9 | Teka-teki

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Dulu semuanya terlihat sempurna, baik-baik saja tapi sekarang masalah seperti tak pernah lelah menghampiri."

Tungkaiku bergerak dengan cepat saat mendapati Abi yang tengah menunggu di depan gerbang kantor, beliau memang selalu on time. Tak pernah sekalipun beliau membiarkanku untuk menunggu, aku sangat beruntung dan bersyukur memiliki ayah seperti Abi. Jika kebanyakan rekan-rekan kerjaku diantar jemput oleh kekasihnya, lain hal denganku yang lebih memilih Abi sebagai jemputan pribadi.

"Lama, Bi?" tanyaku saat sudah menerima helm yang Abi sodorkan. Beliau tak menjawab dan lebih memilih untuk mengukir senyum tipis.

"Lain kali jemputnya jangan terlalu rajin, Bi. Aku gak papa kok kalau nunggu Abi," kataku tak enak hati. Bukan kali ini saja aku mengutarakan kalimat tersebut, sudah berulang kali bahkan membuatku bosan sendiri.

"Nunggu setengah jam doang mah gak lama," jawabnya sama seperti beberapa waktu lalu. Selalu saja seperti itu.

Aku menghela napas sejenak lantas berucap, "Aku gak enak sama Abi. Masa udah kerja tapi masih aja repotin Ab—"

"Gak repot, masa sama anak sendiri perhitungan sih. Udah ah jangan bahas itu lagi," potongnya cepat.

Tak ingin memperpanjang perdebatan aku pun langsung menaiki kendaraan beroda dua milik Abi. Tak lama motor pun berjalan dengan lancar di atas aspal. Sepanjang jalan kami selalu berbincang banyak hal, dari mulai pembahasan receh yang mengundang gelak tawa sampai dengan pembahasan serius perihal pekerjaan dan ...

"Kalau ada laki-laki baik yang mau meminang kamu gimana?" tanya Abi di luar kendali. Beliau menoleh sekilas dan aku hanya mampu diam seribu bahasa.

"Apa ada jaminan kalau yang ini gak akan gagal lagi?" Aku memberanikan diri untuk mengutarakan gejolak dalam hati. Ragu, tapi jika dipendam takkan baik untuk kesehatan.

"Abi gak bisa janjikan sesuatu yang gak nyata buat kamu, tapi atas izin-Nya In syaa Allah semua akan berjalan baik-baik saja," terang Abi yang malah membuatku resah.

"Satu minggu lalu Umi udah janji gak akan jodoh-jodohin aku lagi. Tapi kenapa sekarang berubah lagi?"

"Umi gak tahu soal ini, dua hari lalu ada seorang ikhwan yang datang ke Abi dan ingin menjadikan kamu sebagai istri. Dari penuturannya Abi percaya bahwa dia benar-benar ingin menghalalkan kamu," jelas beliau yang sumpah demi apa pun sangat mengejutkan.

"Siapa?"

Abi hanya menoleh singkat dan mengukir senyum tipis. Aku semakin tak keruan melihat gelagat yang beliau tunjukkan.

"Aku butuh waktu untuk berpikir," putusku tak ingin menerima sanggahan dan bantahan.

Tanpa banyak kata Abi mengangguk tanda setuju. Aku cukup bisa bernapas lega karena beliau tak mengekang dan memberiku sedikit kebebasan untuk menentukan pilihan. Aku tak ingin gegabah seperti sebelum-sebelumnya, aku harus mencari tahu terlebih dulu latar belakang lelaki yang hendak Abi jadikan sebagai menantu. Setidaknya untuk meminimalisir kegagalan yang sudah melambai minta perhatian.

Motor berhenti tepat di pelataran rumah yang kami tempati. Umi sudah menunggu di ambang pintu untuk menyambut kedatangan kami, kegiatan rutin beliau di waktu petang. Aku lebih dulu mencium punggung tangan beliau dan dibalas kecupan singkat di atas ubun-ubun, lantas setelahnya Umi mengambil alih tangan Abi untuk disalami dan tanpa malu pun Abi mengelus lembut puncak kepala Umi. Hal manis yang selalu membuatku iri.

"Gimana kerjanya? Lancar?" seloroh Umi saat kami berjalan berdampingan untuk menuju ruang keluarga.

"Alhamdulillah lancar, tapi ada sedikit kendala aja. Tadi aku kena tegur Pak Bagas karena salah kasih laporan masalah," jawabku dengan cengiran menahan malu.

"Kok bisa?"

