5 | Merasa Sendiri

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

"Lebih baik diam daripada terlibat obrolan yang menyakitkan."

Di tengah keramaian dan kebahagiaan yang tengah menyapa aku justru merasa sepi dan sendiri. Semua orang seakan tak memedulikan keberadaanku, mereka sibuk dengan si bungsu dan bayi mungilnya yang beberapa jam lalu lahir ke dunia. Bayi berjenis kelamin perempuan dengan berat 2.7 kg dan panjang 48 cm itu mungkin terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Memiliki kecenderungan rupa yang lebih mengikuti ayahnya, hanya saja mata sipit yang bayi mungil itu miliki serupa dengan sang ibu. Bibir tipis kemerahannya pun tak kalah andil menambah kadar kecantikan bayi mungil tersebut.

Dalam hati aku pun bertanya. Apakah aku bisa menikah dan memiliki keturunan sebagaimana dua adik perempuanku. Atau aku hanya bisa menjadi penonton setia yang menyaksikan kebahagiaan mereka saja? Kurasa penyakit hati ini sudah mulai mendominasi dan memprovokasi untuk terus terjebak dengan rasa iri dan dengki. Dengan cepat kulangitkan lantunan istigfar untuk membunuh segala pemikiran dangkal yang tiba-tiba datang menyerang. Kuraup permukaan wajah dengan kedua tangan dan tak terasa ada sesuatu yang turun dari kedua sudut mata. Lagi-lagi cairan menyebalkan tak tahu diri ini yang muncul ke permukaan.

"Sayang." Kepalaku mendongak saat mendapati suara Umi yang ternyata sudah duduk tepat di sampingku.

Kuhapus cairan bening yang masih menggenang dan turun tanpa bisa dicegah ini dengan cepat. Mengukir senyum tipis penuh ketulusan agar Umi tak terlalu ambil pusing akan kemelut hati yang saat ini tengah kurasakan. "Iya, Mi?"

Elusan lembut yang berasal dari tangannya membelai puncak kepalaku penuh sayang. "Kenapa malah bengong sendirian di sini? Gak mau lihat keponakan dan adik kamu, Nak?"

Aku tersenyum getir saat menyadari kesendirianku yang lebih memilih diam di pojok ruangan. Aku hanya menjadi saksi bisu atas kebahagiaan yang tengah keluarga besarku rasakan. Jangankan untuk mendekat ke arah Saras dan bayinya, sedari tadi aku hanya diam merenung tak jelas di sini. Aku mengetahui ciri fisik perihal bayi mungil itu saja hanya sebatas curi-curi dengar.

"Nanti aja, Mi kalau udah sepi. Sekarang masih rame banyak keluarga Mirza," kilahku mencari alasan.

"Gak kaya biasanya kamu kaya gini. Kenapa?" Aku hanya diam dengan tangan berusaha untuk menggenggam Umi.

"Aku gak papa." Hanya kalimat itulah yang mampu kukatakan.

"Jangan bohong. Umi ini ibu kandung kamu, apa yang kamu pendam dan sembunyikan pasti akan Umi rasakan. Ikatan antara ibu dan anak itu sangat kuat, Sayang," tutur Umi lembut.

Hatiku menjerit pilu saat mendengar kata demi kata yang Umi keluarkan. Benarkah aku ini anak kandung beliau? Seketika bayangan kejadian beberapa waktu lalu kembali terbayang dan memenuhi pikiran. Anak haram. Dadaku begitu sakit bukan kepalang. Bagaimana dua kalimat yang tak seharusnya kudengar keluar begitu saja dari bibir Tante Sukma, seseorang yang tak memiliki ikatan darah apa pun dan hanya sebatas kerabat dari kedua orang tuaku mengatakan kalimat menyakitkan itu? Oh Allah kenapa rasanya begitu sesak dan membuatku ingin kembali menumpahkan tangis kesakitan.

"Gak papa, Mi." Untuk kali keduanya aku mengatakan kalimat itu.

Dua kata yang memiliki seribu makna dan arti. Perempuan memang seperti itu. Ingin dimengerti tapi tak ingin berbagi perihal apa yang tengah dirasai. Bersembunyi di balik kata 'Gak papa' padahal pada kenyataannya dia tengah menjerit pilu dengan rasa sakit yang kian menggerogoti. Hidupnya terlalu banyak sandiwara, seakan ingin mengatakan pada dunia bahwa dirinya kuat dan mampu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ingin menyerah serta berbelok arah dari jalan hidup yang telah Allah gariskan.

Umi tersenyum simpul lantas berucap, "Ya udah ikut Umi yuk. Adik sama keponakan kamu katanya pengin ketemu." Aku tertawa pelan guna menutupi sesuatu yang sudah sedari tadi bergejolak dalam hati. Sakit.

Sebuah anggukan singkat kuberikan. Kedua kakiku terasa sangat berat untuk dilangkahkan, terlebih melihat tawa bahagia yang terpancar di wajah semua orang yang saat ini memenuhi ruang inap Saras. Aku tak suka keramaian, terlebih jika harus mendapat tatapan mencemooh dengan pertanyaan yang sangat amat tidak ingin kudengar.

"Oalah ada Rina toh di sini saya kira kamu sedang bekerja." Aku hanya tersenyum canggung saat mendapati suara yang berasal dari kakaknya Mirza yang bernama Mira.

