2 - Seseorang Berjiwa Penolong

Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik.

---

"Selamat pagi, Ibu Peri."

Sapaan yang sengaja dimanis-maniskan itu menyambut Rana saat baru keluar dari unitnya. Kesibukan Rana mencari kunci di dalam tasnya terjeda. Gadis bekerudung biru itu mengangkat pandangan, menatap Bara yang sudah siap di atas motor matic-nya. Seperti biasa, ia hanya membalas dengan senyuman, lalu beralih menutup pintu unitnya dan menguncinya dengan baik.

"Kamu tidur, kan?" tanya Rana sambil melangkah mendekat.

"Ya iyalah. Aku bukan perangkat elektronik yang bisa beroperasi menggunakan tenaga surya."

"Yakin?"

"Soal tidur atau perangkat elektronik?" Bara pura-pura berlagak bego.

Rana hanya berdecak sambil geleng-geleng. Kemudian ia menarik tengkuk Bara, mendekatkannya ke kaca spion.

"Tuh, mata panda."

"Oh, ini salah satu ciri cogan yang dipatenkan belum lama ini."

"Di?"

"Di ...." Bara memutar bola mata sambil berpikir. "Di dunia kami. Duniaku bersama Luna."

Sepagi ini Rana sudah mendengar nama itu lagi, membuat semangat beraktivitas yang tadinya sudah terhimpun, terurai perlahan-lahan.

"Oh, terima kasih. Berkat Ibu Peri, aku punya ide cemerlang untuk novelku."

Rana mengernyit tidak paham.

"Aku akan menambahkan hal-hal ajaib yang hanya ada di dunia kami," imbuh Bara penuh semangat.

"Kamu nulis cerita fantasi, ya?"

"Bukan! Ini bukan cerita fantasi, tapi tentang aku dan Luna."

"Asal kamu bahagia, deh." Ekspresi di balik senyum Rana saat ini antara jengkel dan geli, membuat wajahnya sesaat tampak aneh. "Intinya sekarang, kita lagi ada di dunia nyata. Artinya, kita harus segera berangkat kalau nggak mau terlambat."

"Siap!" Bara sigap menstarter matic-nya.

***

Sudah terlampau sering Rana melalui momen seperti ini bersama Bara. Pertama kali Bara memberinya tumpangan, katanya sebagai bayaran karena sudah dipinjami setrika plus semprotan pelicin. Awalnya Rana menolak. Tapi karena kampus Bara dan toko bunga tempatnya bekerja kebetulan searah, sepertinya sama sekali tidak merepotkan. Rana nebeng atau tidak, Bara tetap akan melewati toko bunga itu. Rana bersyukur, berkat Bara sering memberikan tumpangan saat berangkat kerja—begitu pun saat pulang kalau kebetulan jamnya cocok—ia bisa lebih hemat. Jatah ongkos angkot ia tambahkan ke uang bulanan yang rutin ia kirim ke ibunya setiap bulan untuk keperluan sekolah adik-adiknya di kampung, juga untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik. Rana memang tidak menolak menjalin pertemanan dengan lawan jenis hingga sedemikian akrab, tapi ia sudah memasang garis tegas yang haram untuk dilanggar. Meski tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, wawasan Rana sangat terbuka untuk menerima hal-hal baru tanpa melupakan norma-norma agama yang dipelajarinya sejak kecil. Mungkin hal itu yang membuat Bara—yang rada gila—betah bersahabat dengannya.

Bara menghentikan laju motornya di pelataran Toko Sakura, toko bunga tempat Rana bekerja.

"Nanti sore kalau mau balik, kabari, ya! Siapa tahu aku masih di luar."

Rana hanya mengangguk, meski sebenarnya ia enggan melakukannya. Karena seperti yang pernah terjadi beberapa kali, Bara tetap datang menjemputnya meskipun tadinya penyuka warna putih itu sudah istirahat di kos. Kalau demikian namanya bukan lagi nebeng, tapi merepotkan.

