Episode 1. Jodoh untuk Rio

Sometimes somebody stays, sometimes somebody lives, but ussually somebody goes away without  anything, trail or just a little spelling.

Story's began

"Rio, kamu sudah menemukan gadis pilihanmu?" tanya Julian pada Rio, saat mereka sedang menyarap, pagi itu.

Mulut Rio ternganga, Roti dalam genggaman tangannya, tak jadi meluncur ke dalam mulutnya. "Pertanyaan itu lagi, itu lagi. Setiap hari cuma itu yang ditanyakan. Apakah papi tidak bosan? Dan berkali-kali aku selalu menjawab...."

"Sudah," jawab Rio pendek.

"Mana? Kenalkan sama Papi dan Mami."

"Nanti."

"Kapan? Umurmu sudah tiga puluh dua tahun, Rio. Kapan kau akan menikah?"

"Nantilah, Pi. Nanti juga aku pasti menikah." Rio enggan meladeni Papinya—Julian Harry—yang hampir setiap hari menanyakan jodohnya.

"Nanti kapan, Rio? Adik-adikmu semua sudah menikah. Papi sudah enggak sabar lagi ingin melihat kau menikah, Rio."

"Papi ini lucu. Aku yang mau menikah, kok Papi yang enggak sabar?"

"Rio, jangan bercanda! Papi serius!"

"Aku juga serius, kok." Segelas jus jeruk yang ada di samping piring makannya, tandas, berpindah ke perutnya. Ia acuh tak acuh meladeni pertanyaan Julian Harry, seraya memainkan jari-jarinya di bibir gelas yang diletakkannya di atas meja kembali.

"Rio?" Alis Julian Hari berkerut. Helaan napas panjangnya terdengar hingga ke telinga Rio.

"Iya, Papi sa... yang. Nanti aku akan persembahkan seorang menantu yang baik dan cantik, buat Papi." Rio mempermainkan ucapannya dan berusaha meredakan kekesalan ayahnya, walau ia yakin, kekesalan ayahnya tidak akan mereda.

Boro-boro bisa memberikan menantu? ada rasa gundah di hatinya. Ia hanya merindukan satu orang gadis, ia sendiri tidak tahu siapa dia, di mana dia. Seorang gadis yang pernah hadir dalam mimpi-mimpinya, dalam angannya. 

"Jangan lama-lama, Rio. Umurmu terus bertambah."

"Iya, Papi. sayang" Rio melap mulutnya dengan tissue dan bangkit dari tempat duduknya. Dikecupnya pipi sang ayah, lalu sang ibu, yang sedari tadi terdiam. 

Ia tak mungkun bercerita, bagaimana ia telah mempunyai seseorang yang telah mengisi relung hatinya. Orang tuanya tidak akan percaya. 

"Tunggu dulu! Papi belum selesai bicara!"

Hh! Rio menghela napasnya dan dengan setengah hati. "Apalagi sih, Pi?" Ia kembali duduk, dengan tubuh sedikit terhempas. 

"Papi sudah meminta seorang gadis cantik, anak dari sahabat papi untuk bekerja di kantormu. Ia akan menggantikan sekretaris lamamu yang sudah Papi mutasi ke perusahaan Papi." Julian Harry mengambil segelas jus jeruk yang ada di mejanya dan meminumnya hingga tandas. Emosinya sedikit memuncak, melihat putra tunggalnya acuh tak acuh.

Janet yang sedari tadi hanya diam menatap Rio dan Julian bergantian. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat Rio yang tidak pernah bisa serius, jika diajak bicara soal jodoh.

"Kok, Papi begitu? Masa memindahkan karyawanku tanpa seizin aku?"

"Sekretarismu bukanlah karyawan yang produktif. Kamu rugi mempekerjakannya. Wajah pas-pasan, bodoh pula. Sekretaris barumu cantik dan pintar, walaupun hanya lulusan dalam negeri. Lagi pula, Papi ini masih komisaris di perusahaanmu dan mempunyai hak atas perusahaanmu." Julian menatap Rio tajam.

Rio sedikit tertunfuk. Ia membenarkan ucapan ayahnya, kalau sekretarisnya itu tidak pandai, malah cenderung bodoh dan telmi (telat mikir). Beberapa pekerjaan seringkali terbengkalai karena kebodohannya.

"Cobalah berkenalan dengannya. Papi enggak memaksamu kalau enggak cocok. Tapi ingat umurmu, Rioooo.... Seharusnya saat ini kau sudah memiliki paling enggak dua orang anak."

