3 | Calon Suami?
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Melihat rupa lelaki itu saja belum pernah dan sekarang dengan enteng Abi langsung mengklaim bahwa dia adalah calon suamiku."
Sepanjang perjalanan aku dibuat kesal karena jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan. Beginilah jika berangkat terlalu siang, risiko macet itu pasti akan selalu terbayang. Entah sudah berapa lama motor yang aku dan Abi tumpangi hanya berdiam diri di tengah kerumunan kendaraan lainnya. Melirik arloji sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku sudah telat satu jam, dan itu karena ulah si bungsu yang tengah hamil besar.
Rasanya aku ingin memarahi anak itu sekarang juga. Aku ini termasuk karyawan teladan yang tak pernah bolos tanpa alasan, bahkan telat saja tidak pernah. Tapi sekarang aku sudah mencoreng citra baik yang sudah kubangun bertahun-tahun itu. Akan percuma saja jika terus memaksakan diri untuk berangkat ke tempat kerja, karena pada akhirnya pasti takkan diperbolehkan masuk oleh pak satpam. Dan jika pun sekarang putar balik untuk pulang, itu tidak mungkin karena baik dari arah depan maupun belakang sama-sama macet dan tak bisa bergerak sedikit pun.
"Mau lanjut apa pulang, Nak?" seloroh Abi seraya menoleh ke belakang.
Wajahku yang sedari tadi sudah tertekuk kesal bertambah muram karena mendengar pertanyaan Abi. "Terserah Abi aja," jawabku dan segera tenggelam di balik punggung lebarnya. Tanganku sengaja disusupkan pada saku jaket yang beliau kenakan.
Aku merasakan elusan lembut Abi di punggung tangan sebelah kananku. "Kita pulang aja yah. Kalau urusan kerja kan bisa izin dulu," tuturnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih untuk menumpukan dagu di salah satu bahu Abi.
Netraku melihat ke arah depan di mana suasana jalanan sudah mulai sedikit lebih kondusif dan bisa dilalui. Tak lama motor yang kutumpangi pun berjalan dengan perlahan dan sedikit tersendat-sendat karena ulah beberapa pengendara yang rusuh saling salip-menyalip. Sepertinya Abi memilih untuk menerobos kemacetan dan mencari jalan lain untuk pulang, karena jika untuk putar balik sangat sulit sebab kendaraan dari arah belakang yang begitu padat merayap.
Suara gawai yang berada di dalam tas selempang berukuran sedang milikku berbunyi tanda ada sebuah panggilan masuk. Dengan malas aku pun merogoh benda pintar tersebut, dan di sana tertera nama Umi yang menghubungi.
"Wa'alaikumussalam, iya kenapa Umi?" tanyaku sekaligus menjawab salam beliau.
"Iya ini lagi perjalanan pulang kok, Mi," balasku pada saat beliau meminta untuk kembali pulang karena Saras benar-benar sudah ingin melahirkan. Anak itu sangat menyusahkan sekali, kerjaannya hanya membuat tensi darahku melambung tinggi.
"Oh di rumah sakit yah, Mi? Iya ... Iya ... Tahu kok kalau rumah sakit itu mah," sahutku saat mendengar Umi melarang untuk pulang ke rumah dan meminta untuk langsung ke rumah sakit saja.
"Iya wa'alaikumussalam, Mi." Aku segera memutus panggilan tersebut dan kembali memasukkan benda canggih berlayar pipih itu ke dalam tas.
"Masih macet yah, Bi? Tumben banget sampe sepanjang ini. Kata Umi Saras mau ngelahirin, Bi," beritahuku saat motor yang Abi kendarai kembali berhenti.
"Iya gak kaya biasanya. Mungkin ada kecelakaan atau apa gitu Abi juga kurang tahu. Beneran mau melahirkan dia? Apa cuma kontraksi palsu lagi kaya tadi?" tanya Abi.
"Cari jalan tikus atuh, Bi. Ya kali kontraksi palsu lagi, kurang kerjaan banget tuh anak kalau sampai yang kali ini gak jadi juga," sahutku dengan nada suara jengkel. Bayangan akan kejadian beberapa jam lalu kembali terbayang dan membuatku sebal bukan kepalang.
Abi tak menanggapi ocehanku dan lebih memilih untuk kembali melajukan motornya. Ada sedikit celah kosong agar kendaraan yang kami tumpangi bisa melaju. Netraku memicing saat melihat sebuah mobil avanza berwarna hitam yang sudah dalam keadaan ringsek total. Tak jauh dari lokasi mobil ada sebuah ambulance yang terlihat baru saja datang ke lokasi kecelakaan. Ternyata ini yang menyebabkan macet panjang hingga berjam-jam.
"Bi ... kok mobilnya kaya punya temen Abi sih? Itu lho yang satu minggu lalu ke rumah," cetusku.
"Mobil yang kaya gitu banyak atuh. Gak mungkinlah," sahut Abi menepis argumen yang kukeluarkan. Aku hanya manggut-manggut saja.
"Tanyain sama Umi Saras lahirannya di mana?" seloroh Abi.
