4 | Anak Haram?
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Tanda tanya besar akan hidup yang selama ini tak kupedulikan justru memicu kemelut hati yang tak berkesudahan."
Aku diam menunggu sebuah ketidakpastian. Bergelung dengan kecamuk hati yang tak kunjung usai. Memikirkan perihal nasib seseorang yang masih dalam penangan. Meskipun aku tak mengenal sosoknya, tapi mendengar Abi mengatakan bahwa dia adalah calon suamiku entah mengapa membuat sebagian hati menjerit pilu. Dia yang belum kukenal akankah berakhir tragis seperti kisahku yang sudah-sudah. Kandas di tengah jalan.
Suara ketipak langkah yang beradu dengan lantai membuatku menoleh pada sepasang suami istri yang terlihat gusar tak tenang. Keduanya menghampiri Abi dan sedikit terlibat perbincangan. Aku tak tahu apa yang tengah ketiganya bicarakan karena posisiku yang memang berada cukup jauh dari jangkauan. Seorang wanita paruh baya yang terlihat sangat anggun dengan pakaian berkelas tingkat atas menghampiriku. Tatapannya begitu tajam dan membuatku takut bukan kepalang.
Tak ada sorot teduh yang terpancar seperti saat satu minggu lalu beliau datang menyambangi kediaman Abi dan Umi. Kupaksakan kedua sudut bibirku agar terangkat, memberikan beliau senyum tulus adalah pilihan terbaik untuk meredam sedikit gemuruh dalam dada. Tapi mendadak kepalaku pusing bukan main saat satu tamparan mendarat tepat di salah satu pipiku. Rasa sakit dan panas itu menjalar hingga mengalirkan darah segar di sudut bibir.
Aku hanya mampu diam dengan pandangan nanar tak mengerti. Otakku sama sekali tak bisa dikendalikan. Samar-samar aku mendengar percekcokkan yang terjadi di antara Abi dan dua orang yang mengaku sebagai kerabat Abi tersebut. Napasku memburu cepat saat perempuan paruh baya itu akan kembali melayangkan tamparan. Mataku terpejam rapat tak ingin melihat kejadian seperti sebelumnya terulang.
"Cukup! Jangan sakiti putri saya!" Netraku seketika terbuka saat mendengar suara tegas Abi.
"Dia yang menyebabkan putra saya seperti ini! Dia harus bertanggung jawab!"
Aku menatap Abi penuh tanya. Apa maksud dari perempuan senja itu? Aku tak tahu menahu perihal kecelakaan yang putranya alami. Tapi dengan seenak jidat beliau menyalahkanku begitu saja. Di mana beliau letakkan akal serta pikirannya?
Napas Abi terdengar memburu dengan begitu cepat. "Atas dasar apa Anda menjadikan putri saya sebagai tersangka dalam musibah ini? Itu murni sebuah kecelakaan!"
"Kalau perjodohan itu tak terjadi mungkin putra saya tidak akan pergi dan sampai berakhir di tempat ini!"
"Sudah! Tidak baik ribut di rumah sakit," lerai lelaki paruh baya yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan di antara Abi dan juga istrinya.
"Tapi, Mas—"
"Cukup Sukma!" Seketika suasana semakin panas mencekam. Terlebih pada saat lelaki senja itu menghentikan paksa perkataan istrinya.
"Dasar anak haram!"
Aku membatu di tempat dengan genangan air mata yang rasanya sudah mendesak minta dikeluarkan. Abi medekapku dengan sangat erat dan berusaha untuk memberikan ketenangan. Netraku menuntut penjelasan lebih, tapi yang Abi lakukan justru memberikan elusan lembutnya di punggungku.
"Kita pulang sekarang yah, Sayang." Rangkulan di bahu semakin erat, seakan enggan untuk dilepaskan.
"Bi—"
Abi mengukir senyum yang terlihat sangat dipaksakan. Tangannya bergerak untuk mengelus puncak kepalaku. "Perjodohan kita batalkan!" Setelah mengatakan kalimat itu Abi segera membawaku pergi.
Sepanjang jalan otakku terus bekerja memikirkan dua kata yang keluar dari bibir wanita senja bernama Sukma itu. Anak haram? Dadaku begitu sesak jika mengingat bagaimana sorot kebencian dan intimidasi yang beliau perlihatkan. Hatiku sakit bukan main. Apa benar aku ini anak haram?
"Bi," panggilku dengan suara lirih menahan tangis. Abi menghentikan langkahnya dan otomatis membuat laju tungkaiku pun terhenti.
"Apa, Sayang?" Suaranya begitu lembut dan membuatku sedikit lebih tenang.
