Episode 20. Ajari Aku...
10 NOPEMBER 2014, 10.33
Siang itu, Rio pulang ke rumah. Baru saja pagi hari ia bekerja, ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan isterinya. Ia menutup pintu mobilnya. Senyuman merekah di wajah Rio. "Aku kangen banget." Rio melebarkan tangannya dan memeluk tubuh Lily yang berdiri di dekatnya.
"Aku juga." Lily membalas pelukan Rio. Tubuh kekar yang selalu dirindukannya.
Rio meraih dagu Lily dan mencium bibirnya. Lembut sekali.
"Kau kembali ke kantor lagi?"
"Enggak. Aku mau nemenin kamu hari ini." Dirangkulnya bahu Lily. Mereka melangkah menuju kamar mereka.Tiba di kamar, dilepaskan seluruh pakaiannya tanpa malu di depan isteri tercinta. "Aku mandi dulu, sayang? Mau ikut?" godanya.
"Ah! Kau saja." Lily tersipu malu.
Lily meraih kacamata yang tergeletak di atas meja. Dipakainya kacamata itu, lalu duduk di sebuah sofa di sudut kamarnya. Menunggu Rio mandi sambil membaca novel.
Ekor matanya menangkap bayangan Rio yang baru ke luar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana. Ia menutup wajahnya dengan novel. Dadanya berdegup kencang.
Rio menghempaskan tubuhnya di samping Lily. "Kamu udah makan?" Dirampasnya novel yang menutupi wajah Lily. Dilemparnya ke atas meja. Dihimpitnya tubuhnya ke tubuh Lily dan diangkulnya bahu Lily.
"Ayah, ganggu kesenangan orang aja." Suara Lily bergetar.
"Kau udah makan belum? Masak suami pulang enggak ditawarin makan? Gimana Bunda ini." Rio mengacak-ngacak rambut Lily.
Lily melirik jam. Jam 1 siang! Ia lupa menawarkan Rio makan. "Ayah belum makan?"
"Ya, belumlah sayang. Aku pulang, kan, sengaja mau makan bersamamu. Kau sudah makan?"
"Belum. Maafkan aku, Yah. Aku bingung." Lily tertunduk.
Rio meraih dagu Lily dan mengangkat wajahnya. "Bingung kenapa, sayang?"
"Bingung, apa yang harus aku lakukan untukmu."
"Haha .... Kamu belum terbiasa, sayang. Baru juga satu hari kita tinggal bersama." Rio mengecup kening Lily "Bik Jumi masak apa?"
"Aku belum liat, Yah."
"Hah?! Waduh!" Rio menggaruk-garuk kepalanya. "Dari tadi kamu ngapain aja?"
"Habis sarapan, aku mandi, terus baca novel." Lily menatap Rio polos. Ia bingung harus mengerjakan apa.
"Bun ... Bun. Dari tadi baca novel?" Rio menggelengkan kepalanya.
"Abis, novelnya seru. Ayah marah?" Lily menatap Rio agak takut.
"Enggak. Ya udah. Kalo gitu kita makan di luar aja. Kau salinlah." Rio beranjak menuju lemari pakaiannya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah bersama di dalam mobil menyusuri jalanan yang ramai. Rio mengerem mobilnya di sebuah perempatan jalan, saat lampu merah. Ditolehnya Lily yang duduk manis di sampingnya.
"Kita mau makan ke mana?"
"Terserah Ayah aja."
"Mengapa sejak menikah dengannya aku menjadi bingung seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mengerti. Ia suami yang begitu penyabar dan baik. Bagaimana cara membuatnya senang?" Lily mengutuk dirinya sendiri.
"Kita ke restoran orang tuamu aja, ya." Rio tersenyum sambil melirik Lily.
"Boleh juga." Lily mengusap paha Rio. "Maaf, Yah."
"Untuk apa?" Rio menatap Lily heran.
"Aku enggak tau mesti ngapain. Aku ini isteri yang bego." Lily menundukkan wajahnya.
"Hei! Siapa yang bilang gitu?" Rio menatap Lily tajam. "Selalu berada di dekatmu adalah kebahagiaanku. Kau bukan bodoh, sayang. Tapi kau masih terlalu kecil. Banyak yang belum kau ketahui!" Rio meraih dagu Lily. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lily sesaat.
Pipi Lily bersemu merah. "Ayah ... tapi aku bukan isteri yang baik buatmu. Aku ngecewain Ayah."
"Jangan ngomong gitu! Aku enggak suka!"
Lampu kembali Hijau. Rio menatap lurus ke depan. Perlahan, ia menjalankan mobilnya. Wajahnya terlihat tidak senang.