Berselang beberapa detik, sebuah sedan hitam juga tiba. Bian muncul dari balik pintu kemudi. Lelaki berusia 27 tahun itu selalu tampil rapi dengan kemeja tiga perempat yang dijodohkan dengan celana bahan slim fit dan pantofel berbahan kulit kualitas premium. Sebagai pemilik toko, tidak ada yang mengharuskannya datang sepagi ini. Terlebih sudah ada Rana selaku supervisor yang akan memastikan operasional toko berjalan sesuai SOP. Tapi bukan Bian namanya kalau ia hanya tinggal diam tunggu laporan. Ia senang terlibat langsung. Terlebih di pagi hari seperti sekarang. Ia selalu mengawasi bagaimana cara kerja pegawainya di pagi hari, terutama saat menyiapkan bunga-bunga di pajangan. Meskipun sudah sering mencontohkan langsung, terkadang Bian masih ragu pegawainya tahu cara memperlakukan bunga yang masih segar dan sudah berumur. Ya, kedengarannya memang sangat perfeksionis, tapi Bian demikian orangnya.

"Selamat pagi, Om," sapa Bara dengan tingkah khasnya, sama saja saat ia menyapa Rana dengan sebutan "Ibu Peri", tanpa beban.

Merasa tidak enak, Rana langsung menyikut pinggang Bara. Padahal Rana sudah sering mengingatkan sahabatnya ini, tidak sopan menyapa bosnya dengan sebutan "om". Terlebih sambil cengar-cengir sok akrab seperti sekarang. Bara tidak mungkin lupa, tapi Rana akan memperingatkannya lagi nanti.

"Pagi!" balas Bian sambil menutup pintu mobilnya. Ekspresinya datar dan kaku. Jangankan tersenyum, mulutnya bahkan tidak benar-benar terbuka saat melontarkan satu kata tadi.

"Saya duluan, ya, Om. Bye!" Bara melambaikan tangan sebelum menstarter matic-nya.

Rana menggerutu dalam hati. Anak itu benar-benar membuatnya salah tingkah di depan Bian. "Maaf, ya, Pak. Teman saya itu emang rada gila."

Sudah sering Bian mendengar permintaan maaf seperti itu dari Rana. Padahal menurutnya tidak perlu. Setiap kali tidak sengaja bertemu saat mengantar atau menjemput Rana, Bara memang selalu menyapanya dengan sebutan "om". Awalnya Bian memang kaget, tapi lama-lama sudah terbiasa. Toh, Bara bukan pegawainya yang harus bersikap formal dengan panggilan "pak". Bian sudah terlampau sibuk memikirkan strategi untuk mengembangkan usahanya, ketimbang mengurusi hal-hal sepele.

***

"Sial!" Bara merutuki kecerobohannya ketika motornya mendadak berhenti di ruas Jalan Pettarani. Demi tidak menganggu pengendara lain, Bara lekas turun dan mendorong motornya ke pinggir. Setelah merapat di trotoar, ia melirik jarum indikator bensin yang terkulai lemas.

Bara menghela napas pasrah bercampur jengkel. Padahal di jalan tadi ia melewati dua SPBU. Hal-hal sepele macam ini yang belum berhasil Bara benahi dalam hidupnya sejak dulu.

Sadar mengeluh tidak akan memperbaiki keadaan, Bara memutuskan untuk mendorong motornya hingga menemukan penjual bensin eceran. SPBU berikutnya lumayan jauh dari sini.

Matahari pukul delapan kurang lima belas menit sejatinya masih sehat untuk digunakan membakar kalori. Namun jangan salah, di tepi jalan besar berkendaraan padat seperti ini sengatnya hampir menyamai tengah hari. Berkali-kali Bara menyeka keringat di keningnya, juga di leher yang bahkan sudah membasahi kerah kemeja dongkernya.

"Kenapa?" Suara itu sebenarnya tidak tertangkap jelas di telinga Bara. Maklum, hadirnya tiba-tiba. Di tengah riuh suara kendaraan pula.

Bara menoleh, mendapati sosok berjaket kulit di atas ninja merah yang tiba-tiba berhenti di sampingnya. Meski sudah mendengar suara sopran barusan, Bara tidak yakin wajah di balik helm full face itu benar-benar wajah perempuan.

