Episode 10. Lamaran yang Tiba-tiba
03 NOPEMBER 2014
"Lily enggak mau ikut Papa ke restoran. Lily mau istirahat di rumah aja." Lily merajuk ketika sesampainya di rumah, saat Budi dan Ayu orang tua Lily menyuruhnya bersiap-siap.
"Gimana kamu ini? Ini kan, acara kamu?" ucap Budi sewot.
"Kan, Papa yang janji sama Rio. Lagian dia bukan pacar Lily, kok."
Wajah Lily cemberut. Seharusnya dia bahagia, karena papanya tidak melarangnya berpacaran seperti kakaknya dulu. Namun ia berusaha menolak rasa yang semakin lama semakin membuncah. Ia takut untuk memulainya. Ia tidak sanggup melihat tatapan mata Rio yang begitu tajam menikam. Ia tidak sanggup mengatasi debaran jantungnya.
"Kamu ngelak ngakui Rio pacar kamu? Kalo memang kamu bukan pacar Rio, enggak mungkin Rio bicara kayak gitu. Mereka keluarga terhormat. Banyak gadis-gadis cantik dan kaya yang ngejar-ngejar Rio. Jangan membantah lagi. Sana, salin baju kamu dan bersiap-siap! 10 menit lagi kita berangkat. Bantu dia, Ma!"
"Ayo, Li." Mama menarik tangan Lily menuju kamarnya.
"Aku enggak mau pakai make up. Pokoknya aku enggak mau, Ma."
"Ya sudah, kamu salin baju. pakai gaun aja. Pakai yang ini!" Ayu mengambilkan gaun pink tanpa lengan. Gaun yang sama sekali belum disentuh Lily karena kalau memakai itu belahan dadanya agak terlihat. Ia risih memakainya.
Lily meraih gaunnya dan meringis memandangnya. "Mamaaa... baju ini kan, terlalu seksi. "Lily enggak mau." Ia melempar gaun itu ke atas ranjangnya.
"Sekali-sekali kamu pakailah. Ayo, mama tunggu di bawah." Ayu meninggalkan Lily di kamarnya.
Lily berdiri mematung sambil melihat gaun pink di atas ranjangnya. "Rio, kenapa papa-mama begitu percaya padamu?"
Ingat Rio, dadanya kembali berdebar-debar. Kenapa makhluk aneh itu selalu saja ada di pelupuk matanya. Mengapa makhluk aneh itu tampan dan gagah? Mengapa makhluk aneh itu begitu yakin ia mau menjadi pacarnya, bahkan isterinya, padahal ia belum pernah menyetujuinya. Mengapa makhluk aneh itu bisa menaklukkan orang tuanya? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di pikirannya.
***
Rio berlarian kecil memasuki rumahnya saat sepulang dari pantai dan setelah memasukkan mobilnya ke garasi.
"Mamiii...! Papiii...!" Ia berteriak-teriak seperti anak kecil, memanggil kedua orang tuanya.
"Ada apa Rio?" tanya Janet yang sedang menata meja makan.
"Malam ini kita makan di luar, Mi. Rio dapat undangan makan dari orang tua calon isteri Rio." Rio menghampiri maminya dan mencium pipinya.
"Yang bener? Mami akan bertemu dengan calon menantu Mami?" Wajah Janet terlihat gembira.
"Iya, Mi. Kan, Mami dan Papi mau bertemu dengan Lily."
"Mbok Gun!" Janet memanggil pembantunya.
"Iya, Nya." Mbok Gun menghampiri Janet.
"Bereskan meja makannya, ya? Kami tidak jadi makan di rumah malam ini."
"Baik, Nyah."
"Ayo Rio, kita beritahukan papimu." Janet menarik tangan Rio menuju kamarnya.
Julian sedang tidur-tiduran di kasur, sambil menonton televisi.
"Pi!"
"Hm!" jawab Julian tanpa memalingkan pandangannya dari televisi.
