8.a

"Wil ...." Aku tak bisa menahan suaraku yang serak. Aku yakin, William tengah bercanda kali ini. Dia takkan bisa hidup tanpaku, itu yang selalu dikatakannya selama ini. William adalah nyawaku, dialah alasan satu-satunya kenapa aku masih bertahan untuk hidup di dunia ini.

"Aku yakin kau bercanda."

William tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. Aku merasakan elusan di rambutku. Namun, sialnya, pria itu tak menjawab.

"Wil, aku tahu kau bercanda."

"Aku serius," sahut Will.

"Will ...."

"Kita akhiri saja, ini yang terbaik untuk semuanya, aku tak bisa melihat ayahku terus saja mendapatkan teror. Cukup aku saja, please!"

"Will ...." Aku kembali menyebut namanya, seperti menghiba dan mengemis. "Aku mohon, kita cari jalan yang lain selain berpisah, aku yakin, kita punya cara yang lain untuk bersama, jangan menyerah! Aku mohon, jangan menyerah! Hiks ...."

Aku menutup mulutku sendiri, menahan tangis yang hampir meledak. Tapi, kulihat, William sama sekali tak tergugah.

"Aku mencintaimu! Hanya itu yang perlu kau tahu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga mencintai ayahku, apa yang terjadi padaku, sudah cukup membuat ayahku terpukul. Aku mohon! Demi perasaan suci kita, kita akhiri saja! Please!"

Aku lagi bisa mendengar ucapan William dengan jelas, ketika rasa sakit terasa menusuk amat kuat di hatiku. Sakit, amat sakit, bahkan bisa membuatku mati.

Aku bangkit, tak menyahut apa yang disampaikan William. Pria itu membuat keputusan, bukan meminta pendapat. Apa lagi?

Aku bangkit, memungut tasku, dan berlari keluar dari rumah sederhana itu, sempat berpapasan dengan ayah William, yang tetap memasang wajah dingin.

Ya, semua berakhir, hubungan kami berakhir, bahkan setelah aku memohon dengan berbagai cara agar tak berpisah dengannya.

***
Entah gelas ke berapa, yang jelas, aku merasa belum begitu mabuk, aku masih bisa mendengar suara cekikan yang menyebalkan di meja sana, atau suara musik yang menghentak dan pasangan yang menggila di lantai dansa.

Aku ingin, merasakan mabuk yang luar biasa, agar aku melupakan sesaat kesakitan akan putus cinta, atau mati saja, agar tak ada lagi yang tersisa. Susah payah kubangun dan menjaga hubungan dengan Will, bahkan dengan menentang keluargaku, tapi Will menyerah lebih dulu.

Entah gelas ke berapa, yang jelas aku masih bisa berdiri walau agak sempoyongan. Aku bahkan masih bisa mendengar dengan jelas, suara petugas keamanan, saat aku menyerahkan kunci mobil.

"Anda yakin akan menyetir, Nona? Mungkin saya akan membantu menelpon seseorang."

"Saya baik-baik saja!" Kukibaskan tanganku. Bahkan beberapa detik kemudian mobil sampai di hadapanku, dan pria itu memberikan kunci kembali, aku masuk tanpa ragu.

Jalanan mulai sepi, aku mulai merasakan kepalaku terasa kosong, lalu merasakan kantuk yang terasa berat.

Aku berusaha membuka mata, agar tetap memperhatikan jalanan di depan sana. Akan tetapi ....

Brak! Gelap. Mungkin aku sudah mati?

***
Jangan lupa vote dan komen

Yang mau baca bab lebih jauh, sudah update di karya karsa sampai bab 40.

Ini linknya

https://karyakarsa.com/Gleoriud/cinta-terakhir-bab-31-40

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top