Tumbal
"Kita akan pulang ke rumah sore ini," kata Ainur, ibu Gendis.
"Aku tak mau pulang ke rumah, Ibu," jawab Gendis lemah. Setelah jadi sasaran amukan salah seorang warga, dia masih merasa kepalanya pusing, luka itu cukup dalam dan memerlukan beberapa jahitan.
"Lalu? Kau akan pulang ke mana?" tanya Ainur tak sabar. Tangannya berhenti merapikan baju Gendis.
"Aku tidak tau, andai saja ibu tak memaksaku ...."
"Sudah, jangan mulai lagi." Ainur makin kesal. "Tak ada seorang ibu yang ingin anaknya jadi janda."
"Tapi semua suamiku mati ...."
"Lalu, apa ibu yang salah? Apa ibu yang membunuh suamimu?"
Gendis yang merasa dadanya sesak, hanya mampu mencengkram sisi tempat tidur rumah sakit. Sejauh apa dia harus menuruti sang ibu? Yang tak pernah jera dengan pengalaman.
"Untuk sementara waktu, aku akan menepi, menyendiri di pulau. Aku belum siap diamuk kembali." Gendis menutup wajahnya, Isak lirih terdengar. Sementara wanita yang melahirkannya, hanya diam seribu bahasa.
Dia harus mencari kembali suami untuk Gendis, dia harus mengorbankan satu nyawa pria perjaka sekali dua tahun. Jika ingin kekayaannya abadi.
***
"Sampai kapan kakak akan begini?" ucap gadis manis berusia lima belas tahun, gadis belia itu membalut luka Tama yang menganga.
"Kakak tidak tau!" jawabnya acuh, ada tiga adik yang harus dinafkahi, bekerja jadi laki-laki jujur takkan bisa membuat dapur mereka mengepul. Sebagai anak tertua dengan kondisi yatim piatu, Tamalah satu-satunya tulang punggung yang diharapkan.
"Andaikan kakak mengizinkan, aku akan mendapatkan uang dengan kondisi kakiku yang begini." Gadis muda itu menyeret kakinya yang pincang, membawa baskom air yang bewarna merah darah.
"Jangan lakukan! Jangan jadi pengemis!" seru Tama.
"Apa kedudukan menjadi pencopet lebih tinggi?" tanya gadis itu dengan tatapan sendu.
Tama terdiam. Dia tak bisa menjawab, mereka hanya butuh makan, serta kontrakan layak untuk tinggal.
"Apakah akan selamanya kakak memberi kami makan dengan uang haram?"
"Hanin!" Suara Tama meninggi.
Mata Hanin berkaca-kaca.
"Andaikan Ayah Ibu masih ada ...."
Lalu dia pergi menyeret kakinya yang pincang. Tama hanya terpaku. Hidup tak mudah, lalu apakah mati kelaparan lebih baik dari pada mencopet?
***
Yuk, 200 vote.
50 komen.
Baru lanjut
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top