Episode 19. Malam Pengantin
9 NOPEMBER 2014, 12.12
Kegugupan dan ketegangan melanda Lily saat memasuki kamar pengantin mereka. Jantungnya berdetak tidak keruan. Keringat dingin keluar membasahi telapak tangannya. ada rasa takut menyergapnya. Ia berdiri mematung di salah satu sudut ranjang. Matanya membidik Rio.
Lelaki tampan yang gagah itu menutup pintu kamar mereka. Perlahan, ia mendekati Lily. "Bun, aku mandi dulu, ya. Gerah banget." Dibukanya jas yang masih melekat di tubuhnya. Lalu dibukanya dasi yang masih melingkar di lehernya. Di letakkannya di atas sebuah sandaran kursi yang ada di sudut kamar. Dikibas-kibaskannya kemeja yang dikenakannya. "Bunda, mau mandi bareng?" Suaranya lembut dengan pandangan mata menggoda ke arah Lily.
Pandangan mata itu melesat bak anak panah, menancap tepat di pupil mata Lily. Tajam menghujam hingga menembus jantung Lily. Ia terpaku. Tubuhnya tertancap di ubin kamar. Anak panah itu seperti mengandung kekuatan listrik dan menyengat tubuhnya. Rasanya tak kuasa, bertatapan dengan sang empunya mata. Mata elang indah dengan pendar tajamnya. Kepalanya refleks tertunduk. Jantungnya berpacu kian cepat.
Detik ini, lelaki tampan dambaan banyak perempuan itu, ada di sampingnya dengan status yang berbeda. Bagai mimpi, kini ia telah terikat dalam sebuah janji perkawinan. Janji yang kembali terulang. Janji dari seorang dari kehidupan lampaunya. Bagaimana rasanya menjadi seorang isteri? Tidak pernah terbayang sama sekali ia harus menikah di usia dini.
"Ayah mandi aja dulu." Suara Lily bergetar. "Mandi berdua dengannya? Ah! Aku tidak berani."
Rio menghampiri Lily yang tegak mematung. Diraihnya tubuh mungil itu je dalam dekapan hangatnya. Ada rasa hangat mengalir ditubuhnya mengalir dan menghangatkan jiwanya. Cinta yang tak pernah pudar, dulu hingga kini. "Bener, nih?" Dibelainya pipi kanan Lily lembut.
Jantung Lily seperti memberontak dan ingin melompat. "He-eh!" Dianggukkan kepalanya perlahan. Ia merasa belum siap menjadi seorang isteri. Namun semua ini adalah permintaannya. Ia tidak akan sanggup melihat kekasih hatinya menderita lagi karena dirinya. Ia tidak sanggup melihat orang yang dicintainya dahulu, kembali merana. Ia tahu, seberapa besar cinta Rio pada dirinya. Ia tidak ingin kejadian masa lampau terulang kembali.
"Kalo gitu, aku mandi duluan, Bun." Rio melepaskan pelukannya dan melenggang ke kamar mandi setelah membuka seluruh pakaiannya.
Lily memalingkan wajah. Ia tidak berani memandang tubuh Rio. Lalu dengan tangan bergetar, ia membuka gaun pengantinnya sendiri. "Susah banget, sih!" Ia disibukkan membuka seluruh pakaian pengantinnya. Tanpa sadar, Rio sudah ke luar dari kamar mandi.
Dengan hanya menggunakan selubung bagian bawah, dihampirinya Lily yang masih berdiri di tepi ranjang. "Sini, aku bantu." Dijamahnya aksesoris rambut Lily. Dengan hati-hati, dilepasnya satu per satu. Lalu diraihnya retsleting gaun itu yang berada di bagian punggung. Dibukanya dengan penuh kehati-hatian. Gaun itu melorot lepas dari tubuh Lily. Mata Rio berpendar. Dadanya berdebar memandang tubuh mungil isterinya yang setengah terbuka. Diraihnya tubuh itu dalam dekapnya. Rasa rindu yang ditahannya sekian lama, kembali menggelegak. Menghantam rasa.
"Ayah!" Lily memberontak. "Enggak sabaran banget, sih!" ditepis kedua tangan kekar Rio. Sentuhan itu benar-benar terasa menyengat.
Dengan santai, Rio terkekeh. Hehe .... Ditangkupnya kedua pipi mulus isterinya. Didekatinya wajahnya ke wajah Lily. "Udah lama aku nunggu saat seperti ini. Saat di mana hanya ada kita berdua. Saat di mana aku bisa memberikan se-mu-a ... rasa cintaku padamu." Diciumnya bibir Lily lembut.
Lily menggelengkan kepalanya menghindari ciuman Rio. Bulu-bulu di wajah Rio terasa geli menyentuh wajahnya. Dadanya berdegup kencang. Angga kini telah bermanifestasi menjadi Rio, lelaki dengan tubuh tinggi besar. Dadanya, ketiaknya, wajahnya penuh ditumbuhi bulu. Kini lelaki itu telah berada di dekatnya.
"Ayah! Aku belum mandi!" pekik Lily, saat bibir Rio terlepas.