"Kita diundang makan malam oleh keluarga calon isteri Rio." Janet duduk di tepi ranjangnya.
Rio mengikuti Janet duduk di tepi ranjang orang tuanya.
"Apa? Kapan?" Julian terlonjak kaget. Ia langsung terduduk dan menatap Rio tajam, tak percaya.
"Malam ini jam 8, Pi," jawab Rio.
"Wah! Mendadak sekali, Rio!"
"Iya, Pi. Aku yang minta bertemu."
"Siapa orang tuanya, Rio?"
"Yang mempunyai Restoran Teratai Di Tengah Kolam."
"Apa?! Budi Segara?!" Sekali lagi, Julian terkejut. Ia tidak menyangka, ternyata calon isteri Rio adalah anak dari sahabatnya sendiri. "Ya, Tuhan! Dia sahabat Papi, Rio. Pasti dengan anak bungsunya, ya?"
"Aku enggak tau, Pi."
"Ya sudah. Kalo gitu, cepet, kita siap-siap. Mi, telepon Jelita dan Claudia. Ajak mereka ikut dengan kita." Julian beringsut turun dari ranjangnya. "Kau persiapkan dirimu, Rio. pakai pakaian yang rapi." Julian menepuk-nepuk bahu Rio. "Akhirnya, kau dapat jodoh juga!"
Rio tersenyum. "Baik, Pi." Rio berjalan melangkah menuju kamarnya. Hatinya berdendang riang, apalagi kedua orang tuanya tampak antusias ingin berkenalan dengan Lily.
***
Rio dan keluarganya melangkahkan kaki menuju bangunan utama restoran milik Budi. Rio berjalan paling depan. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Lily.
Restoran milik Budi sangat terkenal di kotanya. Pelanggannya kebanyakan kalangan menengah ke atas. Restoran itu begitu apik dan unik. Dibuat di tengah sebuah kolam, yang mirip danau dan di atasnya tumbuh bunga teratai berwarna warni. Bangunan besar yang berada di tengah kolam teratai yang cukup besar itu adalah bangunan utamanya, yang sering digunakan untuk meeting para pelaku bisnis. Ada jembatan kecil yang menghubungkan tepi kolam dengan bangunan di tengah kolam. Selain itu terdapat pondok-pondok bambu kecil tempat menikmati santapan kuliner di restoran itu, yang juga berada di tengah kolam teratai, dengan ukuran yang lebih kecil.
Dada Lily berdebar-debar, saat melihat Rio dan keluarganya masuk ke dalam bangunan utama restorannya. Rio mengenakan setelan jas coklat tua dengan dasi berwarna coklat susu. Ia terlihat sangat gagah dan tampan malam itu. Wajahnya terlihat ceria dan penuh senyuman menambah ketampanannya.
Budi Segara dan Ayu Dewi Kartini menyambut kedatangan mereka dengan senyum yang merekah. Melalui hubungan Lily dan Rio, hubungan persahabatan mereka akan meningkat menjadi saudara.
Rio menghampiri Lily yang sedang duduk di salah satu kursi di dekat pintu masuk. "Selamat malam, sayang."
Lily bangkit dari duduknya. Wajahnya tertunduk.
Rio meraih tubuh mungil Lily dan memeluknya hangat. "Kau sangat cantik, malam ini, sayang," bisiknya bergetar.
Lily diam mematung. Dadanya berdebar kencang.
Rio melepaskan pelukannya. "Sayang, kenalkan kedua orang tuaku." Rio menatap papi dan maminya. "Pi, Mi, kenalkan ini calon isteri Rio."
"Tadi bilang pacar. sekarang calon isteri." Lily tertegun mendengar pernyataan Rio. "Menyatakan cinta aja belum. Jadi pacar aja belum. Gimana tiba-tiba bisa jadi calon isteri?"
"Oh, iya. Saya Julian, Papinya Rio. Kau cantik sekali," puji Julian sambil menjabat tangan Lily dan menatapnya lekat-lekat. "Siapa namamu?"