"Motormu kenapa?" tanya perempuan itu lebih jelas setelah membuka kaca helmnya.

Bara terkesiap. Meski matanya sama sekali tidak dihias apa-apa, Bara cukup tahu itu mata perempuan.

"Kehabisan bensin, Mbak," jawab Bara. Punggung tangannya sekali lagi menyeka peluh di kening.

Sedetik kemudian perempuan itu langsung menarik gas motornya dan melesat begitu saja tanpa berkata apa-apa, membuat Bara terbengong sesaat. Ia memang tidak berani mengharapkan bantuan dari seorang perempuan, tapi juga tidak menyangka cara singgah dan perginya perempuan tadi segaib itu.

Bara menggeleng tak habis pikir, lalu kembali mendorong motornya. Ia tetap awas, mengedarkan pandangan di kedua sisi jalan. Yang tampak hanya toko-toko besar dan beberapa warung makan. Sama sekali tidak ada penjual bensin eceran.

Bara kembali berhenti saat menyadari di depan sana ada pengendara motor yang nekat melawan arah. Orang itu tidak memedulikan suara klakson yang bersahutan. Sudah salah pakai kencang pula. Bara lebih merapat ke sisi trotoar, bersiap memberi jalan ke pengendara itu. Tapi, pengendara itu malah berhenti di depan Bara. Ninja merah, jaket kulit, helm full face .... Astaga! Bara baru sadar, orang ini perempuan yang tadi. Ia mau apa lagi? Setelah cuma bertanya lalu pergi begitu saja, sekarang mau menunjukkan keberaniannya melawan arah, gitu? Bara benar-benar tidak habis pikir.

"Nih!" perempuan itu menyodorkan kantong plastik berisi sebotol bensin. Bara yakin itu bensin, aromanya langsung tercium.

Seketika asumsi-asumsi negatif dalam benak Bara langsung runtuh.

"Buruan!" Perempuan itu tak habis pikir, lelaki di depannya masih diam saat disodori sesuatu yang sangat dibutuhkannya saat ini.

Bara terkesiap. Entahlah, jiwa-jiwa penulisnya sedang terusik, membayangkan tokoh perempuan yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran, atau agen khusus yang sedang pura-pura menolong lelaki lugu. Ah, lupakan! Saat ini ia benar-benar butuh bensin itu.

Kernyitan Bara berganti senyum, lalu menerima pemberian perempuan itu. Ia lekas membuka sadel motornya dan menuang hingga tandas bensin itu ke dalam tangki.

"Berapa?" tanya Bara sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang jinsnya.

"Aku nggak lagi jualan bensin, loh."

"Tapi bukan berarti bensin orang kamu bawa kabur gitu aja, kan? Kamu pasti bayar, kan? Nah, aku mau gantiin uang kamu."

"Ah, nggak usah." Perempuan itu mengibaskan tangan sambil tertawa ringan. "Cukup balikin botolnya aja."

"Serius, nih?" Bara memasang tampang tidak enak.

Perempuan itu mengangguk, lalu mengambil alih botol kosong yang sudah dimasukkan kembali ke kantong plastik dari tangan Bara. "Ya udah, aku duluan, ya!"

Bara hanya mengangguk, masih tidak habis pikir bagaimana Tuhan mengatur pertemuannya dengan perempuan ini. Berhenti dan menegur tiba-tiba, pergi begitu saja, datang melawan arah, lalu memberikan sebotol bensin gratis. Serius, kejadian pagi ini bisa dikembangkannya jadi kerangka novel.

"Lain kali ingat, tuh, bensin. Jangan cuma anak orang yang diingat mulu," seloroh perempuan itu sambil memutar motornya, lalu kembali melesat seperti tadi.

Bara butuh waktu beberapa detik untuk benar-benar yakin, dirinya tidak sedang berada dalam scene sebuah film. Ini nyata. Sudah lama ia tidak bertemu sosok berjiwa penolong seperti perempuan tadi. Sosok yang kemudian mengingatkannya pada Luna.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top