"Gak, Mbak libur dulu," sahutku sebisa mungkin bersikap biasa saja.

"Panggil Mira aja kali kita kan seumuran," protesnya. Selalu saja seperti itu, bahkan perempuan itu seperti sengaja menekan kata 'seumuran'nya.

Seakan ingin menegaskan bahwa di antara aku dan dirinya satu angkatan dan satu almamater. Tapi sayang nasib kita jauh berbeda, karena dia sudah memiliki keluarga yang terlihat begitu sempurna dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang sudah berusia 5 dan 4 tahun. Aku cukup tahu diri untuk menangkap sindiran pedas tersiratnya. Lebih baik diam daripada terlibat obrolan yang menyakitkan. Tarik napas dan buang. Itulah yang lebih kupilih untuk meredam emosi yang tiba-tiba naik ke permukaan.

Dengan dalih menikah muda untuk menghindari zina Mira memilih untuk melangsungkan pernikahan. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah dia ketahuan tengah menjalin hubungan dengan seorang ikhwan di belakang kedua orang tuanya. Jelas hal itu merupakan aib keluarga yang sangat mencoreng citra baik keluarga besar mereka yang merupakan keturunan pemuka agama. Dan menikahkan Mira adalah pilihan yang ditempuh oleh kedua orang tuanya.

Keluarga besar Mira terpandang dan merupakan sesepuh kampung yang disegani oleh orang-orang. Apa jadinya jika sampai kegiatan Mira yang menjalin hubungan tak halal semakin merebak luas ke khalayak ramai. Citra buruk sudah otomatis akan langsung dikantongi. Meskipun tidak melakukan sesuatu yang melebihi batas, tapi tetap saja itu merupakan aib yang tak seharusnya Mira lakukan.

Di usianya yang baru menginjak 21 tahun Mira sudah melangsungkan pernikahan, dan sekarang dia sudah memiliki putra dan putri. Kehidupannya sangat terlihat sempurna dan bahagia bukan? Tidak sepertiku yang harus menerima banyak derita dan kegagalan. Pahit sekali kisah percintaanku. Aku selalu merasa rendah diri jika menyangkut hal yang seperti ini. Mentalku langsung menciut dan berhamburan entah ke mana.

"Kapan—"

"Mi aku pulang duluan yah." Dengan cepat aku segera memotong ucapan Mira. Aku sudah tahu pertanyaan seperti apa yang akan ibu dua anak itu layangkan. Pasti takkan jauh-jauh dari pernikahan. Aku sudah muak mendengarnya.

"Kok buru-buru sih, Teh? Gak mau lihat ponakan Teteh dulu apa?" cegah Saras dengan tampang memohon. Aku tak suka melihatnya seperti itu.

Sebisa mungkin aku menarik kedua sudut bibir. "Nanti juga pasti pulang ke rumah Umi, kan? Teteh gak mau ganggu keponakan Teteh yang lagi tidur pulas," dalihku dengan melirik sekilas ke arah box bayi di samping brankar Saras yang berseberangan denganku.

"Ish gitu amat sih, Teh. Lihat dulu atuh, lagian aku pulangnya tiga hari lagi. Masih lama itu mah," protes ibu muda tersebut.

Aku mengembuskan napas panjang. Menghadapi Saras dengan kadar keras kepala tinggi pasti takkan ada habisnya. Kulangkahkan kaki ke arah box bayi itu berada. Bayi merah yang baru melihat keindahan dunia itu terlihat nyaman dalam tidurnya. Tenang dan damai saat netraku menjumpai wajahnya yang masih bersih dan suci tanpa dosa. Bisakah aku melahirkan seorang malaikat kecil sepertinya?

"Sudah yah Teteh pulang dulu." Tak ingin berlama-lama dan bergelung dengan rasa yang tak seharusnya ada, lebih baik aku segera pergi untuk menyehatkan penyakit hati ini.

"Iya deh serah Teteh aja," putusnya antara ikhlas tak ikhlas.

Aku membelai puncak kepalanya lembut. "Besok Teteh ke sini lagi," hiburku.

"Pamit dulu semuanya, assalamualaikum." Setelah mendapatkan jawaban salam dari semua orang yang ada aku pun memutuskan untuk segera pulang.

Sepertinya kali ini aku harus menaiki kendaraan umum dan berdesak-desakkan. Sedari tadi aku tak mendapati Abi, entah ke mana beliau pergi. Aku tak tahu. Setelah mengobati dan mengantarku ke ruang rawat inap Saras, Abi langsung menghilang tanpa kabar.

"Kalau jalan pake mata! Gak bisa lihat gitu ada orang di depan." Aku terkesiap saat tak sengaja bertabrakan dengan seorang ikhwan.

"Maaf Mas saya gak sengaja," kataku dengan kepala menunduk takut. Aku tak pernah diperlakukan seperti ini, dibentak di khalayak ramai. Itu sangatlah memalukan.

"Lain kali hati-hati!" Pemuda yang tidak kuketahui rupa dan namanya itu berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih menunduk dalam di tengah koridor rumah sakit.

Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tungkaiku bergerak lumayan cepat tapi baru beberapa langkah tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk bahu. Napasku memburu dengan cepat rasa takut mulai merayap dan hinggap. Lorong koridor rumah sakit sepi dan hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang. Seketika bulu kudukku pun meremang, terlebih saat mendengar.

"Nisrina!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top