"Saya Lily, Om." Lily menyambut tangan Julian dengan malu-malu. Ia risih melihat tatapan Julian. Seorang lelaki berdarah campuran Amerika-Indonesia. Walau usianya sudah setengah abad lebih, tapi ia masih terlihat gagah dan tampan. Hanya rambutnya sedikit memutih.
"Ini isteri saya," ucap Julian melepaskan jabatan tangannya dan meraih pundak Janet.
"Saya Maminya Rio, Janet." Janet menjabat tangan Lily dan mencium pipi kanan dan kiri Lily. "Kau cantik sekali, pantas saja Rio jatuh cinta padamu," bisik Janet sambil menepuk-nepuk punggung Lily.
Dada Lily bergetar menghadapi kedua orang tua Rio. Mereka orang kalangan kelas atas yang terkesan glamour. Ia yang biasa dididik hidup sedehana oleh orang tuanya merasa ciut menghadapi mereka.
"Hai, Lily. Sudah kenal denganku, kan?" ucap Claudia sambil menjabat tangan Lily.
Lily mengangguk dan tersenyum sangat manis.
"Ini suamiku." Claudia menepuk bahu suaminya yang berdiri di sampingnya. "Itu kakakku, Jelita dan itu suaminya," ucap Claudia mengacungkan telunjuknya pada Jelita dan suaminya yang berdiri tidak jauh darinya .
"Hai, Lily. Kau cantik sekali." Frans, suami Claudia menjabat tangan Lily. "Tidak salah Rio memilihmu. Ternyata kakakku itu seleranya sangat tinggi. Haha...." Ia menepuk-nepuk punggung tangan Lily sebelum melepasnya.
"Hai, Lily. Aku adik Rio. Aku jelita." Jelita menyalami Lily, mencium pipi kanan dan kirinya. "Kau benar-benar cantik. Kakakku pasti sangat menyayangimu. Ia sangat hati-hati memilih jodoh. Aku kagum padamu yang telah membuatnya jatuh cinta, padamu," ucap Jelita tulus sambil tersenyum manis. "Ini suamiku, Indra." Jelita memeluk pinggang Indra.
"Hai, Lily! Kau wanita yang luar biasa yang sudah mampu menaklukkan Rio si Puncak Salju Abadi." Indra menyalami Lily. Adik Rio semua cantik-cantik dan anggun. Suaminya pun semua tampan, gagah dan cool. Lily benar-benar merasa kecil di hadapan mereka. Mereka semua orang-orang terdidik dan sangat sopan.
Lily tersipu-sipu. Semua keluarga Rio memuji-mujinya. "Salju abadi? Apalagi itu? Aku enggak ngerti." Lily bingung dengan semua peristiwa yang terjadi belakangan ini. De javu. Lelaki aneh yang tampan, kaya, berpendidikan tinggi, yang tiba-tiba menganggapnya calon isteri. Ah! Ia tidak mengerti semua ini.
Orang tua dan kakak Lily beserta suaminya menemui keluarga Julian. Mereka mengobrol sejenak lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan mengelilingi meja yang cukup besar yang berisi hidangan makanan pembuka. Keluarga mereka duduk saling berhadap-hadapan.
Lily melihat Rio yang duduk tepat di hadapannya dengan ekor matanya. "Hari ini makhluk aneh ini bener-bener ganteng. Rapi. Bulu di wajahnya kayaknya emang enggak pernah dicukur sampe abis. Wajah itu keliatan dewasa dan berwibawa banget. berasa teduh." Ada aliran hangat yang mengalir di tubuhnya saat menatap Rio.
Rio menangkap tatapan Lily. Ia tersenyum menawan sambil mengedipkan salah satu matanya.
Wajah Lily memanas. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan debaran di dadanya yang tidak mau hilang.
