Episode 14. Janji Cinta Masa Lampau
6 NOPEMBER 2014, 19.30
Angga dan Gina, dua manusia bergender sama. Merasakan cinta yang tak bisa mereka hindari lagi. mereka tenggelam dalam cinta terlarang. Tak peduli dengan keadaan sekitar. Yang mereka tahu, mereka merasa nyaman, bisa saling berdekatan.
Cinta tidak memandang usia, tempat, bahkan gender. Cinta bisa tumbuh di mana saja. Di hati siapa saja, termasuk Angga dan Gina. Cinta itu terkadang buta dan tak berlogika.
Siang itu, mereka kembali menikmati kebersamaan. Angga dan Gina duduk berhadapan di pembaringan kamar Gina.
Angga membelai wajah Gina lembut. Dipandangi wajah kekasihnya yang selalu ia rindukan. Ditatapnya wajah gadisnya yang sendu. "Sayang."
Gina menatap wajah Angga dengan gurat sedih. Ada air mata mengalir dari ujung mata Angga.
Gina mengulurkan tangan, mengusap air mata Angga, "Kenapa nangis, Kak?"
"Kakak takut, sayang."
"Takut apa, Kak?"
"Kakak takut kalo nanti kita terpisah. Kakak takut kalo Gina ninggalin Kakak, nikah dan mempunyai suami." Suara Angga bergetar.
"Gina enggak mau punya suami. Gina cuma mau Kakak yang jadi suami Gina." Gina memeluk Angga erat. "Gina cuma cinta sama Kakak. Kakak segalanya buat Gina." Gina terisak. Tiba-tiba, ia pun merasa takut kehilangan Angga.
"Kita enggak mungkin bisa nikah, Gin," ucap Angga dengan nada lesu, ia mengusap air mata Gina dengan tangannya.
"Tapi Gina cuma mau Kakak."
"Kakak juga, sayang," ucap Angga lembut. Ia mendekap erat tubuh mungil itu. "Gina mau kita berjanji?"
"Janji apa, Kak?"
"Seandainya di kehidupan ini kita enggak bisa bersatu, Gina mau tetep menjaga cinta kita?"
"Iya, Kak. Gina mau."
"Jika ada kehidupan setelah kematian kita kelak, Gina mau, saat itu kita ketemu lagi dengan kondisi yang berbeda, dan kita bersatu jadi suami isteri?"
"Mak-sud Kakak?" Gina tidak mengerti apa yang dikatakan Angga.
"Jika kita bisa dilahirkan kembali menjadi manusia setelah kematian kita, Kakak ingin terlahir sebagai laki-laki. Kakak ingin jadi suami Gina."
"Apa itu mungkin?"
"Entahlah, Gin. Kamu percaya ada kehidupan setelah kematian?"
"Entahlah, Kak."
"Tapi kamu mau janji, kalo emang itu ada, kamu janji akan jadi isteri Kakak?"
"Gina mau, Kak. Mau."
"Jika hal itu terjadi, Kakak akan cari kamu sampai ketemu. Kakak janji enggak akan pernah jatuh cinta sama gadis lain selain kamu. Kakak cuma mau kamu yang jadi isteri Kakak. Kakak akan selalu menjaga cinta kita. Kakak akan setia sama cinta kita." Angga berkata dengan sepenuh jiwa. Tanpa terasa, kesedihan akan cintanya yang tak mungkin bersatu menekan dadanya. Air matanya merembes dan jatuh satu per satu. Hatinya terasa pedih. Ia membayangkan dinding tinggi adat istiadat dan agama pasti menolak cinta mereka. Mereka tidak akan pernah dapat terikat dalam ikatan suci walau cinta mereka sedemikian kuat.
