1 - Mimpi Buruk

"Begitu banyak hal menarik di dunia ini yang bisa dinikmati cuma-cuma, senyum pemuda ini salah satunya."

---

Api merambat dengan cepat, menjilati apa saja yang ada di depannya. Kobarannya serupa amukan iblis yang berhasil memporak-porandakan keimanan seseorang. Tak butuh waktu lama, rumah pohon berdinding tripleks itu sudah berada dalam lumatan si jago merah. Nahas, seorang gadis kecil terjebak di dalamnya. Ia meraung katakutan, lalu perlahan-lahan suaranya menghilang ketika api mulai menjalar hingga ke jantungnya.

"TIDAAAK!" Jeritan menggema memenuhi sebuah unit kosan di kawasan BTP, mengusik sepi pukul satu dini hari. Disusul pula dengan suara pantulan beling yang kemudian pecah dan berserak di lantai.

Ketika teriak tadi, Bara tersentak dari tidurnya, terangkat dari mimpi buruk yang belakangan terlalu sering menghinggapi tidurnya. Tangannya menyenggol gelas berisi setengah air putih yang tadinya terletak di sudut meja. Sekilas ia menunduk, menatap posisi jatuhnya gelas tadi. Nanti saja membersihkan serakan beling dan genangan air itu, sebab pola napasnya saja belum normal.

Pemuda berambut lurus agak kecokelatan itu mengalihkan pandangan ke arah jam dinding yang menempel di sisi kanan kamarnya. Ia mengusap wajah, menenangkan diri dari mimpi yang membuat detak jantungnya menggila. Bahkan dadanya masih naik turun dengan cepat, letupan di dalamnya belum usai. Ia meluruskan kaki dan merapatkan punggung. Lehernya dilemaskan hingga kepalanya terkulai dan mendarat di pucuk sandaran kursi plastik berwarna putih yang didudukinya. Tatapannya meresap ke langit-langit kamar, menembus plafon bercat kusam.

Tok tok tok ....

Seseorang di luar sana mengetuk pelan pintu unitnya, membuat Bara tersadar dari lamunan, juga mimpi buruk tadi, yang diam-diam kembali terputar di kepalanya.

Bara menghela napas panjang, kemudian lekas beranjak membuka pintu. Ia mendapati Rana berdiri di ambang pintu. Gadis itu mengenakan mukena. Sepertinya baru selesai shalat tahajud, ibadah malam yang memang tidak pernah ditinggalkannya.

"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Rana. Kecemasan membaluri tatapannya.

Bara mengangguk pelan.

"Pasti karena tidur sembarangan. Kamu nggak baca doa sebelum tidur, kan?"

Bara hanya tersenyum miring, senyum khas yang mengandung pembenaran, rasa bersalah, dan sedikit niat untuk berubah.

Rana menggeleng samar. Kemudian ia memiringkan kepala. Dari balik punggung Bara, ia memindai sesuatu di dalam. Benar saja, laptop kesayangan tetangga unitnya itu masih dalam kondisi terbuka di atas meja.

"Astaga, kamu nulis sampai ketiduran lagi?" tanya Rana yang lebih bernada tebakan.

Lagi, Bara hanya tersenyum miring, kemudian kembali mengenyakkan diri di kursi tadi. "Waktunya semakin mepet, Ran. Aku harus ikut lomba itu. Aku sangat penasaran ingin menguji kemampuanku di sana. Kalau bukan sekarang, artinya harus nunggu dua tahun lagi. Dua tahun itu lama, loh."

"Tuhan mencintai hamba-Nya yang pekerja keras, mau berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan impiannya. Tapi tidak juga sampai dipaksakan begini. Kalau kamu sakit, gimana?"

