8 | Gagal Fokus
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
"Yang membuat kecewa itu bukan karena takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala, melainkan karena ekspektasi kitanya saja yang tak sesuai realitas."
Mengawali hari baru dengan hati lapang dan juga senyum cerah mengembang adalah pilihan. Tak ingin kembali dipusingkan dengan perihal jodoh yang tak kunjung datang. Biarkan saja berjalan sebagaimana mestinya, karena perkara jodoh sudah tertera di dalam Kitab Lauhul Mahfudz sana. Saat ini aku tak ingin memedulikan apa kata orang, biarkan mereka semua puas berkoar-koar.
Menyibukkan diri dengan bekerja adalah cara satu-satunya untuk membunuh segala kemelut hati yang tak kunjung menemukan titik terang. Berkutat dengan layar monitor dan papan ketik sudah menjadi kebiasaan yang tak pernah absen kulakukan. Menjadi salah satu Staff Administrasi di salah satu cabang perusahaan multinasional adalah hal yang patut untuk kusyukuri.
Terlebih di zaman seperti sekarang, yang mencari pekerjaan saja susahnya minta ampun. Susah payah menulis lamaran, tapi ujungnya hanya berakhir di tempat pembuangan, atau yang lebih nahas lagi dijadikan sebagai bungkus gorengan. Sungguh sangat tidak berprikemanusiaan, dikira membeli kertas itu tak mengeluarkan dana apa?
Seharusnya pihak HRD dari berbagai perusahaan itu bisa lebih menghargai jerih payah para pencari kerja, jika memang tidak sesuai kriteria untuk menjadi salah satu karyawan ya sudah tinggal kembalikan. Di amplop cokelat itu tertera dengan jelas nama pengirim, alamat, bahkan nomor ponsel dan juga email pun ada. Jadi tak ada alasan untuk membuang seperangkat surat lamaran itu pada tong sampah bukan?
"Na disuruh ke ruangan Pak Bagas tuh." Aku yang tengah sibuk menginput data dikagetkan dengan suara Ziah, salah satu rekan kerjaku yang duduk di pojok kanan.
Sedikit merapikan kertas yang berserakan di meja dan menekan ikon save pada layar komputer agar data yang tadi telah kuketik tidak hilang. Lantas bangkit dan berjalan menuju ruangan Pak Bagas, Kepala Bagian di divisiku. Hanya berjarak sekitar beberapa langkah saja, bisa dibilang tempat beliau tepat di sebelah ruangan yang kuhuni.
Setelah benar-benar sampai, dengan segera aku pun mengetuk pintu serta mengucapkan salam. Suara tegas yang sudah sangat Kuhapal memberi izin untuk memasuki ruangan berukuran sedang yang hanya terdiri dari meja, kursi, dan juga almari berbahan besi dengan pintu kaca itu. Tidak ada yang spesial ataupun wah justru terlihat sederhana dan biasa saja.
"Duduk," katanya memerintah, dan sebagai karyawan yang takut akan amukan serta pemecatan mau tak mau aku pun harus mengikuti titah sang atasan.
"Jelaskan maksud dari isi proposal ini." Aku bergidik ngeri mendengar suara lantang menggelegar milik Pak Bagas. Seumur-umur berkerja, baru kali ini aku merasakan apa yang namanya teguran.
Kerjaanku selalu rapi, dan hampir tak pernah membuat kesalahan. Aku sangat teliti jika menyangkut soal tanggung jawab, tak ada istilah bersantai ataupun main-main. Harus profesional dan minim cacat, itulah prinsip yang kupegang teguh.
"Yang saya minta itu laporan masalah bukan proposal ta'aruf tak berguna seperti ini!"
Mataku membulat sempurna, detak jantungku pun berpacu tak seirama. Apa maksud dari perkataan Pak Bagas barusan? Dalam hati tak henti-henti mengucap istigfar. Sungguh perasaanku sudah campur aduk tak keruan.
Beliau menumpu kedua telapak tangan di meja dan menatapku dengan begitu intens. "Apa efek melajang terlalu lama bisa memengaruhi kinerja kamu dalam bekerja, Nisrina!"
Lidahku kelu untuk mengeluarkan kalimat pembelaan. Ini sangat di luar dugaan. Semua ini gara-gara Ziah yang tadi menaruh asal proposal ta'aruf seorang ikhwan di meja kerjaku. Awas saja kalau sampai nanti bertemu dengannya, akan kumaki-maki dia.
"Ma ... Ma ... Maaf ... Pak ... Ada sedikit kesalahan teknis," terangku terbata-bata. Jujur aku sangat takut melihat wajah tak santai yang tengah beliau tunjukkan.
Dengan tangan gemetar aku mengambil benda yang kini berada tepat di depan netra, namun kegiatanku sedikit terkendala karena Pak Bagas yang tak sopan menahannya.
"Buang proposal ini pada tempat yang seharusnya—" Beliau seperti sengaja menggantung kalimatnya agar aku merasa cemas dan waswas berkepanjangan. Jangan sampai hanya karena hal sepele semacam ini aku mendapatkan surat peringatan.
"Ba ... Ba ... Baik ... Pak," sahutku menunduk tak berani bertemu tatap dengannya. Entah harus disimpan di mana wajahku saat ini. Rasa malu dan kesal menjadi satu perpaduan yang membingungkan.
