6 | Bertemu Mantan
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Jika jodohku tak kunjung datang cukuplah doa yang menjadi pengantar, karena dia tahu ke mana harus pulang."
Aku terkesiap saat netra ini bertemu pandang dengan seseorang yang tak ingin kulihat batang hidungnya. Dengan kecepatan kilat aku segera menghindar dan mengayunkan kedua tungkai untuk berjalan lebih cepat. Suara teriakan yang berasal dari arah belakang sama sekali tak kuhiraukan. Aku tak suka dia kembali ada dalam lingkaran hidupku. Sudah cukup dengan semua kesakitan dan rasa malu yang telah dia berikan padaku dan juga keluarga besarku. Aku tak sudi jika harus kembali terlibat pembicaraan dengannya.
"Lepas! Kita bukan mahram, Mas." Aku meradang saat mendapati tangannya yang menyentuh pergelangan tanganku lumayan kencang.
Dia tertawa dengan intonasi merendahkan. Dasar laki-laki gila kurang ajar. "Sok suci banget kamu jadi perempuan!"
Dengan entengnya dia menghinaku seperti itu. Cengkeramannya dia lepaskan begitu saja, rasa sakit sedikit kurasakan akibat ulah lancang lelaki itu.
"Jaga ucapan kamu!" sengitku dengan jari menunjuk tepat ke bola matanya.
Dia melempari wajahku dengan sebuah undangan yang entah sejak kapan dia pegang. "Jangan lupa datang. Bawa pasangan juga sekalian!" Setelahnya dia berlalu begitu saja.
Aku mengepalkan kedua tangan erat-erat dan menatap nyalang undangan berwarna gold yang sudah tergeletak di lantai. Tanpa pikir panjang kakiku langsung menginjak benda tersebut hingga hancur berantakan. Aku tak sudi jika harus menghadiri pesta pernikahan mantan calon suamiku itu.
Ya, dia hanya mantan yang sekelebat datang lalu pergi tanpa pamit pemberitaan. Kehadirannya hanya untuk membagi luka dan derita yang tak berkesudahan. Jangan lupakan rasa malu yang dia persembahkan tepat di hari pernikahan. Dengan tanpa dosa dia pergi begitu saja, saat beberapa menit akad akan dilangsungkan. Rasa sakit akan kenangan pahit itu kian terbayang.
Di mana dia beserta keluarga besarnya datang melamar, lantas satu bulan berikutnya pernikahan akan digelar. Hari yang sangat kunanti-nantikan itu harus bubar jalan karena dia yang memutuskan sepihak atas batalnya pernikahan. Aku tak tahu apa yang menyebabkan dia mundur, karena memang aku tak diizinkan untuk duduk berdampingan dengannya. Akad belum terucap dan dia belumlah halal untukku. Entah apa yang terjadi waktu itu. Yang jelas setelahnya terjadi kekacauan dan sedikit terlibat baku hantam di antara keluarga dia dengan keluargaku.
Dulu aku sangat terpukul dan terpuruk karena kegagalan itu. Tapi sekarang aku bersyukur, karena Allah telah menunjukkan laki-laki seperti apa dia sebenarnya. Dia tak layak untuk kujadikan sebagai pendamping dan imam pilihan. Dari perangainya saja tak mampu berlaku baik dan sopan pada perempuan, bahkan bibirnya begitu ringan mengutarakan hinaan, belum lagi tangannya yang juga begitu mudah menjamah sesuatu yang tak seharusnya dia pegang. Allah masih melindungiku.
"Abi cariin dari tadi ternyata kamu ada di sini. Jangan pulang sendiri biar Abi yang antar." Aku sedikit terkejut mendengar suara Abi tepat di samping kiriku.
Aku beristigfar dalam hati beberapa kali lantas berucap, "Abi ngagetin aku aja sih." Beliau malah tertawa dengan begitu ringan seraya membelai puncak kepalaku lembut.
"Ya abis kamu sendiri juga sih yang susah dicariin," sela beliau. Aku mencebik sebal dibuatnya.
"Tadi Nak Arfan nyariin kamu," cetus Abi saat baru satu langkah kakiku berjalan.
"Udah ketemu tadi." Aku menjawabnya dengan nada tak santai bercampur kesal.
Jika aku masih sedikit menaruh rasa dendam, lain halnya dengan Abi dan Umi yang sudah berlapang dada menerima semua ketetapan-Nya. Mereka memaafkan kelakuan buruk Mas Arfan tanpa syarat dan sanksi apa pun. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kedua orang tuaku. Marahnya hanya pada saat itu saja, dan tidak dipelihara sampai berlarut-larut sepertiku.