"Aku enggak tahu apa yang mesti aku lakuin untukmu."
"Jangan ngomong kayak gitu lagi, Bun. Ada di dekatmu aja, aku udah bahagia, walau kau enggak ngelakuin apa-apa buatku."
"Yah, apa aku mesti ngapain?" Lily mengusap paha Rio.
"Aku enggak mau buat kamu terbebani dengan pernikahan kita. Lakukan saja yang kamu suka. Lama-lama kau juga terbiasa."
"Ayah, ajari aku menjadi isteri yang baik untukmu."
"Kau sudah menjadi isteri yang baik untukku, sayang." Rio melirik Lily.
"Kau terlalu baik, Yah." Tanpa sadar, air mata Lily menetes. Ia terharu akan kebaikan Rio. Kebaikan dan perhatiannya tidak pernah berubah sejak kehidupan lampau mereka, hingga kini.
"Jangan nangis, Bun." Rio mengambil tissue dan mengusap air mata Lily. "Aku enggak mau kau sedih setelah pernikahan kita. Aku udah bahagia, kok, ada di dekatmu kayak gini. Aku juga mau kau bahagia. Ayolah sayang. Aku enggak mau dibilang suami kejam oleh orang tuamu, karena ngeliat matamu sembab."
"Ayah." Lily memegang tangan Rio.
"Hm ...."
"Kau ganteng banget." Wajah Lily tersipu-sipu.
"Emang udah dari dulu, keles. Baru tau? Haha...." Ia tidak mau menuntut macam-macam pada Lily. Ia tidak mau membuat Lily terbebani. Yang ia mau, Lily bahagia bersamanya. Semua akan ia berikan demi Lily.
"Bentar lagi kita sampe. Hapus sisa air matamu, sayang." Rio mengarahkan mobilnya menuju sebuah restoran yang bertuliskan "RESTORAN TERATAI DI TENGAH KOLAM". Ia memarkirkan mobil di lahan parkir yang ada di bagian depan restoran.
Ia mengitari bagian depan mobil, membukakan pintu mobil untuk isteri tercinta. Ia meraih tangan Lily dan menggenggamnya erat. Dibantunya, Lily turun dari mobil. Bergandengan tangan, mereka melangkahkan kaki menuju bangunan utama restoran orang tua Lily. Tak henti-henti ia meremas-remas jari-jemari Lily.
Saat tiba di pintu masuk bangunan utama, mereka disambut Ayu, mamanya Lily. "Hei Rio, Lily! Wah, yang pengantin baru,"
"Ma ....!" Rio menyalami Ayu. "Papa mana?" Rio mengedarkan pandangan di dalam restoran.
"Lagi ke luar. Kalian udah makan?"
"Belum. Kami mau minta makan ke sini. Haha ...." Rio tertawa renyah.
"Kalian belum makan? Li, kau enggak nyiapin makanan buat suamimu?" tanya Ayu sambil mengernyitkan alisnya.
"Ma--."
"Bukan enggak nyiapin, Ma. Tapi aku yang memang mau ngajak Lily makan di luar, kok." Rio berusaha membela Lily.
"Oh! Ya udah. Mama minta pelayan nyiapin makanan buat kalian. Ayo pilih tempat sesuka kalian."
"Kami di pondok yang itu ya, Ma? Nomor 7." Rio menunjuk salah satu pondok di restoran itu. Letaknya di bawah sebuah pohon jambu yang lumayan rindang.
"Boleh, nanti pelayan ngirim makanan ke sana. Kalian mau makan apa?"
"Ikan bakar, sayur asem sama ... hm ... sambel terasi!" pesan Rio.
"Baiklah."
"Yuk, Bun." Rio menggandeng Lily yang sejak tadi diam.
"Kenapa ayah belain aku? Bukannya aku memang enggak nyiapin makanan buat Ayah?" Lily bertanya dengan nada menyesal.
"Ssst .... Udahlah. Tenang aja. Kau sekarang udah jadi isteriku. Jadi aku harus selalu bela kamu." Rio dan Lily memasuki pondok kecil yang terbuat dari bambu yang berada di atas sebuah kolam.
Rio merengkuh bahu Lily saat mereka duduk di atas matras, di lantai pondok.
Lily merebahkan kepalanya di bahu Rio. Nyaman sekali berada di bahu Rio. Diusapnya dada bidang Rio.
"Aku sangat mencintaimu, Bun. Kau segalanya buatku." Rio mengusap rambut Lily.
"Aku juga, Yah. Aku sangat mencintaimu."
Tidak berapa lama, pelayan datang membawakan makanan pesanan mereka. Rio tersenyum lebar dan menganggukkan kepala pada dua pelayan perempuan yang mengantarkan makanan mereka. "Terima kasih."