"Kembali bekerja!"
Tanpa babibu lagi aku segera melesat pergi. Berdiri mematung di balik pintu dengan deru napas memburu dan detak jantung yang sudah ketar-ketir tak jelas. Mendekap erat kertas yang menjadi biang permasalahan, dan tanpa pikir panjang lagi aku segera melempar asal benda tersebut ke tempat sampah yang berada di sayap kiri.
Setelah memastikan diri dan hati sudah bisa terkendali, akhirnya aku pun berjalan cepat menuju ruangan. Aku tak sabar ingin segera mengomeli Ziah habis-habisan, dia itu memang teman yang minim akan rasa empati serta simpati. Sungguh sangat kurang kerjaan sekali.
"Dipanggil Bos Besar buat apaan, Na?" todongnya saat aku baru saja mendaratkan bokong di kursi.
Tangan perempuan yang tengah hamil muda itu memegang cangkir putih berisi teh. Di pagi hari seperti ini dia memang selalu menyeduh teh hijau untuk menghilangkan rasa mual yang selalu datang tanpa diundang.
"Kamu!"
Keningnya berlipat dan dengan santai menarik kursi kosong yang berada di depan meja kerjaku. "Kok aku sih, Na?"
Aku menarik kursi yang tengah kududuki, bertopang dagu dan memasang air muka ketus menyeramkan. "Gara-gara proposal yang kamu kasih ke akulah, pake tanya segala lagi. Kan aku jadi salah ambil, harusnya kasih laporan masalah ini malah proposal ta'aruf!"
Dia terkekeh pelan dan dengan enteng menyesap tehnya sebanyak dua tegukan. "Makanya kalau pagi-pagi itu sarapan dulu, kan gak bakal kaya gini ceritanya. Jelas-jelas tuh proposal dijilid, beda sama laporan masalah yang dibiarin berserakan. Kurang aqua yah," ledeknya yang tanpa beban malah tertawa dengan begitu kencang.
Aku bersidekap dada tak terima. "Jangan berkilah gitu, tinggal ngaku salah aja apa susahnya sih," ketusku.
"Buat apa juga ngaku salah, orang aku gak salah apa-apa. Itu mah kamunya aja yang isi pikirannya soal jodoh melulu, makanya jangan sok jual mahal. Kalau ada yang mau ya langsung tancep gas aja ke KUA," tuturnya malah menasihati.
Aku mendengkus kasar lantas berujar, "Yang jadi persoalannya itu gak ada yang mau, bukan sok jual mahal kaya yang kamu bilang."
Ziah memonitorku dengan begitu intens sebelum akhirnya berkata, "Perasaan muka kamu ok ... ok aja tapi kok aneh yah cowok-cowok pada kabur semua? Kamu gak buat mereka ilfeel kan?"
"Mana ada waktu buat bikin ilfeel mereka, aku itu ta'aruf bukan pacaran. Ketemunya paling satu dua kali doang, itu pun gak cuma berduaan dan yang kita bahas juga gak jauh-jauh dari pernikahan. Pertanyaan kamu aneh ah," jawabku sedikit ngegas.
"Ya terus apa dong?" tanyanya. Alis Ziah terangkat satu dan aku hanya membalas dengan gelengan tak tahu.
Ziah meletakkan cangkir teh yang hanya tersisa setengahnya di meja. "Kenapa gak tanya langsung sama Umi Abi kamu? Gak mungkinkan mereka pergi tanpa sebab. Coba deh kamu pikir pake logika, pernikahan udah di depan mata bahkan akad tinggal menghitung menit aja. Tapi semuanya batal. Itu aneh dan janggal kalau menurut aku, apalagi ini bukan yang pertama kali buat kamu."
Aku memutar bola mata malas. Mendengar Ziah mengatakan 'bukan yang pertama kali buat kamu' rasanya sangat amat menggangu dan merusak kesehatan hati. Aku sedikit tersinggung dengan pemilihan kosakata yang dia gunakan.
"Inget, Na umur kamu tuh makin hari makin nambah. Gak mungkinkan kalau kamu terus kaya gini, adik-adik kamu udah pada berkeluarga. Apa kamu gak kepengin kaya mereka?"
Aku menjatuhkan kepala di atas meja. Otakku puyeng karena mendengar ocehan Ziah, baru saja aku akan melupakan perihal jodoh yang tak kunjung datang. Tapi sekarang dengan entengnya dia malah kembali membahas hal itu. Kalau hanya sekadar obral kata menasihati memang mudah dilakukan, tapi bisakah jangan terlalu menekan?
Ekspektasiku dalam menjemput jodoh begitu lurus tanpa hambatan, tapi pada kenyataannya sangat berliku dan berkelok tak tentu arah tujuan. Antara angan dan realitas memang sangat bertolak belakang. Aku merasa kecewa akan takdir Allah yang sangat tak adil ini. Adik-adikku begitu mudah dalam membina mahligai rumah tangga, tapi kenapa hal itu tak berlaku padaku juga?
Minal aidzin wal faizdin yah teman-teman:) ... Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima segala amal ibadah kita, Taqabbalallahu Minna wa minkum🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top