak mendengar suaran lembut Regina. Ia menurunkan tangannya. "Oke, gue maafin lo, karena permintaan Gina." Angga mengulurkan tangannya dan disambut oleh Joko. "Sekarang kita temenan," ucap Angga.
"Oke! Sekarang kita temenan." Mereka berjabatan tangan erat.
"Horeeee!" teriak teman-temannya yang lain yang masih berkumpul di sana. Angga berkenalan satu persatu pada mereka, mengembalikan waktu berkenalan yang tadi terlewatkan karena amarahnya.
"Hei, Gina!" Angga menggapai lengan Gina saat ia hendak beranjak pergi. "Makasih, ya?"
"Makasih untuk apa?" Gina melihat sorot mata Angga begitu berkilat dan tajam, dengan kedua alisnya yang hitam dan tebal. Tiba-tiba, ada sebuah rasa berbeda menyelinap ke dalam relung hatinya. Rasa hangat. Dadanya berdebar tiba-tiba.
"Untuk apa aja, deh." Angga menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. "Lo pulang sama sapa?"
"Sendirian, emang kenapa?" Gina menundukan wajahnya menghindari tatapan mata Angga. Mata itu nampak liar, namun tegas.
"Gue anter, mau?" Suaranya Angga terdengar mantap dan tegas. Tangannya meraih tangan Gina.
"Hmmm... emang rumah Angga di mana?" Hatinya berdebar-debar merasakan sentuhan di tangannya.
Ia baru menyadari, ternyata tangan Angga berotot dan tampak kekar! Ia seolah-olah sedang berhadapan dengan laki-laki, bukan perempuan. Lengan baju Angga nampak dilipat ke atas, membuat otot pangkal lengannya terlihat, men
"Bodoh!" Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia paling tidak biasa berdekatan dengan lelaki.
"Jalan Mawar." Suara pendek namun mantap. Tidak ada kelembutan di sana. Angga memperhatikan Gina.
"Itu sih, jauh dari rumah Gina, Ang." Ditatapnya wajah Angga dengan ekor matanya. Wajah itu terlihat lebih terlihat tampan, walau dengan rambut pendeknya yang berantakan.
"Enggak pa-pa. Gue bawa motor. Mau ya?" Angga seolah memaksanya.
"Ya, deh. Asal enggak ngerepotin Angga, aja," Gina masih menundukkan kepala. Ia meremas-remas tepi roknya. Ia benar-benar nervous. Perasaan ini benar-benar aneh.
"Tuh, motor gue. Yuk!" Angga menunjuk ke arah motornnya yang diparkir dan menarik tangan Gina.
Dada Gina makin berdebar tidak keruan.
Mereka berboncengan menuju rumah Gina. Sepanjang jalan, dada Gina berdebar kencang. Ia heran, dekat dengan teman perempuan yang lain, ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Mengapa dengan Angga bisa seperti ini? Ia berusaha menenangkan diri dan menepis perasaan-perasaan aneh yang muncul di dirinya.
Angga dengan senang hati mengantarnya walau rumah Gina ternyata cukup jauh dari sekolah dan dari rumahnya. Di rumah Gina ia berkenalan dengan Ibu Gina yang cantik, lembut dan baik hati.
Berulang mimpinya berputar seperti sebuah film. Setiap hari Angga makin dekat dengannya dan sering mengantarnya pulang sekolah. Angga betah berlama-lama di rumahnya. Ibunya yang dulu, ternyata penuh perhatian dan lembut.
Angga beralasan, jika di rumahnya ia bosan, sepi! Selalu sendiri. Paling-paling hanya dengan pembuantunya Mbok Ijah yang sudah sejak kecil merawatnya. Orang tuanya lebih sering ke luar kota mengurusi bisnis mereka.
***
Suara alarm, mengejutkan dirinya. Ia terbangun. Matanya dikucek-kuceknya. Diedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamarnya.
"Ah! Aku bermimpi," gumamnya.
Diedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamar. Kalau-kalau ia telah berada di tempat yang berbeda. Namun kamarnya tetap tak berubah.
Mimpi itu terasa seperti nyata. Ia seperti mengalaminya sendiri. Mengapa semua orang memanggilnya Regina? Angga! Siapa dia?Dia terlihat sangar dan sangat tomboy. Tapi begitu baik pada dirinya.
"Ah! Mungkin hanya bunga tidur saja." gumamnya, lalu melompat dari tempat tidurnya untuk bersiap-siap ke sekolah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top