"Ya, sama-sama. silakan, Om!" Mereka menganggukkan kepala dan berlalu. Sesekali ia melirik Rio dan Lily yang tampak mesra. Kemesraan mereka membuat ia iri. Bahkan pepohonan pun iri melihat kemesraan mereka.
"Om? Masak aku dipanggil om? Memangnya tampangku kayak om-om, apa?" omel Rio saat kedua pelayan itu berlalu.
"Memang Ayah om-om! Haha ...!" Lily tergelak melihat wajah cemberut Rio.
"Ah, kau! Napa juga mau sama om-om!" Rio memencet ujung hidung Lily.
"Abis, kau om-om ganteng. Kaya, lagi."
"Ooo ... jadi kamu mau sama aku, karena aku kaya dan ganteng?" olok Rio sambil memainkan kedua alisnya, memandang Lily menggoda.
"Yeee ... ge-er! Yang mau itu siapa? Bukannya Ayah?" Lily meninju bahu Rio perlahan.
"Eeeh! Yang ngajak cepet nikah, siapa?" balas Rio tak mau kalah.
"Yang nyosor nyium duluan siapa?"
Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Repot, ngadepin isteri yang masih polos, tapi tak mau kalah kalau berdebat.
"Iya, iya. Aku yang mau sama Bunda." Rio sedikit mengalah. "Tapi kenapa kamu mau nikah sama aku?" lanjutnya dengan menahan gengsi dan diam-diam tidak mau dikalahkan isterinya.
"Karena--."
"Halah, Bunda. Udahlah, kita berdua itu sama aja. Sama-sama cinta! Gitu aja kok ribet amat!"
"Lagian, Ayah sih, yang mulai duluan. Wegh!" Lily meleletkan lidahnya.
"Ini isteri satu ini, ngelunjak sama orang yang lebih tua, loh!" Rio mengacak-acak rambut Lily.
"Ayah, aaah ...," rajuk Lily. "Rambutku berantakan, dong!" Ia menepis tangan Rio.
"Jangan kurang ajar, sama suami!"
"Makanya, jangan kurang ajar juga sama isteri!"
"Bunda, Bunda!" Rio menggelengkan kepalanya. Repot juga, punya isteri yang masih remaja dan labil.
"Ayah, Ayah!" Lily ikut menggelengkan kepala sambil tersenyum menggoda.
"Bandel, ya!" Rio meraih Lily dan memeluknya erat-erat. Direkatkannya bibirnya ke bibir mungil isterinya.
Lily meronta-ronta.
Namun Rio tidak mau melepaskannya. Lama ia memeluk dan tak melepaskan tekanan di bibirnya, hingga napas Lily terasa sesak.
Rio melepaskan Lily dan tertawa-tawa. "Makanya, jangan kurang ajar sama suami!
"Ayah, nih! Sesek, tau!?" sungutnya. Ia mengusap bibirnya yang basah. "Lelaki genit!"
"Isteri genit!"
"Ayah," rajuk Lily. Ia memukuli dada Rio.
"Haha ...." Rio menangkap tangan Lily. "Udah. Nanti kita enggak jadi makan. Kita makan dulu, yuk?" ucap Rio. Ditatapnya mata Lily dengan binar kasih sayang yang mendalam dan penuh ketulusan.
"Ayah, sih!" sungut Lily, memalingkan wajahnya yang terasa terbakar.
"Aku yang ambilin. Bunda diem aja." Rio meraih centong nasi yang ada di dalam sebuah bakul kecil.
"Iiih ... mau ngambil hati, nih?" goda Lily sambil menutupi perasaannya yang tidak keruan.
"Yee. Siapa yang mau ngambil hati Bunda. Enggak diambil, juga udah ada di hatiku," goda Rio.
"Ayah!" Didorongnya tubuh Rio dengan bahunya. "Aku yang ambil!" Direbutnya centong nasi dari tangan Rio. Diambilnya nasi, dan diletakkan di atas piring Rio. Lalu diambilnya sejumput nasi, dan diletakkan di piring lain untuk dirinya. "Ayo, kita makan ...." dicucinya tangan dengan air dalam sebuah mangkuk kecil yang ada di atas meja pendek di depan mereka.
"Ayo!" Rio mencubit daging ikan bakar. Seperti biasa, Rio makan dengan lahap. "Makanan di restoran orang tuamu enak banget. Apalagi ikan bakar, sayur asem dan sambel terasinya."
"Kau suka?" tanya Lily.
"Suka banget."
"Aku mesti belajar masak untukmu, Yah," ucap Lily sambil menatap Rio yang sedang makan dengan nikmatnya.
