9.a

Apa yang terasa? saat hati selalu disakiti berulang kali, bahkan menjerit pun, siapa pun tak peduli. Aku hanyalah pria cupu yang selalu berdiri di balik rasa tak percaya diri, memiliki wajah pas-pasan dan tak menonjol sejak dulu. Ayahku, hanya menganggap diriku ini seperti boneka yang tak punya hati, diciptakan hanya untuk meneruskan perusahaan.

"Pak?"

"Oh, maaf!" Aku tersentak, saat perawat memberikan satu buah pena dan satu berkas yang harus ditandatangani menjelang Avia operasi. Surat persetujuan tentu saja. Ah, aku tak peduli, wanita itu mau dioperasi atau tidak. Orang tuanya saja, tak muncul bahkan saat jam dinding rumah sakit menunjukkan jam dua dini hari.

"Terimakasih," kata perawat laki-laki yang kuperkirakan berusia dua puluh tahunan itu, masih muda, terlihat ramah dengan wajahnya yang tulus.

Apa selanjutnya? Aku berjalan kembali ke UGD, menyaksikan Avia yang tidak sadarkan diri. Aku merapatkan jaket kulitku, ruangan ini begitu dingin dengan AC yang kuperkirakan menyala dengan maksimal.

Selanjutnya, aku melihat, beberapa orang perawat bergerak memindahkan Avia yang tampak menyedihkan di atas ranjang rumah sakit. Patah tulang kaki, itu yang kudengar.

***
Pintu terbuka, aku tak tertarik untuk bangkit dan menanyakan bagaimana keadaan Via setelah dokter bedah keluar dari ruangan. Wajahnya tampak lelah, mungkin juga setengah mengantuk.

"Pak Ronald?"

Aku mengangguk. Enggan, aku berdiri. Menatap pria tua yang tubuhnya jauh lebih pendek dariku.

"Kondisinya stabil, tinggal menunggu Nyonya Via sadar."

Aku mengangguk. Aku tak tertarik berkata lebih lanjut. Kuberjalan menuju kursi di lorong rumah sakit, merapatkan kembali jaket ke tubuhku, ah! Udara malam juga dingin.

Sempat termenung beberapa saat, perhatianku teralih pada bunyi sepatu yang beradu dengan lantai marmer rumah sakit. Wanita itu, yang masih memiliki kecantikan masa muda, yang tak lain adalah ibu mertuaku sendiri.

Dia memakai dress merah maroon yang kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Kuyakin, wanita separuh baya ini, Aviasya versi tua.

"Ronald, bagaimana keadaan Via? Dia baik-baik saja, kan?"

Gurat cemas tak bisa dihapuskan di wajahnya. Aku tak langsung menjawab, namun menatap wanita itu dari balik kaca mataku.

"Ronald! Maafkan Mama, tadi, ada pertemuan sesama anggota sosialita yang tak bisa Mama tinggalkan."

Aku tak bisa mencerna, sebagai seorang Ibu, apakah teman-temannya lebih penting dari pada seorang anak?

Baru saja aku ingin menjawab, seruan seorang perawat mengalihkan kami.

"Pak Ronald, pasien sudah sadar."

***

Di Karya Karsa udah tamat

https://karyakarsa.com/Gleoriud/cinta-terakhir-bab-51-60

Jangan lupa vote komen yah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top