Kesepian

Di ruang besar dan sunyi di rumah megahnya, Gendis duduk termenung, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa lelah yang tak pernah usai. Bayang-bayang suaminya yang terakhir masih segar dalam ingatan. Pria itu baru saja meninggal beberapa bulan lalu—mati dengan wajah pucat di tempat tidur mereka setelah malam pertama yang tK berhasil itu. Sejak saat itu, kutukan yang membayangi dirinya terasa makin nyata dan menakutkan.

Tapi ibunya tidak peduli.

“Gendis,” suara ibunya terdengar tak sabar, memecah keheningan. Wanita tua itu berdiri anggun di depan putrinya, dengan tatapan mata yang penuh tuntutan. “Kau tidak bisa terus hidup sendiri. Kau butuh suami lagi, seseorang yang bisa mengurus rumah ini, menjaga warisan kita. Kau sudah cukup lama berkabung untuk suamimu yang terakhir.”

Gendis menghela napas, matanya terpaku pada lantai di bawahnya.

“Ibu, orang-orang sudah mencemooh kita. Mereka bilang aku ini membawa sial. Semua pria yang menikah denganku mati, dan sekarang mereka menggunjingkan kita lebih buruk dari sebelumnya.”

“Biarkan saja mereka bicara!” sang ibu menjawab dengan nada dingin.

“Mereka hanya iri. Kau seorang wanita muda, cantik, dan kaya raya. Kau adalah pewaris perkebunan besar ini. Apa pun yang mereka katakan, mereka tak lebih dari sekumpulan orang yang memanfaatkan lidah mereka untuk menghancurkan. Dan kutukan? Itu semua hanya omong kosong yang mereka sebar untuk menakutimu.” Ibunya mengelak. Padahal Gendis tau pasti, ibunya bekerja sama dengan dukum.

Gendis menggeleng perlahan, hatinya kosong.

“Ibu, aku juga ingin hidup normal. Aku ingin seperti wanita lain, punya keluarga, dan hidup dengan bahagia. Tapi setiap kali aku menikah, orang itu mati. Bagaimana aku bisa berbuat seolah tidak terjadi apa-apa?”

Ibunya mendekat, menggenggam tangan Gendis dengan erat, pandangannya tajam namun juga penuh ketegasan.

“Gendis, kita adalah keluarga besar yang memiliki tanggung jawab. Kutukan itu hanya ada jika kau percaya. Selama kau terus berkutat dengan ketakutan ini, kau tidak akan bisa lepas dari bayangannya. Dan ingatlah, seorang wanita yang hidup sendiri akan menjadi bahan olokan selamanya. Satu-satunya cara agar kau dihormati adalah dengan terus menikah dan menunjukkan pada mereka bahwa kau lebih kuat dari omongan mereka.”

Gendis menarik tangannya perlahan, menatap wajah ibunya yang penuh ambisi, tetapi wanita yang melahirkannya itu sangat egois.

Bagi ibunya, pernikahan bukan soal cinta atau kebahagiaan, melainkan soal menjaga kekuasaan dan harga diri keluarga di mata orang-orang. Cemoohan orang, kutukan, bahkan kematian para pria yang menjadi suaminya tak dianggap penting. Semua yang diinginkan ibunya hanyalah menjaga agar keluarga mereka tetap berada di puncak.

Gendis hanya bisa terdiam, hatinya berperang antara ketakutan akan kutukan yang nyata dan desakan ibunya yang terasa mencekiknya.

Meski ia ingin menolak, bayangan dirinya kembali menjadi wanita lajang yang ditertawakan masyarakat juga membuatnya gentar. Di luar rumah, mungkin orang-orang menghormatinya sebagai juragan kaya dan terpandang, tapi jauh di dalam, dia hanyalah wanita yang kesepian, yang terus hidup dalam ketakutan yang tak pernah dipahaminya.

"Kau harus menikah, harus ...."

Begitulah tuntutan ibunya setiap hari.

***
Jangan lupa vote dan komen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top