"Gina juga enggak mau nikah sama orang lain. Gina cuma mau sama Kakak. Kalo emang kesempatan itu ada, Gina pasti akan nunggu Kakak. Gina juga janji enggak akan jatuh cinta sama lelaki mana pun selain sama Kakak. Gina akan menjaga cinta kita. Gina akan setia sama cinta kita." Tangis Gina pecah. Rasa takut terpisah dari Angga sedemikian besar. Ia sadar cinta ini tidak boleh terjadi. Ini menyesatkan. Tapi hatinya tidak dapat berdusta. Ia sangat mencintai Angga. Ia hanya menginginkan Angga lebih dari apa pun. Angga adalah belahan jiwanya. Ia tidak pernah jatuh cinta. Hanya pada Angga ia merasakan jatuh cinta. Ia merasakan ketulusan cinta Angga. Angga begitu luar biasa dan istimewa memperlakukannya. Sangat menyayanginya. Selalu menjaga dan melindunginya.
"Gina...." Angga mendekap Gina erat-erat.
"Kakak...." Gina membalas dekapan Angga.
"Gina cuma milik Kakak." Suara Angga bergetar tertahan isaknya.
"Kakak juga cuma milik Gina." ucap Gina di sela isak tangisnya.
"Kakak janji, sayang. Cinta Kakak cuma untuk Gina sampai kapan pun." Angga berusaha menenangkan dirinya. Bagaimanapun seharusnya ia tidak boleh cengeng. Ia harus kuat menghadapi rintangan apa pun yang menghalangi cinta mereka. Ia berusaha menguatkan dirinya. ia menghapus air matanya. Ia melepaskan dekapannya. Ia menatap Gina dan menghapus air matanya dengan tangannya.
"Udah, jangan nangis, sayang," bisik Angga dengan bibir bergetar.
"Kakak juga nangis," rajuk Gina.
Hehe...! Angga jadi tertawa kecil melihat Gina merajuk dengan wajah cemberutnya. Ia mencubit hidung Gina pelan. "Iya, Kakak udah enggak nangis lagi, kan?" Ia mengusap sisa air mata dengan punggung tangannya.
Gina kembali memeluk Angga. Angga mendekapnya erat. Ia mengusap-usap punggung Gina. Lalu merenggangkan pelukannya dan meraih dagu Gina. Dikecupnya bibir Gina lembut. Makin lama, makin hangat.
Gina menggelliat, tak tahan atas sensasi yang diterimanya.
Angga membaringkan tubuh Gina. Ia duduk di samping kanan Gina. Angga memandang raga mungil dengan gairah yang meletup-letup. Tatapan matanya nanar. Ia menelan ludahnya. Darahnya serasa mendidih. Ia ingin raga dan jiwa mereka bersatu. ingin mereka melambungkan tinggi menuju dunia fantasi yang penuh gelora dengan letupan-letupan hangat disertai cinta yang panas membara.
Ia mendekati wajahnya ke wajah Gina dan menyentuh bibirnya.
Gina merasakan bibir itu berbeda. Terasa panas dan membakar. Membakar jiwanya.
Napas Angga mendengus bagai banteng yang sedang marah.
Sentuhan bibir Angga, meluluh lantakkan kesadarannya. Emosinya terpancing dan tak terkendali. Ia membalas sentuhan demi sentuhan.
Lidah itu dengan lincah berlarian dan menelusuri raga Gina. Dadanya serasa bengkak dan mengembang. Ia mendesah! Terpekik! Menangis! Dadanya serasa panas dan mau pecah. Tubuhnya menegang dan bagai tersengat listrik! Tubuhnya luluh lantak. Masuk ke dalam gairah cinta mereka yang begitu bergelora.