"Kita mulai saja, Mas Julian. Tadi kita semua sudah berkenalan, tapi kami sekali lagi ingin memperkenalkan keluarga kami." Budi menatap Ayu yang duduk di sampingnya. "Ini isteri saya Ayu Dewi Kartini. Ini anak saya yang sulung, Lotus dan suaminya Randy. Ini anak saya yang bungsu, Water Lily. Kami mengundang keluarga Mas Julian atas permintaan Rio yang ingin mengenalkan Lily dengan Mas sekeluarga. Sekarang giliran Mas Julian untuk memperkenalkan keluarga Mas sekali lagi." Budi Segara membuka pembicaraan.
"Terima kasih Dik Budi. Langsung saja. Ini isteri saya Janet. Ini anak sulung kami si tampan, Ontario, ini anak kami yang kedua si cantik, Jelita. Itu suaminya, Indra. Yang disebelah maminya adiknya yang paling bungsu, Claudia. Dan di sebelah Claudia, suaminya Frans. Kami datang ke sini berdasarkan permintaan Rio. Kami terkejut sewaktu Ontario berkata ingin mengenalkan kami pada calon isterinya. Sebelumnya, saya berniat menjodohkan Rio pada anak kolega saya. Tapi ia merasa tidak cocok! Beberapa hari yang lalu dia berkata sudah mempunyai calon isteri. Kami kaget juga. Selama ini Ontario tidak pernah dekat dengan seorang wanita mana pun. Apalagi punya pacar." Julian melirik ke arah Rio.
"Kami memintanya agar segera memperkenalkan kami dengan calon isterinya. Tadi sore, mendadak ia ingin mengenalkan kami pada calon isterinya. Claudia adiknya, katanya sudah pernah bertemu dengan calon isterinya. Dan ia merasa suka." Julian bicara panjang lebar.
"Calon isteriku cantik, kan?" Rio menatap Lily dengan senyum menawannya.
"Ha ha.... sangat cantik! Seleramu tinggi juga. Ternyata jodoh kamu anak sahabat Papi sendiri." Julian tertawa kecil. "Tapi dia masih sangat kecil, Rio. Bagaimana kamu bisa cepat menikah di usia kamu yang sudah 32 tahun?"
"Papi... Papi. Aku akan menunggunya sampai ia menyelesaikan SMUnya. Lalu menikah, dan Papi Mami punya cucu dari aku. Bagaimana?" Rio mengerling ke arah Lily
"Lulus SMU menikah? Bagaimana dengan kuliahku? Bagaimana kalau aku hamil, punya anak?" Hati Lily berdebar-debar. Ia tidak pernah membayangkan semua itu. Menikah?!
"Haha... kamu pintar juga, ya. Tiga tahun lagi waktu yang tidak lama untuk menunggu. Papi setuju. Bagaimana dengan Mami?"
"Mami setuju, Pi. Lily sangat cantik," puji Janet.
"Bagaimana Dik Budi, apakah setuju jika mereka menikah setelah Lily lulus SMU?"
"Saya sangat setuju. Mama?" Budi bertanya pada isterinya.
"Setuju, Pa." Ayu tersenyum bahagia. Anaknya mendapat jodoh anak dari orang yang terpandang dan terhormat. Tidak seperti anaknya yang pertama. Yang telah membuat malu keluarga dengan suaminya yang tidak tahu aturan.
"Bagaimana dengan Lily?" Julian bertanya pada Lily.
"Eee... Li ...."
"Lily pasti setuju, Pi." Rio menyela kata-kata Lily dan tersenyum lebar.
"Sialan banget sih! Maunya dia tuh, nikah cepet-cepet." Lily mengumpat dalam hati.
"Oya, Pi. Rio sudah membeli cincin buat kami berdua. Rio ingin memberikan pada Lily sekarang juga sebagai tanda pengikat cinta kami." Rio mengeluarkan sebuah kotak transparan berisi sepasang cincin emas bertahta berlian yang mewah dari saku jasnya.
