9 - Be Your Self

Tertawa itu gratis, jadi jangan sungkan. Pesona seseorang akan bertambah jika sering-sering tertawa.

---

"Kamu?" Berbeda dengan Bara, Dira malah langsung yakin, lelaki di depannya ini adalah orang yang pernah ditolongnya.

Bara tersenyum kaku. Ia sedang shock. Di tempat umum seperti ini memang sangat memungkinkan siapa bertemu siapa, hanya saja Bara tidak menyangka akan bertemu Dira bersama seorang bocah yang memanggilnya "mama".

"Ini kebetulan ketiga."

"Kurasa tidak ada kebetulan yang sampai tiga kali." Bara tersenyum kikuk.

"Oh ya, Dir, kenalin, sahabatku, Rana."

Rana dan Dira lekas berjabat tangan dan bergantian menyebutkan nama.

"Ngomong-ngomong, makasih, ya, udah jagain Kevin. Aku benar-benar panik nyariin dia. Pasti kalian direpotin."

"Ah, nggak, kok. Kami malah senang banget bisa makan bareng anak selucu dia." Rana mengelus pucuk kepala Kevin yang tampak sangat nyaman rebahan di pundak Dira.

"Kok, bisa kepikiran dia ada di sini?" tanya Bara, yang masih belum berhasil mencerna sepenuhnya pemandangan yang ada.

"Sebenarnya aku udah keliling nyariin dia. Udah lapor satpam juga. Terus aku ingat, dari tadi dia merengek pengen makan burger. Tapi aku bilang nanti, karena kebetulan lagi ada urusan sama teman-teman kerja. Eh, tahu-tahu malah kabur."

"Lain kali lebih diperhatikan lagi, Mbak," ujar Rana sambil tersenyum ramah.

"Iya. Aku sangat menyesal dengan kejadian ini." Dira terus mengelus punggung Kevin, membuat mata anak itu semakin sayu. Sepertinya sebentar lagi akan tertidur.

"Oh ya, biar aku yang bayar, ya." Dira hendak beranjak ke meja kasir.

"Eh, nggak usah." Bara mencegahnya.

"Tapi--"

"Serius, nggak apa-apa!"

"Beneran?"

Bara mengangguk mantap. "Anggap aja udah dibayar dengan sebotol bensin," celetuknya kemudian.

Tawa kecil Dira mengudara sesaat. "Ya udah, kalau gitu aku duluan, ya. Kebetulan masih ada urusan. Sekali lagi terima kasih." Dira agak merundukkan kepala sebelum berbalik dan keluar dari restoran itu.

Bara mematung. Tatapannya menembus dinding kaca restoran, membuntuti Dira bersama Kevin hingga keduanya benar-benar tidak terjangkau lagi.

"Kamu baik-baik saja?" Rana membuyarkan lamunan Bara.

"Memangnya kenapa?"

"Dia yang kamu maksud titisan Luna, kan?"

Seketika bahu Bara merosot. Lelaki itu kemudian mengangguk lemah.

Rana menepuk pelan pundak Bara. "Pulang, yuk!" ajaknya kemudian.

Bara berbalik untuk mengambil ponselnya di atas meja. Gerakan tangannya terhenti saat melihat miniatur Batman tergeletak di samping ponselnya. Itu milik Kevin, tapi tidak mungkin mengejarnya sekarang. Bara memilih mengantongi benda mungil itu bersama ponselnya. Ia bisa mengembalikannya kapan-kapan.

***

Tadinya Bara pikir Bian mengerjainya, tiba-tiba muncul di WA dan mengajak ketemuan. Siang-siang begini? Tapi setelah kelasnya bubar, Bara bergegas ke parkiran dan benar-benar menemukan mobil Bian terparkir di sana. Bara langsung menghampiri dan mengetuk kaca depan setibanya.

"Ada apa, Om?" tanya Bara tanpa basa-basi setelah Bian menurunkan kaca.

"Aku perlu ngomong sama kamu."

"Soal?"

"Kita nggak mungkin ngobrol di sini, kan?"

"Jadi?"

"Kamu masih ada kelas?"