Pangkal pahanya terasa nyeri, nyeri sekali. Jari-jemari Angga begitu lincah dan bergerak liar menelusuri setiap lekuk tubuhnya. Darahnya berdesir! Ia pasrah pada kekasihnya. Ia serahkan seluruh jiwa raganya!. Ia mabuk dan terbuai! Tubuhnya meliuk-liuk. Ia kembali mendesah! Terpekik! Merengek! Tubuhnya menegang dan bergetar hebat! Ia menangis! Ia terharu! Tak ada kata yang dapat melukiskan perasaannya saat itu. Ia merasa begitu bahagia dan jiwanya serasa menyatu dengan Angga. Jiwa Angga serasa ada dalam jiwanya.
***
Lily tersentak bangun. Tubuhnya penuh keringat walau kamarnya ber AC. Napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi! "Mengapa aku selalu merasakan apa yang dirasakan Regina?" Benar kata Kak Rio, Angga merenggut keperawanan Gina. Mimpi kali ini benar-benar panas! Wajah Lily memerah membayangkan keintiman hubungan Gina dan Angga di mimpinya.
Janji! Janji Angga dan Regina. "Jadi aku adalah Regina yang terlahir kembali sebagai Lily? dan Angga jadi Kak Rio. Berarti Kak Angga sekarang benar-benar telah terlahir kembali menjadi Kak Rio. Pantesan aku ngerasa kenal banget sama Kak Rio waktu pertama kali ketemu."
"Pantesan selama ini aku enggak pernah tertarik sama sekali sama makhluk yang bernama lelaki. Ternyata aku sudah janji enggak akan pernah jatuh cinta selain dengan Angga alias Kak Rio. Janji itu begitu kuat, sampe mempertemukan kami kembali. Aku akan memenuhi janji kita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Aku akan jadi isteri yang baik untukmu." Tanpa terasa, air matanya jatuh menetes di pipi. "Angga begitu mencintai Regina. Kak Rio juga pasti sangat mencintai aku. Kasihan sekali Kak Rio sudah menungguku begitu lama. Ia pasti sangat tersiksa."
"Li? Kamu sudah bangun?" Rio menerobos masuk ke kamarnya.
"Kak... sini!" Lily menepuk-nepuk permukaan ranjang disebelahnya.
"Apa sayang?" Rio mendekati ranjangnya.
"Tidur, sini!" Lily menepuk-nepuk kembali permukaan ranjang di sebelahnya lalu mengusap air matanya.
Rio naik ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Lily. "Kamu nangis? Ada apa?" Rio menatap mata Lily yang memerah.
Lily langsung memeluk Rio, penuh cinta. "Aku sangat mencintaimu, Kak. Aku akan memenuhi janji kita dulu. Aku akan jadi isteri yang baik buatmu. Aku merindukanmu." Tangisnya pecah.
"Lily. Aku selalu mencintaimu. Selalu! Kau adalah belahan jiwaku." Rio membelai punggung Lily.
Lily melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap Rio penuh kasih sayang dan membelai pipinya. "Aku sekarang tau, kenapa waktu itu Kakak yakin banget kalau aku ini calon isteri Kakak."
"Hm...." Rio hanya terdiam kaku.
"Kak! Aku serius." Lily terduduk dan mengoyang-goyangkan tubuh Rio. "Kak...." Ia menggoyangkan tubuh Rio yang masih terdiam. Wajahnya nampak kaku.
"Aku juga serius. Begini kan?" Rio memasang wajah serius.
"Ah! Kau bercanda melulu," rajuk Lily dengan wajah cemberut.
"Haha... kau makin cantik kalo lagi cemberut gitu." Rio duduk dan menatap wajah Lily dengan tatapan menggoda.
"Egh!" Lily memukul dada Rio.
Namun Rio menangkap tangannya. "Bukannya kau tidak mau jatuh cinta sama lelaki mana pun?" goda Rio sambil menatapnya tajam.
"Lepasin!" Lily menarik tangannya. Dadanya berdebar-debar. Ia menundukkan kepalanya tidak sanggup menatap tatapan Rio.
Namun pegangan Rio sangat erat. Rio melepaskan pegangannya. Ia meraih dagu Lily dan mengangkat wajahnya. "Kau segalanya buatku." desis Rio. Ia mendekatkan wajahnya dan merekatkan bibir mereka.