Inilah yang aku suka dari Umi, beliau selalu menjadi teman bicara yang baik. Segala keluh kesah yang kurasa pasti akan beliau bantu pecahkan. Betapa beruntungnya aku memiliki orang tua seperti Abi dan Umi, mereka sangat menyayangiku, melimpahkan kasih sayang yang tiada henti.

"Gara-gara Ziah, Mi. Masa dia iseng banget kasih proposal ta'aruf di meja aku, ya aku kan jadi salah ambil berkas. Posisi kertasnya saling tumpuk sih, dan aku juga teledor malah asal ambil gitu aja," tuturku dengan perasaan malu. Beruntung Umi tak menggelegarkan tawa, dan lebih memilih untuk memberikan sunggingan tipis saja.

"Bukan salah Ziah seratus persen dong, kan kamu juga ikut andil di dalamnya. Tapi gak jadi permalasahan panjang kan?" balas Umi begitu bijak. Beliau itu sangat adil dalam menentukan sebuah keputusan.

Jika aku keliru beliau akan menegur dan meluruskan, tidak membela ataupun berkilah untuk melindungiku. Sama seperti sekarang, beliau memandang bahwa permasalahan yang aku alami tidak serta merta karena Ziah saja, melainkan karena keteledoranku juga.

"Gak kok, Mi. Cuma aku kaget aja denger suara Pak Bagas yang gak kaya biasanya, tadi kelihatan banget kalau beliau marah sama aku. Jadi gak enak," kataku dengan tangan menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal.

Beliau membelai puncak kepalaku lantas berujar, "Gak papa jadiin bahan pembelajaran aja. Lain kali jangan diulangi lagi." Tanpa banyak pikir panjang aku mengangguk mantap.

"Umi tahu kalau Abi mau jodohin aku lagi?" tanyaku takut-takut. Dari air muka yang beliau tunjukkan sudah bisa dipastikan bahwa Umi tidak tahu menahu perihal rencana dadakan Abi kali ini.

"Nanti biar Umi bicarakan sama Abi yah," tuturnya dengan senyum menenangkan, bahkan dengan lembut beliau pun merangkul bahuku agar berada dalam rengkuhan.

Aku hanya mengangguk setuju. Aku tak siap jika harus kembali terlibat hubungan dengan seorang ikhwan, hati dan mentalku belumlah kebal. Rasa takut akan kegagalan selalu terbayang di pelupuk mata, rasanya sangat menganggu dan meresahkan.

"Kamu tahu siapa laki-laki itu, Nak?" tanya Umi dengan diiringi belaian sayang di puncak kepala. Hanya sebuah gelengan lemah yang dapat kujadikan sebagai jawaban.

"Ya sudah kamu jangan pikirkan hal ini dulu, urusan Abi biar Umi yang tangani," tukas beliau yang begitu mengerti akan kemelut hati yang kini saling bergelayut manja membayangi.

"Maafkan Umi dan Abi yah, Sayang," lirihnya namun masih dapat terdengar jelas oleh indra pendengar. Aku tak mengerti dengan maksud dan tujuan dari penuturan beliau. Aku tak menyalahkan mereka atas kegagalan yang selalu menimpaku, tapi untuk saat ini aku hanya ingin kesendirian tanpa mau diribetkan oleh pasangan.

"Jangan pernah benci Umi dan Abi yah, Nak." Aku membatu dalam dekapan Umi, dadaku begitu sesak dan menyakitkan. Apa yang telah beliau utarakan sungguh sangat mengganggu dan membuat perasaanku kian tak menentu.

"Kamu bersih-bersih dulu yah, sebentar lagi Magrib," titahnya yang langsung kuangguki. Dengan langkah lunglai tak bertenaga aku berjalan menuju kamar dan segera melaksanakan titah Umi.

Kepalaku rasanya mau pecah jika setiap hari harus disuguhi dengan beragam teka-teki seperti ini. Dulu semuanya terlihat sempurna, baik-baik saja tapi sekarang masalah seperti tak pernah lelah menghampiri. Datangnya pun tidak hanya seorang diri, melainkan beramai-ramai membawa pasukan. Harus dengan apa aku melawan segerombolan masalah yang tak kunjung usai?

Hati dan pikiranku sudah sangat lelah dan ingin menyerah. Tapi Allah seperti tak mengizinkanku untuk sejenak beristirahat, walau hanya sekejap saja. Harus pada siapa aku bertumpu dan memohon pertolongan jika Allah saja membiarkanku terlunta-lunta tanpa titian. Jangan sampai aku dibuat gila hanya karena persoalan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top