"Pantes muka kamu gak enak dilihat gitu. Masih ada hati yah sama dia? Dia sudah punya calon istri bahkan minggu depan nikahnya. Gak baik ah punya perasaan lebih sama calon suami orang," tutur Abi memberitahu sekaligus melempari godaan.
"Yeeee, gak ada gitu-gituan yah, Bi. Kaya gak stok laki-laki lain aja di dunia ini sampe aku harus embat cowok orang," dengkusku kesal.
"Jadi?"
Keningku berlipat-lipat mendengar kata tanya yang begitu ambigu dan entah apa maksud serta tujuannya.
"Apa?"
Abi menaik-turunkan salah satu alis. "Sudah ada belum calonnya? Kan kata kamu banyak," goda Abi. Aku memutar bola mata malas dan berlalu meninggalkan beliau yang masih sibuk tertawa dengan begitu puas.
"Abi serius nanya itu. Jadi kapan?" tanyanya saat beliau mampu mensejajarkan langkah denganku.
Aku menghentikan sejenak tungkaiku lantas berucap, "Aku mau bangun karier dulu, urusan jodoh dan nikah aku serahin sama Allah. Kalau emang ada yang mau ya alhamdulillah, tapi kalau pun gak ya udah."
"Kok belum apa-apa sudah pesimis gitu sih," sela beliau tak suka. Sangat kentara sekali jika beliau tak sejalan dengan apa yang kupikirkan.
"Bukannya pesimis tapi aku tahu diri aja. Coba Abi hitung deh udah berapa kali aku gagal nikah? Terus sekarang lebih parahnya lagi calon suami aku meninggal dunia. Terus nanti apalagi coba, Bi?" Aku menumpahkan semua kemelut hati yang selalu menghinggapi.
Abi mengelus puncak kepalaku penuh sayang. "Itu namanya belum jodoh. Kamu harus percaya kalau setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Sekarang mah kamu tinggal berdoa dan jangan lupa terus ikhtiar," sarannya.
Setiap makhluk yang Allah ciptakan memang ditakdirkan memiliki pasangan. Selayaknya siang dan malam, saling melengkapi walau tidak hidup berdampingan. Mungkin jodohku pun seperti itu, tak selalu bisa bersama tapi jika memang Allah sudah berkuasa pasti akan bertemu jua. Tapi entah kapan waktunya tiba. Bisa saja Allah menikahkanku dengan ajal terlebih dulu lantas setelahnya Dia persembahkan imam terbaik untukku. Bukan perihal jodoh di dunia lagi yang Dia persiapkan melainkan jodoh di akhirat kelak.
"Ikhtiar udah, doa juga gak kalah rutinnya. Mungkin aku emang gak ditakdirin buat punya pasangan," kataku dengan melirik sekilas ke arah beliau yang tengah menatap tak suka padaku.
Kadang aku bertanya-tanya sendiri akan kemalangan kisah percintaanku yang selalu berjalan tak sesuai dengan harapan. Kata gagal seperti sudah menjadi kawan akrabku jika menyangkut perihal ikhwan dan calon pasangan. Bahkan pernikahan yang sudah di ambang mata saja seringkali hancur berantakan. Aku bingung dengan takdir hidup yang mempermainkanku seperti ini. Tidak bisakah berikan aku sedikit celah untuk bahagia? Sudah muak rasanya berkawan dengan duka dan sengsara.
"Sudah ah jangan bahas itu lagi. In syaa Allah kalau jodohnya sudah ada pasti akan Allah permudah," tutur Abi seperti memberiku suntikan semangat. Tapi hal itu sama sekali tak berpengaruh apa-apa. Sudah kepalang nethink duluan jika membahas perihal jodoh yang tak kunjung datang.
Sunggingan tipis kuberikan sebagai respons. Aku tak ingin terlalu ambil pusing perihal masalah sepele tersebut. Hidupku masih panjang dan tak mau dibuat ribet hanya karena hal semacam itu. Kuyakin di luar sana ada segelintir perempuan yang bernasib serupa denganku. Dilangkahi adik sendiri, ditinggal pergi berkali-kali, dan entah apalagi yang akan menimpaku nanti. Jika jodohku tak kunjung datang cukuplah doa yang menjadi pengantar, karena dia tahu ke mana harus pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top