"Aku sudah nggak sabar lagi, sayang," desis Rio. Gairahnya sudah meletup-letup. Gairah yang ia tahan selama ini. Gairah yang pernah ia padamkan dengan paksa.
"Ayah...." Tatapan itu mengingatkan dirinya akan tatapan Angga di mimpinya. Tatapan penuh cinta yang hangat. Tatapan liar yang menagih sesuatu. Jika sudah seperti itu berarti .... Ia langsung berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi. Napasnya tersengal-sengal membayangkan apa yang akan dilakukan Rio. Ia belum siap melakukannya. Ia berusaha menenangkan diri. Dinyalakannya shower. Dibasahinya seluruh tubuhnya.
Bayangan masa lalu-cumbuan-cumbuan panas Angga-yang masih terpendam dalam bawah sadarnya, muncul melintas di benaknya. Sesaat tubuhnya bergetar. sebuah rasa yang belum pernah ia rasakan menyelinap masuk. "Angga, betapa aku mencintaimu," gumamnya dalam hati.
Ia menggelengkan kepalanya. Berusaha melenyapkan semua bayangan masa lalunya yang kerap muncul. Ia menyabuni seluruh tubuhnya. Tubuh yang dulu sering disabuni oleh Angga. Ia ingin sekali kejadian itu kembali terulang. Ia ingin tangan-tangan itu memandikannya kembali. Wajahnya memanas, sesaat mengingat Rio adalah Angga.
Ia kembali menggelengkan kepalanya. Air membilas seluruh sabun di tubuhnya. Ia mematikan shower. Diambilnya handuk dan diilitkan ke tubuhnya seusai mandi.
Perlahan Lily dibukanya pintu kamar mandi. Dilongokkan kepalanya. Bola matanya berputar-putar mencari-cari bayangan Rio. Matanya tertumbuk pada Rio yang terbaring di atas Ranjang dengan tubuh hampir tanpa penutup. Matanya terpejam. Satu kakinya ditekuk dan kaki lainnya bertumpu di atasnya. "Aman." Dengan berjingkat, ia berjalan menuju lemari pakaian. Terkunci! Dimana kuncinya? Lily mencari-cari kunci lemari pakaiannya.
"Kau mencari ini, sayang?' Tiba-tiba Rio mengacungkan kunci lemari dengan seringai menggoda.
Lily ternganya. "Mati aku! Bagaimana aku mendapatkan pakaianku?" Lily membanting kakinya kesal."Ayah! Sini kuncinya." ditengadahkan tangannya.
Rio mengacungkan kunci itu tinggi-tinggi. "Sini, ambil!"
Lily membanting kakinya kesal. Kebiasaan Angga, masih saja melekat di diri Rio. Kebiasaan menggodanya, dan membuatnya marah.
Ia mendekati Rio dan berusaha mengambil kunci itu dari tangan Rio.
Rio berkelit sambil tertawa-tawa dan turun dari ranjangnya. "Ayo, ambil kalau kau bisa."
Lily kembali mengejar Rio dan berusaha mengambil kunci itu. "Ayah ... ah!"
Rio yang bertelanjang dada berdiri tegak dengan mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang memegang kunci. Lily berusaha menggapai kunci di tangan Rio.Dengan nakal Rio menarik handuk yang melilit di tubuh Lily.
"Ayah ...!" Lily terpekik. Ia berusaha menutupi bagian tubuhnya yang kini terbuka sempurna. Wajahnya terasa panas. Perasaannya tercampur aduk. Yang pasti ia merasa malu sekali berdiri dengan tubuh tanpa penutup sama sekali di depan seorang lelaki.
Rio terpaku sejenak. Ditatapnya tubuh mungil itu. Sempurna sekali! Secepat kilat dipeluknya tubuh mungil isterinya. Dilemparnya kunci ke sudut ruangan. "Udah dari dulu, aku sering liat tubuh seksimu ini. sangat menggiurkan, sayang," desis Rio. "Aku merindukanmu."
"Ayah," rintih Lily.
Rio mengangkat tubuh Lily dan membopongnya. Dibaringkannya tubuh itu di atas ranjang pengantin mereka.
"Ayah! Jangan!" Lily berusaha turun dari ranjang.
Rio meraih dan memeluk tubuh Lily dan membaringkannya kembali. "Kenapa sayang?" Suara Rio terdengar parau. Dadanya naik turun.
"Jangan malam ini, Yah. Aku belum siap," rengek Lily dengan suara tergetar. Ia merasa gugup. Ada perasaan aneh yang melingkupinya, saat tubuhnya yang tanpa ditutupi apa pun menempel di tubuh Rio yang hampir tanpa penutup.
"Kau sangat menggariahkan, sayang. Aku sudah lama menantikan ini." bisik Rio sambil mencium bibir Lily.
Tubuh Lily bergetar, darahnya terasa mengalir lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terasa panas. Tubuhnya terasa panas.
"Sekarang kau sudah menjadi milikku, sayang. Kau akan selalu menjadi milikku." Bibirnya menyapu seluruh wajah Lily. Lalu meluncur turun ke leher ... ke dada.
