7.a

"Kau ... Kenapa masih di sini?" tanya Avia padaku, kami akhirnya bertemu di garasi kantor. Kulihat wajahnya sedikit panik.

Kumasukkan tangan ke kantong celana, berjalan mendekati wanita itu, sementara Avia mundur dua langkah seakan merasa terancam.

"Kenapa mundur?" Aku memicingkan mataku, kalimat beberapa menit yang lalu masih terngiang, siapa yang akan dihabisi wanita ini?

"Kau belum menjawab pertanyaan-ku."

"Aku lembur, kau?"

Avia tampak mengendurkan wajahnya. Seperti tengah menguasai dirinya kembali.

"Aku juga."

"Bagus!"

Avia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi batal.

"Ada yang ingin kau tanyakan?"

"Ti ... Tidak."

"Baiklah!" sahutku membuka pintu mobil.

"Tunggu!"

Suara Avia menyentakku, aku menatapnya kembali.

"Kau ... Tidak lewat di depan ruanganku, bukan? Maksudku, tadi aku melihat sekilas, seseorang tengah melintas, walaupun tidak jelas. Bukan kau, kan?"

Aku mengerutkan kening, kenapa Avia terlihat begitu panik. Mungkinkah pembahasan tentang menghabisi itu tak boleh kuketahui, aku makin penasaran.

"Kalau aku yang lewat, kenapa?"

"Ti ...tidak. Tidak apa-apa."

Avia tampak gelisah. Aku baru saja ingin bertanya kembali, ketika Avia buru-buru masuk ke dalam mobilnya, dan kemudian membawa kendaraan itu pergi dengan cepat.

Wanita itu, makin hari, menyembunyikan sesuatu padaku. Setelah merasa dibodohi dengan terbongkarnya perselingkuhannya, aku merasakan, bahwa aku terlalu bodoh selama ini.

***
Aku baru saja hendak mematikan lampu kamar, saat pintu terbuka dan menampilkan Avia dengan wajahnya yang kusut. Dia tampak lelah dan tak bersemangat. Seharusnya dia sudah sampai di rumah sejak dua jam yang lalu. Akan tetapi dia baru sampai sekarang, saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Baru pulang?" tanyaku sekedar basa basi, kami saling membenci, tapi tak bisa mengelak dengan kenyataan, bahwa kami terikat dalam ikatan pernikahan.

Kulihat, Avia meletakkan tasnya, duduk di depan lemari rias dan menghapus sisa make-up yang ada di wajahnya.

"Tumben kau bertanya."

Aku sudah mengira ini akan kudengar, Via selalu menjawab dengan kalimat yang akan memulai perdebatan.

"Jarak kantor dengan rumah hanya beberapa menit, tapi kau sampai setelah dua jam kemudian. Aku yakin kau singgah ke suatu tempat. Ke rumah selingkuhan-mu, Kah?"

Via menatapku tajam dari pantulan cermin. Tatapan permusuhan.

"Dia bukan selingkuhan-ku, dia kekasihku."

Aku mengulum senyum kecut. Siapa yang bodoh di sini? Aku atau dia?

"Dia bukan selingkuhan-mu, menggelikan, lalu apa namanya, ada pria lain saat kau sudah menikah."

Entah kenapa, aku ingin berdebat dengannya malam ini.

"Yang tak dicintai, layak disebut sebagai orang ketiga, sebagai pihak yang paling jahat menghancurkan dua orang yang saling mencintai."

Via menoleh, menampilkan senyum miring.

***
Vote dan komen yuk.

Yang mau baca duluan, di karya karsa udah tamat .

Ini linknya
https://karyakarsa.com/Gleoriud/cinta-terakhir-bab-11-20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top