"Aa ... apa ... yang dikatakan Tante Suk—"
"Sudah yah, Sayang jangan dipikirkan. Orang kalau lagi emosi dan cemas omongannya suka gak jelas." Belum terangkai sempurna kalimat tanya yang akan kusampaikan Abi dengan cepat memotong.
"Tapi, Bi—"
"Semua anak itu terlahir suci, fitrah. Gak ada anak ha ... sudah jangan terlalu kamu pikirkan yah, Nak," tuturnya.
Abi seperti enggan untuk mengucapkan kata 'haram' dalam kalimatnya. Seketika senyum penuh kegetiran terbit di wajahku. Ada yang beliau sembunyikan perihal asal-usulku.
"Kita obati luka kamu dulu yah, Umi pasti cemas kalau lihat pipi kamu yang merah membiru itu, apalagi ada bekas darah yang mengering," ungkap Abi.
Aku hanya mengangguk tanpa minat. Jujur saja hati dan pikiranku sedang kacau karena memikirkan sesuatu yang saat ini saling tumpang tindih memenuhi kepala. Dadaku pun terasa sakit bagai ditikam ribuan pedang tak kasat mata. Perih dan begitu menyesakkan.
"Anak saya meninggal! Dan itu karena ulah kamu!" Aku terpekik kaget saat tiba-tiba mendapat serangan mendadak dari arah belakang. Tubuhku langsung terpental ke lantai karena oleng dan tak bisa menjaga keseimbangan.
Di sana aku melihat Tante Sukma dengan tampang kacau dan air mata yang terus mengalir di kedua sudut netranya. Pandangan beliau begitu tajam dan menatap penuh intimidasi padaku. Apalagi ini Ya Allah?
Beliau berjalan dengan begitu cepat mendekat ke arahku, dan yang bisa kulakukan hanya mencoba untuk berdiri serta menjauh dari jangkauan beliau. Tapi belum sempat kedua kakiku berpijak tangan Tante Sukma sudah mencengkeram kuat rahangku. Rasa sakit akibat tamparan tadi semakin menjadi, dan tanpa bisa dicegah ringisan pun keluar begitu saja.
"Sabar Sukma. Istigfar! Rina gak tahu apa-apa. Lepaskan dia." Dengan hati-hati lelaki paruh baya itu mendekat ke arah Tante Sukma yang masih keukeuh tak mau melepaskan cengkeramannya.
"Dia penyebab kematian anak kita!" Tante Sukma meronta dalam pelukan suaminya, dan aku pun mencoba berdiri dengan bantuan Abi. Dan saat itu pula aku langsung berhambur menumpahkan tangis dalam dekapan hangat Abi. Perasaanku campur aduk tak keruan. Sesak hanya itulah yang mampu kukatakan.
"Semua ini takdir Allah. Lapangkan hati kamu untuk menerimanya," tuturnya yang dengan sabar menenangkan Tante Sukma. Suara isakan pilu itu semakin menguar dan membuatku semakin dirundung ketakutan.
"Maafkan istri saya. Saya harap hubungan pertemanan kita masih bisa terjalin dengan baik." Aku bisa merasakan ketulusan di setiap kata yang lelaki paruh baya itu katakan.
Abi menyambut baik penuturan dari kerabatnya dengan senyum serta anggukan. "Kami permisi," ucap Abi. Beliau mengajakku untuk benar-benar angkat kaki dari tempat ini.
"Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak," peringat Abi dengan diiringi tepukan lembut di atas ubun-ubunku.
"Aku anak haram? Bukan anak Abi sama Umi?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari sela bibirku. Langkah Abi terhenti dengan paksa, netranya menyiratkan ketidaksukaan. Aku takut melihat Abi yang seperti itu.
Sedetik berikutnya aku merasakan rangkulan hangat di tubuhku. "Kamu anak Umi sama Abi, Sayang. Jangan pernah ngomong kaya gitu lagi!" Setelahnya beliau menghujami kepalaku dengan kecupan-kecupan singkat.
"Abi sayang sama kamu. Jangan pernah pedulikan omongan orang lain," imbuhnya. Aku merasa khimar yang kukenakan sedikit basah. Kudongakkan wajahku dan netraku langsung menangkap wajah sendu Abi dengan air mata yang sudah turun di salah satu sudut mata beliau. Aku hanya mampu mengangguk kelu dan semakin mengeratkan pelukan.
Entah harus dengan kata apa aku mendeskripsikan perasaanku saat ini. Scen per scen yang tadi terjadi kini sudah berkeliaran ke sana-kemari. Kata sakit rasanya sudah tidak mampu mewakili. Tanda tanya besar akan hidup yang selama ini tak kupedulikan justru memicu kemelut hati yang tak berkesudahan. Kalimat sarkas yang Tante Sukma layangkan, hingga perlakuan kasar beliau yang tak wajar sangat mengundang tanda besar. Apakah benar aku ini anak haram?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top