Lily terbengong-bengong. "Kenapa tiba-tiba kayak gini? Aku belum siap! Aku belum mau nikah. Tadi dia bilang cuma mau ngenalin aku ke orang tuanya. Kenapa tanpa minta persetujuanku ia langsung ngelamarku kayak gini?" Ia gelisah.
"Anak Papi rupanya tidak sabar lagi, ingin mengikat Lily. Baiklah. Bagaimana Dik Budi? Anak saya sudah tidak sabar lagi ingin mengikat Lily." Julian menatap Budi dan isterinya bergantian sambil tersenyum bahagia. Akhirnya anaknya mendapatkan jodoh juga. Ia merasa bahagia, jodoh anaknya adalah anak dari temannya sendiri dan sangat cantik, juga sopan.
Budi dan Ayu menatap Rio dan Lily bergantian. Mereka tidak menyangka anak bungsunya yang pendiam dan tidak pernah terlihat dekat dengan lelaki mana pun, tiba-tiba dilamar oleh anak dari keluarga baik-baik dan terhormat. Mereka bangga bisa menjadi bagian dari keluarga Julian Harry, orang terkaya di daerahnya yang menguasai beberapa perusahaan besar. "Bagaimana Ma?" Budi menatap Ayu.
"Itu lebih baik, Pa. Kita sudah mengenal keluarga Julian dengan baik. Rio juga anak yang baik dan pastinya ia akan bertanggung jawab dan dapat menjaga anak kita." Ayu menatap Budi.
"Bagaimana, Li? Kau setuju, kan?"
"Terserah Papa Mama ajalah." Akhirnya hanya kata-kata itu yang meluncur dari mulutnya. Toh selama ini ia pun telah jatuh cinta pada Rio.
"Baiklah, sebelum kita menikmati hidangan utama, saya minta Rio menyematkan cincin ke jari tangan Lily. Ayo Li." Budi mengajak Lily berdiri.
Rio bangkit berdiri mendekati tempat duduk Lily.
Lily melangkah mendekat Rio.
Rio menatap wajah Lily penuh kehangatan.
Lily tidak menyangka sama sekali, hanya dalam waktu satu bulan lebih ia langsung menjadi calon isteri Rio. Orang yang selalu hadir di pelupuk matanya.
Rio merarih tangan Lily. Diraihnya jari manis Lily dan disematkannya cincin itu ke jari manis tangan Lily penuh hati-hati.
Mata Lily terpejam. Tiba-tiba ia merasa sangat bahagia. Tangan-tangan Rio menyentuhnya begitu lembut. Lily menatap cincin di jari manisnya. Sangat indah dan cocok terpampang di sana. Tiba-tiba tanpa dapat dikendalikan, hatinya bernyanyi riang.
Rio memeluk Lily. "Aku sangat mencintaimu. Akhirnya kita dapat dipersatukan kembali, sayang." Rio berbisik di telinga Lily. Ia melepaskan pelukannya, lalu mencium bibir Lily mesra.
Lily terdiam mematung. Ia merasakan kehangatan Rio. Terasa dekat sekali. Ciuman itu begitu hangat, menggetarkan hatinya. Ia hanyut. Ia seperti pernah merasakan sentuhan yang sama di bibirnya. Namun entah kapan.
Tepuk tangan bergema di ruangan itu. membuatnya tersadar, ia menjadi malu sendiri dan mengomel dalam hati. "Kak Rio seenaknya banget nyium aku di depan banyak orang gini."
"Kau tampak sangat mencintai Lily, Nak," ucap Julian saat Rio kembali ke tempat duduknya.
Rio tersenyum bahagia. "Sangat, Pi."
Lily dengan dada bergemuruh, duduk di kursinya kembali.
Rio tak lepas-lepas menatapnya.
Budi memberi tanda agar pelayan menyediakan main course (hidangan utama).
"Silakan dinikmati hidangan yang sudah kami siapkan." Budi mempersilakan tamu-tamunya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top