Tubuh Lily tergetar. Sentuhan bibir Rio di bibirnya terasa hangat dan mendalam.
"Kau tau apa, sayang?" tanya Rio setelah melepaskan bibirnya.
"Aku tau, kalo dulu Angga dan Gina pernah janji kalo ada kehidupan setelah kematian mereka, mereka janji akan ketemu lagi dan jadi suami isteri," desis Lily pelan. Matanya memerah merasakan kesedihan cinta mereka yang tidak dapat bersatu di masa lalu. "Tragis sekali kisah cinta kita di masa lalu, Kak." Air mata Lily mengalir semakin deras. "Aku enggak akan melepas cinta kita lagi," ucap Lily di sela tangisnya.
"Yah! Aku juga, sayang!" Rio memeluk Lily erat. "Aku menderita banget, waktu itu. Batinku tersiksa. Angga begitu mencintai Gina. Begitu juga aku, sangat mencintaimu. Aku mengerti apa yang dirasakan Angga dahulu. Aku beruntung sekali, bisa terlahir lagi jadi seorang laki-laki. Jadi sekarang, kita menikahi tanpa takut dan malu lagi." Rio melepaskan pelukannya dan mengusap air mata Lily.
"Kita enggak akan terpisah lagi, Kak." Lily menggenggam tangan Rio.
Rio balas menggenggamnya. "Kita akan selalu bersama dan bersatu dalam ikatan perkawinan, sayang. Dan enggak ada orang yang bisa misahin kita lagi."
"Rasanya aku mau menikah saat ini juga, dan memberimu anak yang lucu-lucu." Lily kembali meneteskan air matanya.
"Sabar sayang. Aku sanggup bersabar menunggumu selama 15 tahun. Tidak lebih dari 3 tahun lagi kita akan menikah." Rio kembali mengusap air mata Lily dengan tangannya dengan penuh kasih sayang.
"Oya, sudah malam, kamu harus pulang, sayang." Rio menatap Lily penuh kasih sayang.
"Aku mau di sini. Aku mau nemenin Kakak. Aku kangen, deket sama Kakak."
"Kamu harus pulang, sayang."
"Aku enggak mau. Aku mau di sini, pokoknya," rajuk Lily.
"Ya sudah. Kamu beri tahu Mama Papa dulu, ya? Mereka bisa marah padaku kalau kamu tidak memberi kabar pada mereka."
Lily menelpon orang tuanya. Ajaib! Orang tuanya mengizinkan ia menginap di rumah Rio.
"Aku sudah bilang, Kak."
"Mereka marah?"
"Enggak, kok. Mereka mengizinkan aku menginap di sini. Lagian besok kan hari Minggu."
"Kamu mandi dulu, ya? Bau asem, nih!" Rio menutup hidungnya.
"Iya, iya aku mandi."
Segar rasanya setelah mandi. Lily berjalan ke ruang tengah sambil menunggu Rio mandi. "Ternyata calon suamiku itu benar-benar laki-laki sopan yang bisa menjaga martabat calon isterinya. Pantas saja Papa percaya padanya."
Rio keluar kamar dengan bertelanjang dada. Dengan hanya mengenakan celana pendek, ia menghampiri Lily.
Mata Lily terbelalak! "Ampun orang satu ini kenapa ganteng banget. Apalagi tanpa baju seperti itu. bulu di dadanya keren sekali. Gagah sekali calon suamiku ini."
Rio duduk di sebelah Lily. Ia merengkuh bahu Lily.
Dada Lily berdebar-debar. Dengan gemetar ia menyandarkan kepalanya ke dada Rio. Ia belai dada Rio. "Kakak seksi banget." Ia mencabuti bulu dada Rio perlahan.
"Haha... pacar siapa dulu, dong. Siap-siap saja kamu cemburu terus."