Ketegangan menggerus Lily. Rasa takut dan malu menyapa dirinya. Dadanya serasa sesak merasakan himpitan tubuh Rio yang berada di atasnya. Dadanya bergolak. Jiwanya melayang.
Rio mengusap bagian bawah perutnya. "Kau sudah basah, sayang. Kau masih seperti dulu. Mudah sekali terangsang." Rio berbisik menggoda di telinga Lily.
Lily kian bergidik mendengar suara Rio. Kekasihnya memang panas dan pandai membuatnya tenggelam dalam gairah cinta mereka yang membara. Hingga membuatnya lupa.
Tapi Rio berbeda! Ia punya senjata! Apakah ini tidak menyakitkan? Ia terpekik saat Rio mencoba menerobos masuk ke dalam tubuhnya. "Ayah! Jangan!" Ia menendang-nendangkan kakinya.
"Kenapa, sayang?" ucap Rio di tengah napasnya memburu.
"Aku takut! Ayah! Ayah jangan lakukan malam ini!" Lily berusaha mendorong tubuh Rio.
Namun Rio makin menekan tubuhnya.
"Ayah ...! Sakiiit!" Lily merasakan nyeri di bagian bawah perutnya. Ia mendorong tubuh Rio. "Sepertinya ini tidak muat, Yah. Milikmu sepertinya terlalu keras dan besar. Jangaaan, Yah!" Lily meronta-ronta, menangis dan memukuli punggung Rio.
Rio menghentikan gerakannya. Ia turun dari tubuh Lily. Ia melihat air mata Lily mengalir begitu deras.
"Maaf, sayang." Rio mengusap air mata Lily. "Aku lupa. Aku sekarang adalah seorang laki-laki. Kalau kau enggak suka, aku enggak akan melakukannya lagi." Rio memeluk tubuh Lily yang terdiam membeku. "Aku enggak akan melakukan hal yang membuatmu sakit, sayang." Rio bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali. Ia harus menyimpan kembali gairahnya yang tadi sudah bangkit. Ia harus bersabar. Diambilkannya pakaian Lily. Dipakaikannya ke tubuh Lily yang masih terdiam.
Lily merasa benar-benar belum siap. Ia takut dengan milik Rio yang terlihat asing baginya. Tapi ia ingin selalu berada di dekat Rio. Ia tidak pernah berpikir sampai sejauh ini.
"Bicaralah, sayang." Rio memeluk Lily.
Bibir Lily terasa kelu. Ia tidak pernah berpikir harus melakukan hubungan suami isteri di malam pengantinnya. Sakit sekali!
Rio membelai pipi Lily dan mencium bibirnya lembut. "Sayang, maaf." Rio kembali mengusap air mata Lily. "Maaf, sayang. Apa yang harus aku lakukan, Bun? Bicaralah." Dipeluknya tubuh Lily yang masih terbaring. Ada rasa bersalah di hatinya. Harusnya ia menyadari bahwa isterinya masih terlalu kecil. Harusnya ia bisa lebih bersabar, isterinya belum pernah dekat dengan lelaki. Isterinya masih sangat polos.
"Ayah, maaf. Aku belum bisa melakukannya. Aku belum siap," ucap Lily lemah dan bergetar.
"Sayang ...." Rio mempererat pelukannya. "Aku enggak akan melakukannya lagi." Rio melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua pipi Lily. "Kita tidur aja, ya?" Dibaringkan tubuhnya di samping Lily.
"Aku yang minta maaf, Yah." Lily membelai dada Rio.
"Enggak. Kau tidak perlu minta maaf. Aku yang salah." Rio tersenyum. Dipandanginya wajah lugu nan cantik itu.
Malam pengantin ini membuat Lily menjadi kikuk. Sungguh ia merasa aneh sekamar dengan Rio, walau sebelumnya ia juga pernah sekamar. Tapi malam ini begitu mendebarkan dan terasa berbeda.
"Ayolah, sayang. Tersenyumlah. Aku enggak akan melakukannya lagi. Aku janji." Rio membelai paha Lily.
"Ayah .... Maaf." Lily memeluk Rio.
"Udah, udah. Kamu enggak salah. Enggak perlu minta maaf, kayak gitu." Rio mengusap punggung Lily. "Aku sangat mencintaimu, Bun. Apa pun akan aku lakukan untukmu, walau aku harus sakit."
"Maafkan, aku."
"Sudahlah, Bun. Jangan minta maaf lagi, ya. Kita tidur aja, besok aku harus kerja."
"Ayah marah?"
"Enggak, sayang. Bagaimana aku bisa marah padamu?"
"Tapi kau akan ninggalin aku besok."
"Aku harus kerja, sayang. Siang aku pasti akan pulang."
"Tapi aku ingin selalu bersamamu."
"Kau ikut ke kantor aja kalo gitu. Mau?"
Lily menggelengkan kepalanya. Ia risih membayangkan tatapan para karyawan Rio jika ia ke kantor Rio. "Aku akan menunggumu di rumah."
"Ya udah, enggak apa-apa. Kita tidur ya?" Rio memeluk Lily.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top