Lama-lama Bara mendengar ocehan Rana persis seperti ocehan ibunya di kampung. Entah sejak kapan pemilik bulu mata lentik itu merasa punya hak untuk mengurusi hidup Bara, mencampuri apa-apa yang lelaki itu lakukan. Tapi Bara tidak pernah sekali pun merasa terganggu. Ia malah senang. Lebih tepatnya, Bara merasa terbantu dengan kehadiran Rana. Rana bahkan lebih tepat waktu dibanding alarm untuk membangunkan Bara saat pemuda itu ada kuliah pagi. Memori Rana lebih kuat dibanding memo digital untuk mengingatkan hal-hal penting kepada Bara. Di beberapa kasus, Rana tidak keberatan ketika Bara menitip pakaiannya untuk disetrika, dengan alasan ia buru-buru dan harus segera mandi. Rana juga sering berbagi makanan. Namun yang lebih penting, Rana pendengar yang baik, dan selalu ada buat Bara. Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi seperti itulah kehadiran Rana dalam hidup Bara.

Rana bermaksud kembali ke unitnya, ketika matanya tertuju pada pecahan beling yang masih dibiarkan berserak di lantai.

"Astaga!" Rana merangsek masuk. "Kenapa ini malah dibiarin?" Ia langsung meraih sapu dan pengki yang teronggok di sudut kamar. "Kalau kena kaki bahaya, loh. Bisa terluka, infeksi, lama-lama diamputasi." Rana cekatan membersihkan beling-beling itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Kalau sudah seperti itu, Bara hanya bisa menggeleng samar sambil tersenyum geli. Ia sudah terbiasa menghadapi kekhawatiran Rana yang memang suka over. Tapi sekali lagi, Bara suka.

"Luna datang lagi," ucap Bara tiba-tiba.

Gerakan Rana yang sedang mengembalikan sapu dan pengki ke tempat semula, mendadak memelan. Seharusnya reaksinya tidak perlu seperti ini lagi saat mendengar nama itu meluncur dari mulut Bara. Tapi sekarang ia tidak bisa menghindar dari perasaan aneh yang mendadak membuatnya tidak sesemangat tadi. Hatinya seperti baru saja terbentur sesuatu. Entah, nama itu selalu mampu membuat Rana melemah seperti ini. Semoga ada kata yang pas merangkum semua ini selain cemburu, karena ini terlalu pelik untuk disebut cemburu.

"Bukannya memang selalu datang?" balas Rana dengan posisi masih membelakangi Bara.

"Lebih sering akhir-akhir ini."

Rana hanya menghela napas panjang.

"Apa karena ia tidak setuju aku menulis tentangnya?" Bara menegakkan punggung, tatapannya beralih ke laptop di atas meja. Ia menekan tombol power. Monitor yang menyala kemudian menampilkan penggalan draft novel yang ditinggalnya tidur tadi. Di naskah yang rencananya akan ia ikutkan dalam lomba novel dwi tahunan bergengsi tingkat nasional itu, ia memang bercerita tentang Luna, gadis kecil dari masa lalunya.

Bagi Bara, menulis kisah tentang Luna adalah upaya untuk menantang diri sendiri. Kali ini ia mencoba keluar dari zona nyaman, menulis kisah yang agak melenceng dari genre romance yang digelutinya selama ini. Ia bercerita tentang persahabatan dari sudut pandang anak berusia delapan tahun, juga upaya penerimaan takdir seorang pemuda yang mendapati hidupnya jalan di tempat.

"Harusnya kamu yang lebih tahu." Rana bersandar di bingkai pintu, merespons seadanya.

"Semoga Luna tidak keberatan. Aku ingin mempersembahkan kisah persahabatan kami kepada dunia, keseruan yang hanya pernah jadi milik kami berdua." Secepat itu semangat Bara kembali terkumpul. Senyumnya mengembang sedemikian lebar.

"Bahkan ketika biru berpaling dari langit, kami tetap bisa menjadikan hari itu istimewa. Dengan tawa-tawa kami, dan sesuatu yang tidak dimiliki oleh siapa pun di dunia ini. Hanya milik kami!" Demikian Bara membacakan penggalan paragraf di monitor laptopnya dengan suara lantang. "Keren, kan?" tanyanya kemudian.

Rana hanya mengangguk sambil tersenyum lemah saat Bara menoleh ke arahnya. Ya, apa-apa tentang Luna memang sangat menarik dari sudut pandang Bara. Kisah tentang gadis kecil itu seolah tak pernah habis di kepala Bara. Bahkan semakin tumbuh dari hari ke hari, seolah mereka masih sering bertemu dan bermain seperti dulu. Semesta hidup Bara seolah telanjur dipenuhi gadis kecil itu.