Bara melihat jam tangannya. "Aku punya waktu kosong kurang lebih sejam."

"Cukup. Ayo naik, kita cari tempat nyaman untuk ngobrol."

"Aku nggak akan diculik, kan?" celetuk Bara.

"Buat apa?" Tanya Bian datar. Padahal lebih pas kalau ia tersenyum, atau mungkin malah tertawa. Dasar memang lelaki tembok. Kaku.

Bara berdecak pelan sambil memutari bagian depan mobil untuk mengisi jok di samping kemudi.

Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari kampus Bara. Mereka memesan snack dan soft drink untuk teman mengobrol.

"Aku udah baca cerpenmu."

Bara yang sedang menyedot minuman, nyaris tersedak. Ia tidak menyangka Bian akan membuka obrolan ini dengan kalimat itu." Bagus, nggak?" tanyanya antusias.

"Ya ... lumayan. Aku nggak nyangka, di balik tingkah kekanak-kanakan kamu punya pemikiran sekritis itu."

Bara merengut. "Saya lebih suka yang pasti, Om. Bagus, ya bagus. Jelek, ya jelek. Jangan lumayan."

Menerima protes, Bian malah terkekeh. "Iya, bagus," akunya kemudian.

"Nah, kan!" Bara menepuk tangannya sekali, saking senangnya dapat pujian langsung. "Sumpah, hari ini salah satu hari terindah dalam hidupku. Kapan lagi dapat pujian langsung dari orang kayak Om? Ditraktir pula."

"Bentar, orang kayak aku?" Bian mengernyit. "Emangnya aku kenapa?"

Bara menyedot minumannya beberapa kali untuk sekadar melegakan tenggorokan sebelum menjawab. "Maaf-maaf aja, ya, Om itu agak kaku." Bara menutup kalimatnya dengan cengiran lebar, berharap Bian tidak akan tersinggung.

Bian mencebik.

"Buktinya, sejak kenal, baru tadi aku lihat Om tertawa. Gara-gara habis baca cerpenku, kan?"

Bian hanya tersenyum geli sambil geleng-geleng. Mungkin semua tingkah meledak-ledak Bara yang justru membuat Rana betah bersahabat dengannya. Atau mungkin sampai mencintainya. Sejak dulu Bian sangat sulit memercayai kalau Rana hanya menganggap Bara sebatas sahabat.

"Kalau Om emang butuh, aku bisa nunjukin tulisan-tuisanku yang lain," tawar Bara penuh percaya diri.

"Nggak perlu." Bian mengibaskan tangan. "Lagian tadi itu hanya pembuka, biar kamu senang aja."

Kerutan halus muncul di kening Bara.

"Sebenarnya aku butuh bantuan kamu."

Kerutan tadi semakin dalam.

"Tapi sebelum kita lanjut, saya mau tanya satu hal sama kamu, dan tolong dijawab dengan serius."

Bara mulai bingung, akan mengarah ke mana pembicaraan ini?

"Kamu dan Rana benar-benar hanya bersahabat?"

"Iya, benar."

"Syukurlah." Bian bernapas lega.

"Kenapa?"

"Aku suka sama Rana. Tapi berhubung aku atasannya, selama ini aku bingung bagaimana harus mendekati dia. Dan jujur, aku iri sama kedekatan kalian."

"Om terlalu kaku, sih," timpal Bara.

"Karena itu, aku butuh bantuan kamu. Aku pengen bisa lebih dekat dengan Rana di luar hubungan kerja. Minimal bisa bikin dia nyaman."

"Mm ...." Bara tampak berpikir sejenak. "Dibayar, nggak, nih?" celetuknya kemudian.

Bian tersenyum geli sambil memijit keningnya. Benar-benar harus sabar berhadapan dengan Bara, padahal tadi ia sudah teramat serius.

"Santai, Om." Bara berdeham. "Jadi, aku bisa bantu apa?"

"Apa aja, yang menurutmu bisa membuat aku lebih mudah mendekati Rana. Kalau bisa bikin dia senyaman saat sama kamu."

"Wah, berat juga, ya!" Bara mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya, pura-pura memasang tampang sedang berpikir keras.