"Enggak harus, sayang," ucap Rio dengan mulut yang dipenuhi makanan.
"Gimanalah kalo aku enggak bisa masak?"
"Kan, ada restoran. Tinggal beli aja. Enggak usah repot-repot."
"Aku mau belajar masak."
"Ya, terserah Bunda aja. Kalo mau belajar masak, ya lebih baguslah. Kan, lebih asyik kalo kita makan berdua aja di rumah. Ya, enggak?" goda Rio.
"Ah, Ayah!" Kembali Lily tersipu-sipu. Dihabiskannya suapan terakhir makanannya.
***
Selesai makan, mereka kembali ke ruang utama restoran itu. Mereka menghampiri Ayu yang duduk di meja kerjanya.
"Kalian enggak berbulan madu, Rio?"
"Belum, Ma. Aku masih banyak kerjaan. Aku harus nyelesain kerjaanku dulu," ucap Rio. Ia duduk di hadapan Ayu, Lily duduk di sampingnya. Rio melingkarkan tangan ke bahu Lily.
"Oh. Apakah kau berpikir mau cepet-cepet punya anak?" tanya Ayu penasaran. Ia lihat, Rio seorang lelaki yang sangat baik dan sangat menyayangi Lily, anaknya. Dalam hati ia merasa bersyukur, anaknya mendapatkan seorang lelaki yang baik.
"Belum, Ma. Memang Mama pengen cepet punya cucu dari kami?" tanya Rio sambil melirik Lily. Ia meremas bahu Lily-lembut.
Wajah Lily tertunduk mendengar pembicaraan Ayu dan Rio. "Anak? Aku punya anak? Aku harus hamil? Apakah aku siap menjadi ibu?"
"Enggak juga, sih," jawab Ayu.
"Lily belum siap kayaknya, Ma." Rio memandangi wajah Lily yang tertunduk.
Ayu tersenyum. Ia memandang Lily yang tertunduk malu. "Lily masih terlalu kecil, Rio."
"Iya, Ma. Makanya ia belum siap. Tapi aku siap menunggunya."
"Kau suami yang baik, Rio," puji Ayu.
Rio tersenyum, bangga. Bangga, karena kini ia memiliki seorang isteri yang cantik. Bangga karena kekasih hatinya kini telah kembali ke dalam pelukannya.
"Li, jadilah isteri yang baik buat Rio, sayang." Ayu melirik Lily.
"Iya, Ma. Aku akan berusaha."
"Jangan kau sia-siain suami sebaik Rio, Li."
"Iya, Ma."
Rio merapatkan tubuh mereka. "Lily pasti akan menjadi isteri yang baik buatku, Ma."
"Jagalah dia baik-baik, Rio."
"Pasti, Ma. Oya, Ma, kami harus pergi." Rio bangkit dari duduknya.
"Loh, kok, buru-buru?" Ayu ikut bangkit dari duduknya.
"Kami masih ada urusan, Ma. Terima kasih untuk semua makanannya."
"Sama-sama, Rio. sering-seringlah ke sini."
"Pasti, Ma. Apalagi kalo makan gratis! Hm ... enak juga punya isteri, anak dari pemilik restoran. Makan gratis terus!" canda Rio.
"Ah, kamu, Rio." Ayu terkekeh.
"Emang bener, kan? Ya, nggak, Bun?" Dijawilnya dagu Lily yang berdiri di sampingnya.
"Ayah!" Lily menepis tangan Rio. "Maunya kamu! Dasar tukang makan!"
"Haha ...!" Ayu dan Rio tergelak.
"Kami pamit dulu, Ma," ucap Rio. Dirangkulnya bahu Lily kembali.
"Ya." Ayu mengecup pipi Lily. "Semoga kau selalu bahagia, sayang."
"Terima kasih, Ma!" Lily tersenyum manis.
***
"Mama perhatian banget sama kamu, Yah," ucap Lily pada Rio saat mereka kembali berada di dalam mobilnya.
"Haha ...! Kamu iri?"
"Enggak! Siapa yang iri?!" ucap Lily sewot.
"Kamu kan, pencemburu. Siapa saja kamu cemburui. Haha....!"
"Kau besar kepala!"
"Masak?" Rio melirik Lily.
"Bodo, ah!" ucap Lily merengut, dan memalingkan wajahnya.
"Tuh, kan! Haha...!"
"Kau ini!" Lily mencubit paha Rio.
"Auw! Cubitanmu pedes banget." Rio menangkap tangan Lily dan meremasnya.
Lily menarik tangannya. Dadanya berdebar kencang. Rio tidak pernah menanggapi emosinya. Ia selalu saja menggodanya jika ia sedang marah atau ngambek.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top