"Papi... Papi. Udahlah, Pi. Aku juga mau menikah. Siapa yang enggak mau punya isteri? Tapi kalau belum ketemu jodoh gimana?"

Ia tidak mau dijodohkan. Kalau saja ia mau, ia sudah mendapatkan gadis yang ia inginkan. Tapi janji itu, selalu terngiang di telinganya. Janji cinta dan kesetiaan pada kekasihnya dahulu. Ia tidak mungkin melanggar janji itu dan mengkhianati cintanya.

"Bagaimana mau menemukan jodoh? Kau terlalu dingin terhadap wanita. Sebenarnya kamu ini normal atau enggak?"

Julian mengernyitkan alisnya. Semua putera rekan bisnisnya dekat dengan banyak wanita. Bahkan banyak di antara mereka yang gonta-ganti pacar, atau bahkan kencan dengan banyak wanita. Namun Rio? Sama sekali tidak pernah dekat dengan satu wanita pun.

"Aku normal, Papiii .... Masa papi curiga sama anak sendiri, sih?" Suara Rio meninggi. 

"Kalau aku mau, nih Pi, ya. Aku bisa kencan sama banyak wanita. Tapi aku enggak mau. Aku enggak bisa. Aku akan menjaga kesetiaan ini, hanya untuk dirinya." Namun kata itu hanya terucap di dalam hatinya.

"Papi enggak curiga, tapi heran. Sejak remaja hingga dewasa seperti sekarang ini, papi enggak pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kenapa? Apakah tidak ada yang membuatmu tertarik?"

"Belum."

"Kau tidak pernah jatuh cinta?"

"Belum."

"Nah itu dia! Pria seusiamu paling enggak sudah pernah punya pacar."

"Sudahlah, Pi. Jangan bahas itu lagi. Aku mau berangkat kerja, sudah jam setengah delapan. Seorang pimpinan perusahaan yang telat datang ke kantornya akan menjadi preseden buruk bagi para karyawannya." Seraya berlalu, Rio meraih kunci mobil yang tergeletak di rak TV di ruang tengah.

"Oke. Jangan lupa, berkenalanlah dengan Florence, bersikaplah ramah padanya dan jangan membuat papi malu." Julian sedikit berteriak dan bangkit dari tempat duduknya. "Kita berangkat, Mi."

Janet yang juga ikut membantu di perusahaan keluarga mereka bangkit dari tempat duduknya. "Rio, hati-hati." Suara Janet terdengar lembut.

"Ya, Mi. Rio berangkat duluan." Rio menyalami papi dan maminya.

***

Ruang kantor Rio cukup luas dan terlihat cukup megah. Di sana ada kursi besar dan mewah di belakang meja yang juga besar dan mewah. di depan tempat duduknya ada sofa panjang dan kursi tamu untuk menerima tamu yang sangat pribadi. Di belakang tempat duduknya ada rak buku dengan sederetan buku dan rak arsip penting. Agak ke samping kiri ada pintu tembus ke ruangan yang lebih mirip kamar pribadi yang tidak terlalu besar, yang hanya terdiri dari satu ranjang kecil, kulkas dan sebuah WC. Di belakang sofa di sudut kanan ada pintu tembus ke ruangan sekretarisnya. Hanya Rio yang memegang kunci dan bisa mengunci pintu itu.

Ia menghempaskan tubuhnya ke kursinya yang empuk. Hh! Ia menarik napas panjang. "Kapan aku menemukan dirimu? Lima belas tahun sudah, aku mencarimu. Di manakah dirimu berada? Sampai kapan aku bisa menemukanmu?" Mata Rio menerawang ke langit-langit ruangannya. Ia mengambil remot AC dan menyalakan AC ruangannya.

Tok! Tok! Pintu ruangan sekretaris diketuk. Rio bangkit dan membuka pintu itu. Matanya terbelalak melihat seorang gadis cantik berdiri di sana.

"Siapa kamu?" Rio mengernyitkan dahinya.

"Kau Rio? Ontario, kan? Apa papimu enggak memberitahumu kalau mulai hari ini aku bekerja di kantormu ini?" Wajah cantik itu menyungging senyuman yang sangat cantik. Ucapannya terdengar sedikit angkuh.