Bian menunggu tidak sabaran.

"Mungkin masalah terbesarnya karena Om kebetulan atasannya dia--"

"Tunggu." Bian menginterupsi. "Bisa tidak usah panggil om?"

"Oh, oke. Kita ulang." Bara pura-pura berdeham. "Mungkin masalah terbesarnya karena kamu kebetulan atasan dia. Kita coba benahi dari sisi ini dulu."

Bian memasang perhatian penuh.

"Coba kamu berdiri."

Bian mengernyit bingung, tapi pada akhirnya menurut.

"Nah, lihat penampilanmu."

Bian memandangi tubuhnya. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Ketuaan." Bara terbahak sambil memegangi perutnya.

Bian merengut sambil kembali duduk. "Sialan!" Ia melipat tangan di depan dada sambil memasang tampang kesal.

"Sori." Bara berusaha meredam sisa tawanya. "Kan, kamu sendiri yang minta bantuan. Boleh, dong aku jujur." Sisa-sisa tawa Bara masih mengudara sesaat. "Jadi jangan heran kalau selama ini aku lebih suka panggil kamu 'om'."

Bian kembali memijit keningnya. Minta bantuan Bara entah keputusan tepat atau tidak.

"Seorang atasan tidak harus pakai celana bahan plus kemeja dimasukin, kan?"

Memang tidak harus begitu, tapi Bian memilih tidak menjawab.

"Apalagi untuk ukuran toko bunga yang butuh suasana santai, fresh, dan ringan. Apa salahnya berpakaian lebih santai? Sesuai umur, Bro."

Bro? Bian tidak mempermasalahkan panggilan baru itu. Setidaknya jauh lebih baik daripada om.

"Jadi menurut kamu cara berpakaianku aneh?"

"Bukan aneh, tapi perlu dibikin lebih soft. Karena secara tidak langsung, penampilan formal seperti ini semakin menegaskan posisi kamu sebagai atasan, membikin kaku saat kamu mencoba berinteraksi dengan bawahan. Sesekali mengenakan jins dan sepatu kets, nggak masalah, kan?"

Bian tampak merenung, ia mulai membenarkan omongan Bara.

"Pokoknya mulai dari situ dulu, deh. Karena aku juga bukan pakar yang punya segudang trik untuk mendekati seseorang." Bara meraih gelas minumannya, menyedotnya beberapa kali. "Kalau mau deketin Rana, atau cewek mana pun di luar sana, kuncinya cuma satu, be your self. Jadi kamu nggak harus jadi aku untuk bisa dekat sama Rana. Karena aslinya aku emang seperti ini. Terlepas Rana suka atau nggak, aku akan tetap seperti ini. Kamu juga pasti punya sisi yang bisa bikin orang lain nyaman."

"Nah, kalau dewasa gini aku baru yakin, cerpen itu beneran tulisan kamu."

"Dasar! Jadi sebelumnya nggak percaya?"

Bian terkekeh.

"Satu lagi, sering-sering tertawa seperti itu. Gratis, kan? Pesona seseorang bertambah kalau sering-sering tertawa, loh."

"Sotoy!" timpal Bian.

"Nggak percaya? Coba aja ngaca sambil tertawa. Asal jangan keseringan, ntar disangka gini." Bara menbentuk garis miring dengan telunjuk di kening.

Sekali lagi Bian sukses dibikin terbahak. Sampai di sini Bian bisa menarik satu kesimpulan, Bara memang pribadi yang menyenangkan. Sekarang ia punya jawaban atas pertanyaannya selama ini, kenapa Rana sedemikian nyaman sama dia.

"Bentar, kamu serius suka sama Rana, kan?"

Bian mengangguk mantap.

"Benar-benar sayang?"

"Lebih dari apa pun," tegas Bian.

"Dia itu sahabatku, loh. Kalau kamu berani macam-macam, urusannya sama aku."

"Siap!" Bian mengacungkan jempol kanannya.

***

[Bersambung]

Menikmati ceritanya sejauh ini?

Dukung Rana sama Bara atau sama Bian?

😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top