"Di Rumah Sakit Kasih Bunda, Bi," jawabku. Anganku langsung terbang pada saat tadi Umi memberitahu perihal keadaan Saras yang harus menjalani operasi caesar karena bayi yang perempuan itu kandung sungsang. Sepertinya kegiatan dia yang tadi berjongkok ria di depan pintu itu tak berpengaruh apa-apa. Mengingat hal itu aku jadi ingin terbahak menertawakan kekonyolan Saras.
Suara ambulance yang bersumber dari arah belakang meminta para pengendara untuk sedikit melipir. Padahal baru saja motor ini berjalan lancar tanpa hambatan, tapi sekarang sudah sedikit terganggu lagi. Mungkin itu mobil yang membawa korban kecelakaan tadi. Tak ingin ambil pusing aku pun memilih untuk menyandarkan kepala di punggung Abi. Menikmati terpaan angin dan teriknya matahari pagi yang lumayan menyengat hingga ke tulang.
Setelah beberapa jam berjibaku di jalanan akhirnya aku dan Abi sampai di tempat tujuan. Kami segera bergegas ke meja resepsionis untuk menanyakan perihal keberadaan Saras. Setelah diberi arahan kami pun segera berjalan menuju ruang tindakan. Di ruang tunggu aku melihat Umi, Riska, Radit yang tengah menggendong Azka, dan tak ketinggalan mertua Saras pun ikut andil di sana. Aku tak melihat keberadaan Mirza, sepertinya lelaki itu tengah menemani Saras yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka.
"Gimana keadaan Saras, Umi?" tanyaku saat sudah duduk bersisian dengan beliau. Umi memeluk tubuhku dengan sangat erat. Aku tahu beliau tengah dilanda kecemasan. Putri bungsunya sedang berjuang antara hidup dan mati.
"Insya Allah semuanya akan baik-baik aja. Kita berdoa aja yah, Mi," kataku menenangkan beliau. Satu tahun lalu pada saat Riska melahirkan pun Umi seperti ini, tapi yang sekarang sepertinya lebih parah.
"Ini sudah hampir satu jam tapi ruang operasi belum dibuka juga. Umi takut terjadi sesuatu yang bu—"
"Jangan mikir yang enggak-enggak dong, Mi. Kita harus khusnuzan sama Allah," potongku cepat. Jika sedang dalam keadaan kacau seperti ini pikiran Umi suka ngalor-ngidul tak jelas.
"Abi mau ke mana?" tanyaku saat melihat Abi sudah beranjak dari tempat duduk dengan keadaan gusar.
"Anak teman Abi kecelakaan dan sekarang sedang dalam perawatan. Abi harus melihat keadaannya karena teman Abi terjebak macet di jalan," terangnya.
"Jangan bilang yang tadi kecelakaan di jalan itu yah, Bi?" selidikku menaruh curiga.
Anggukan singkat beliau berikan. Sudah kuduga. Abi sih tadi ngeyel dan tak mendengar perkataanku. Sekarang dia kalang kabut sendiri, kan?
"Dirawat di rumah sakit mana?" tanyaku.
Dengan cepat Abi pun menjawab, "Di sini, lagi di ruang UGD."
Aku menghela napas singkat. "Ya udah ayo aku temenin Abi," tuturku. Jika dalam keadaan panik beliau tidak bisa berpikir dengan jernih, dan aku takut terjadi hal buruk padanya.
"Saras gimana?" cegah Abi tak setuju.
"Di sini banyak yang nungguin, Bi." Aku langsung menarik lengan Abi setelah berpamitan sebentar pada orang-orang yang masih dirundung kepanikan.
"Semoga calon mantu Abi baik-baik aja yah, Nak," katanya harap-harap cemas. Aku mengaminkan dalam hati.
Kecelakaan tadi saja membuat mobil itu ringsek tak berbentuk. Aku pun mengenali mobil itu karena tak sengaja melihat plat nomor yang tertera di bagian belakang badan mobil, sedangkan bagian depannya sudah hancur dengan api yang mengepul. Keadaan kendaraan beroda empat itu saja sudah sangat memprihatikan, apalagi korbannya? Tapi semoga saja anak teman Abi itu baik-baik saja.
Namun gerak tungkaiku tiba-tiba membeku saat menyadari kata 'calon mantu' keluar dari sela bibir Abi. Apa maksud dari kata tersebut?
"Kenapa malah berhenti sih? Ayo buruan." Abi menarik tanganku begitu saja. Sedangkan pikiranku sudah bercabang ke mana-mana.
"Calon mantu? Maksud Abi apa coba?" ocehku di tengah kegiatan kami yang tengah berjalan dengan rusuh.
"Calon suami kamu." Aku membatu di tempat saat mendengar dengan jelas tiga suku kata tersebut. Kepalaku rasanya pening bukan main.
Melihat rupa lelaki itu saja belum pernah dan sekarang dengan enteng Abi langsung mengklaim bahwa dia adalah calon suamiku. Aku saja baru bertemu dengan orang tua pemuda itu satu kali, dan itu pun tak membahas perihal perjodohan. Abi hanya mengenalkan dua orang asing itu sebagai kerabat, tidak lebih dan tidak kurang. Lalu sekarang dengan lancar beliau mengatakan bahwa orang yang menjadi korban kecelakaan itu calon suamiku? Drama hidup macam apa yang saat ini tengah kujalani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top