"Oh, ya. Aku lupa." Rio menepuk dahinya. Ia sampai lupa apa yang dikatakan papinya karena pikirannya sama sekali tidak tertuju pada sekretaris barunya, yang tadi dibicarakan ayahnya. Cantik, sih. Namun ia tidak menarik. Mungkin kalau lelaki mata keranjang, sudah tergiur dengan kecantikan dan kemolekan tubuh Florence. Rio menatap Florence dari atas hingga kaki. "Hm...." Rio mengusap dagunya. "Angkuh!" gumamnya dalam hati.

"Mm ... aku Florence. Florencia Agatha." Florence mengulurkan tangannya. Jantungnya berdebar kencang. Rio terlalu tampan sebagai lelaki. Tubuhnya atletis dengan kulit putih. Kumis, jenggot, dan jambangnya yang tak tercukur habis, menambah kemaskulinannya. Namun terlihat kaku dan angkuh.

"Ya, ya. Kau sudah tau namaku." Rio menyambut uluran tangan Florence, dingin. Ia ingat pesan papinya agar bersikap ramah dengan sekretarisnya. Namun ia bukanlah lelaki yang bisa berpura-pura.

"Boleh aku duduk di sofamu?" Florence menuju sofa dan duduk tanpa persetujuan Rio. Ia berusaha menenangkan debaran jantungnya. "Kantor pusat administrasimu ini cukup bagus dan berada di tengah kota. Cukup strategis untuk mengadakan negosiasi dengan para rekanan dan dekat dengan pelabuhan peti kemas dan bank devisa. "Aku suka di sini. Kau pandai mendesign kantormu. Aku merasa nyaman dan sejuk di sini. Di lantai 1 sewaktu aku menuju ruanganku di lantai 2 ini, aku melihat design interior taman kecil, kolam beserta ikan koinya dan air terjun mini. Sangat indah! Aku tidak merasakan suasana formal di sini."

"Hm ... begitulah." Rio ikut duduk agak jauh di samping Florence.

"Kata orang-orang kau dingin terhadap wanita. Tapi kalau aku lihat dari design kantormu, aku merasakan kehangatan jiwamu.." Florence menatap Rio dengan sudut matanya.

"Entahlah. Itu kata orang." jawab Rio kaku seraya memainkan sandaran tangan sofa.

"Kau sudah punya pacar?"

"Sialan, nih cewek. Baru kenal sudah tanya-tanya pacar," maki Rio dalam hati. "Aku rasa kau sudah tau jawabannya. Bukankah itu tujuanmu ke sini?" Rio berkata dengan nada tidak senang.

"Hahaha.... Wanita mana yang enggak mau jadi isterimu, Rio? Kaya, tampan, orang baik-baik. Sangat sempurna sebagai lelaki." Florence duduk menyilangkan kakinya dan membetulkan letak rambutnya. Hari itu ia memakai pakaian yang di bagian dadanya agak terbuka. Belahan dadanya tampak jelas, menggoda iman. Namun tidak, untuk Rio--Seorang lelaki dengan kesetiaan yang sempurna.

"Tapi jangan harap aku jatuh cinta padamu. Dan menjadikanmu isteriku," ucap Rio masih dengan nada tidak senang. Yang awalnya ia berusaha ramah berubah menjadi benar-benar kaku.

"Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku." Florence menggeser duduknya lebih dekat ke arah Rio.

Rio bergerak bangkit, berdiri tepat di depan Florence. "Jangan kegeeran! Sudah merasa cantik?" Ucapannya sangat sinis. "Kecantikanmu bukan apa-apa bagiku! Aku tidak akan pernah tertarik dengan rayuan murahan. Kau siapkan berkas-berkas untuk rapat nanti setelah makan siang dengan seluruh staf di kantor ini. Kau pasti tau apa yang harus kau kerjakan di sini. Aku keluar sebentar. Jangan pernah menggodaku lagi!" Bahasa Rio terdengar formal dan tegas, Rio meraih kunci mobilnya dan pergi meninggalkan kantornya. Hatinya merasa kesal! Mengapa ayahnya menempatkan sekretaris seperti itu.

Ia mengendarai mobilnya dengan cepat ke arah sebuah sekolahan, SMU tempat ia dulu menimba ilmu. Sudah menjadi kegiatan rutinnya sejak 15 tahun lalu bolak-balik ke sekolah ini, kecuali saat ia kuliah mengambil S2 bisnisnya di Amerika Serikat selama 2 tahun. Ia memarkir mobilnya di halaman parkir SMU swasta paling terkenal di kotanya itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top