"Memang Kakak mau ngapain?" ucap Lily dengan nada cemburu dan mendorong tubuh Rio.
"Kakak sih, tidak melakukan apa-apa. Tapi para wanita itu saja yang kege-eran dan kecentilan mendekati Kakak terus. Cewek mana yang tidak suka dengan cowok ganteng dan kaya, lagi." Dengan percaya diri, Rio berkata.
Jika saja ia tidak terikat janji masa lampau dengan kekasihnya, mungkin saat ini, ia telah menjadi seorang playboy sejati. Bergonta-ganti pacar seenaknya. Banyak sudah perempuan yang mengemis cinta dan menyerahkan diri padanya. namun ia sama sekali tidak tergerak untuk menerimanya. Awalnya ia merasa aneh. Namun saat mimpi itu datang, ia menjadi sadar, bahwa ia telah terikat janji yang sangat kuat. Ia tidak mungkin dan tidak bisa melanggarnya.
"Iiiih... Kakak kepedean," olok Lily. Dalam hati ia mengakui. Rio seorang lelaki kaya, pintar dan tampan. Perempuan mana yang tidak terpikat pada Rio? Dirinya saja, yang tidak pernah berpikir tentang lelaki, bisa langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Haha... Kakak kan emang ganteng." Rio mengedipkan matanya. "Kamu saja tergila-gila sama Kakak. Haha...." Kebiasaan Angga yang selalu tertawa lepas, masih terbawa di diri Rio. Namun bahasa Rio berbeda dengan Angga. Rio berbicara dengan bahasa yang formal dan tertata rapi, namun Angga selalu berbicara semaunya.
"Kakak kali yang tergila-gila sama aku. Haha...." Lily tak mau kalah, balas menggoda.
"Ini anak kecil, tidak mau mengalah, ya." Rio menggelitik pinggang Lily.
Tubuh Lily bergerak ke sana kemari menahan geli. "Udah, Kak. Udah! Geli, ah!" Ia berlari menuju kamar.
Rio mengejarnya. "Kena!" Rio memeluk tubuh Lily dari belakang.
Lily terdiam. Dadanya berdebar-debar.
Rio menciumi tengkuk Lily.
"Kaak...." Rasa aneh menjalar di seluruh tubuhnya.
Rio membalikkan tubuh Lily hingga berhadapan dengannya. Ia mengangkat dagu Lily. "Kau hanyalah miliku." Suaranya terdengar sangat seksi.
Lily memalingkan wajahnya.
Rio menempelkan tubuhnya ke tubuh Lily.
Tubuh Lily rasanya panas dingin. Jantungnya kembali seperti tidak normal. "Kak, lepasin! Lepasin!" Lily berusaha melepaskan tubuh Rio yang seluruhnya terasa begitu dekat menempel di tubuhnya.
Rio melepaskan pelukannya. Ia menggenggam tangan Lily. "Aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku, sayang."
"Aku juga sangat mencintaimu Kak." Lily mempererat genggaman tangannya.
Rio kembali memeluk Lily. "Izinkan aku memelukmu. Aku sangat merindukanmu."
"Kak...." Lily membalas pelukan Rio. Ia tidak ingin membuat Rio kecewa. Dan ia tahu Rio adalah seorang lelaki istimewa. Berbeda dari lelaki lain yang pernah ia kenal. Para lelaki itu kebanyakan seringkali merendahkan wanita. Namun Rio, selalu menempatkan wanita sebagai sosok yang patut disanjung dan dihargai.
Tidak ada kata yang terucap, hanya rasa dan hati yang berbicara. Dalam diam, mereka mengalirkan getar-getar cinta satu sama lain. Mereka tidak ingin terpisah lagi. Mereka ingin merealisasikan janji cinta mereka di masa lampau. Bersatu dalam cinta yang tulus dan tak terpisahkan lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top