Jujur, Rana iri, dan kadang lelah pura-pura turut bahagia. Tapi perasaan sumbang itu lekas lenyap, ketika Rana menyadari satu hal, jika Luna satu-satunya orang yang bisa membahagiakan Bara, maka Bara adalah satu-satunya orang yang bisa membahagiakannya. Entah bahagia seperti apa. Yang jelas, Rana bahagia melihat Bara bahagia. Meskipun kebahagiaan Bara semu belaka, karena hanya berangkat dari masa lalu, dari seseorang yang sudah lama tiada.

Rana kembali tesenyum lemah memperhatikan ekspresi Bara saat membaca ulang kalimat per kalimat yang sudah ditulisnya, jembatan-jembatan kecil yang membawanya kembali ke masa itu, dunianya bersama Luna. Lihatlah, Bara seakan lupa masih ada Rana di sana. Rana sudah terbiasa dengan Bara yang seolah punya kepribadian ganda saat bersinggungan dengan masa lalu tentang Luna. Bara yang super gokil, bawel, rada gila, bisa mendadak kalem saat mengenang gadis dari masa kecilnya itu. Entah kapan Rana merasa bahagia hanya dengan berada di dekat lelaki itu. Tahu-tahu ia sedemikian sering menyebut namanya di akhir sujud, menjadikannya serbuk sari yang akan membuahi putik di pohon harapannya.

Ngomong-ngomong soal Bara, Rana mengenalnya sejak lelaki itu tiba-tiba mengetuk pintu unitnya sekitar jam sepuluh malam waktu itu, hanya untuk pinjam setrika. Katanya, besok hari pertama OSPEK, dan ia akan dihukum kalau kemeja putihnya kusut. Tambahan, setrikanya ketinggalan di kampung, dan ia belum sempat beli. Tentu saja Rana tidak keberatan meminjamkannya. Bahkan dikasih semprot pelicin juga. Dan selama lebih tiga tahun, Bara merasa tidak pernah ada waktu untuk beli setrika. Ia telanjur nyaman berbagi setrika dengan Rana, salah satu alasannya merecoki gadis yang tampak lebih dewasa dari umurnya itu setiap saat. Mungkin karena setiap kali datang meminjam setrika, ia bisa sekalian nyolong camilan dari kamar Rana.

"Ya udah, aku balik ke kamar, ya. Lebih baik sekarang kamu tidur. Nanti kuliah pagi, kan?"

"Ibu Peri juga shift pagi, kan?" Bara malah balik bertanya.

Rana mengangguk.

"Sip. Berangkat bareng, ya." Bara menaikturunkan alisnya sambil tersenyum kocak, ekspresi yang selalu menyadarkan Rana, begitu banyak hal menarik di dunia ini yang bisa dinikmatinya secara cuma-cuma. Senyum pemuda ini salah satunya.

Rana kembali mengangguk sebelum berlalu sambil menarik pintu.

Ibu Peri ....

Rana tersenyum geli sambil melangkah memasuki unitnya. Rana ingat betul, kapan pertama kali Bara memanggilnya "Ibu Peri". Pagi itu, saat Bara mengembalikan setrika. Kata Bara, Rana seperti ibu peri yang sudah menyelamatkannya di saat kepepet. Tingkahnya sukses menghibur pagi Rana. Berawal dari lelucon, selanjutnya panggilan ajaib itu malah melekat. Rana sama sekali tidak mempermasalahkannya. Ia malah menganggap panggilan itu sebagai penegas kedekatannya dengan Bara. Meskipun di saat-saat tertentu panggilan itu akan menyadarkan seperti apa posisinya di sisi Bara, sebatas penolong. Tapi sekali lagi, selama Bara senang, bahagia, ia pun sama.

Now playing ....

***

[Bersambung]

Saya butuh pendapat Readers untuk part pertama ini. 😁

Follow Ig penulis (@ansar_siri) dan (@z_astri)

Makasih.

Salam santun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top