Pahlawan
Pagi itu, keramaian di pasar pakaian dipenuhi suara tawa dan teriakan para pedagang yang sibuk menawarkan dagangan mereka. Di tengah hiruk-pikuk itu, Tama bergerak cepat, tangan lincahnya menyusup ke dalam saku seorang lelaki berjas rapi yang sedang sibuk menawar pakaian. Ia hampir berhasil menyelinap pergi ketika tiba-tiba terdengar teriakan keras.
"Pencopet! Tangkap pencopetnya!"
Orang-orang berkerumun, menatap Tama dengan tatapan beringas. Sebelum sempat melarikan diri, sebuah tangan kuat menariknya dan mendorongnya jatuh ke tanah. Dalam sekejap, massa mengepung dan menghajarnya tanpa ampun.
"Dasar pencopet tak tahu malu!"
"Dia lagi. Pemuda tengik tak punya otak!"
Tama meringis kesakitan, mencoba melindungi wajahnya dengan kedua lengan, namun serangan dari segala arah membuatnya sulit bernapas. Rasanya tak ada jalan keluar dari amukan massa yang menghujaninya dengan pukulan dan tendangan.
Di tengah kekacauan itu, terdengar suara lembut namun penuh wibawa yang memerintahkan kerumunan untuk berhenti.
"Cukup. Hentikan ini." Suara itu penuh ketenangan yang segera meredakan emosi orang-orang. Kerumunan terdiam dan membuka jalan.
Di hadapan Tama yang terkapar babak belur, berdirilah Gendis, wanita cantik dengan pakaian elegan yang membuat semua orang tertegun. Tatapan matanya tegas, dan ada aura berwibawa yang membuat setiap orang tunduk dalam hening.
Orang berbisik-bisik. Mulai menggosipkan Gendis, janda kaya yang selalu membuat suaminya mati.
Gendis menatap lelaki yang menjadi korban pencopetan dan mengeluarkan sekantong uang. "Saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Sebagai ganti rugi, saya akan membayar dua kali lipat dari barang yang hilang."
Korban pencopetan itu tertegun, menatap kantong uang yang disodorkan Gendis dengan bingung. "T-Tapi... kenapa Anda...?"
"Ini bukan urusanmu," potong Gendis dingin, menyelipkan kantong uang itu ke tangannya. "Pergilah."
Orang-orang hanya bisa terdiam, sebagian berbisik-bisik namun tak berani menentang keputusan wanita itu.
***
Di sebuah pondok sepi di pinggir pasar, Gendis duduk berhadapan dengan Tama yang duduk bersandar dengan wajah masam dan penuh luka. Di tangannya, Gendis memegang sebotol obat dan kain bersih yang sudah dibasahi, lalu mulai mengusap wajah dan lengan Tama yang penuh memar dan luka.
Gendis bekerja dengan cekatan, membersihkan luka-luka itu tanpa banyak bicara. Setiap kali kain itu menyentuh luka-luka terbuka di tubuhnya, Tama meringis, namun ekspresinya tetap keras.
"Aku bisa melakukannya sendiri," gumamnya, menepis tangan Gendis dengan kasar, meskipun tubuhnya jelas tak kuasa menahan sakit.
Gendis hanya menatapnya sebentar, dengan ekspresi tak terbaca. "Kau tidak bisa bahkan berdiri tegak, Tama," katanya tenang, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Sedikit lagi selesai. Coba bersikap dewasa, biarkan aku bantu."
Tama mendengus, ekspresi wajahnya sinis. "Bersikap dewasa? Jadi kau pikir aku ini anak kecil? Kau pikir aku perlu bantuan dari wanita seperti kau?"
Gendis tidak menanggapi provokasinya, terus merawat lukanya tanpa banyak bicara. Tapi tatapan matanya menjadi dingin, dan seulas senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
"Tidak perlu berterima kasih, Tama. Aku tahu kau orang yang sulit mengucapkannya," ucap Gendis datar.
"Terima kasih?" Tama terkekeh dengan nada tajam. "Jangan berharap. Kau datang menyelamatkanku di pasar bukan untuk aku, tapi untuk harga dirimu sendiri, kan? Kau hanya ingin menunjukkan kekuasaanmu pada orang-orang itu. Jangan berpura-pura kau peduli."
Gendis berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kau suka merendahkan dirimu sendiri, Tama. Aku tidak butuh harga diri di mata mereka," katanya pelan namun tegas. "Aku melakukan ini bukan untuk diriku. Ini karena kita punya urusan yang belum selesai."
Tama menatapnya dengan tatapan merendahkan, meskipun di balik pandangan itu ada sedikit keraguan.
"Urusan? Kau tahu apa yang sebenarnya aku pikirkan? Kau pikir aku senang terima bantuanmu? Kau pikir dengan uangmu itu, aku akan menurut begitu saja?"
Senyum tipis Gendis berubah menjadi serius, dan untuk sesaat ia terlihat sangat berbeda—lebih dingin, lebih tegas. "Tidak. Aku tahu kau punya harga diri yang besar, Tama. Aku bisa melihat itu dalam caramu memandangku sekarang," katanya sambil menatap mata Tama lurus. "Tapi kau harus tahu, harga diri yang besar tidak akan mengisi perut adik-adikmu."
Tama terdiam, tangan yang tadinya ingin menepis tangan Gendis kembali terkulai di sisinya. Dia membuang pandangannya ke arah lain, menahan amarah dan kebencian yang tak sepenuhnya ia pahami.
Gendis menyelesaikan perawatan itu, lalu berdiri dan merapikan pakaiannya dengan tenang.
"Kau boleh membenciku, Tama. Kau boleh meremehkanku. Tapi ingat ini: di dunia ini, tak ada orang yang peduli pada dirimu atau keluargamu sepertiku."
Tama hanya mendengus, berusaha tidak menunjukkan rasa terhina, meskipun kata-kata itu menghantamnya.
"Aku mungkin butuh uangmu, tapi jangan pernah anggap aku sebagai budakmu."
Gendis menatapnya sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan Tama sendirian dengan rasa campur aduk antara kemarahan, ketakutan, dan perasaan kalah yang ia benci akui.
"Janda itu sangat menyebalkan ...."
Tama memukul dinding, tapi malah kesakitan sendiri
***
Jangan lupa vote dan komen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top