27 | Akhir Kisah

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangankan untuk mencintai, hanya untuk sekedar menaruh hati saja aku tak memiliki nyali."

Tiga bulan berselang ...

Diam bukan berarti tak berjuang, diam bukan berarti tak memiliki keberanian, hanya saja itu memang sudah menjadi pilihan. Untuk apa diungkapkan jika akhirnya hanya mengundang kesakitan, lebih baik dipendam dan biarkan ribuan bait doa yang berkoar-koar.

Jodoh pasti bertemu, entah itu bersanding bersama di pelaminan atau hanya sekedar jadi tamu undangan. Yang pertama jelas sangat membahagiakan, tapi yang kedua jelas sangat menyesakan. Tapi tak apa, itu berarti dia memang bukan jodoh yang sudah Allah persiapkan.

Perkara jodoh itu sangat simpel, yang membuatnya terlihat ribet adalah diri kita sendiri. Terlalu mengagungkan kata cinta pada sesama hamba namun lupa memperjuangkan cinta pada Sang Maha Pencipta. Bukankah itu suatu kebodohan yang tak bisa ditoleransi?

Cinta pada Sang Maha Pencipta saja dilupakan begitu saja, apalagi hanya sekadar cinta pada sesama manusia. Kita itu terlalu dibutakan oleh keindahan dunia yang fana, hingga lupa akan kehidupan akhirat yang jauh lebih dari segalanya.

Terlalu berpatok pada pasangan hingga lupa akan kematian, padahal yang jauh lebih menjanjikan adalah ajal. Dinikahkan dengan Malaikat Maut. Terdengar mengerikan bukan? Oleh sebab itulah kita harus mempersiapkan diri.

"Na." Panggilan itu membuyarkan segala lamunanku, dan dengan segera aku pun mengambil tas selempang yang sudah kusiapkan di atas pembaringan.

"Sabar, Zi acaranya juga masih lama," protesku saat sudah menutup pintu kamar.

Ziah memutar bola mata malas sebagai tanggapan. "Mending datang lebih awal daripada telat," selanya dengan intonasi suara tak santai.

Aku dan Ziah akan pergi ke suatu tempat, tidak hanya berdua saja melainkan ada Zaki juga yang selalu siap antar jaga ke mana pun istrinya pergi. Semenjak keguguran Ziah, dia semakin protektif, dan membatasi intensitas pertemuanku dengan istrinya. Hanya di kantor saja kami bisa bebas bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama, lainnya tidak pernah.

"Mas Zaki gak papa kan kalau duduk di depan sendiri?" seloroh Ziah pada saat kami akan memasuki mobil.

Hanya deheman dan wajah yang terlihat tertekuk kesal menjadi jawaban. Tapi hal itu tak terlalu dijadikan persoalan, Ziah malah dengan santainya duduk di sampingku.

"Duduk depan sana, gak enak aku sama suami kamu," bisikku yang malah dibalas kekehan olehnya.

"Gak papa kali, Na, tempat makmum kan emang di belakang bukan duduk berdampingan di depan," cetus Ziah yang berhasil menarik anganku pada kejadian di masa lalu.

Bayangan akan wajah sebal Naresh sudah membayangi pikiran, di mana dia yang tak terima dijadikan sebagai sopir dadakan. Tapi karena perkataan sarkas Ziah, mau tak mau dia harus menerimanya. Apa kabar lelaki itu?

Semenjak kejadian di rumah tiga bulan lalu, aku tak pernah lagi bertukar kabar dengannya, hanya sekadar tahu sekilas saja dari Umi dan Abi. Itu pun tak terlalu mencangkup kehidupan Naresh, tersiar kabar bahwa Tante Sukma sudah mulai mendingan, dan kini sudah kembali tinggal di rumahnya.

"Inget someone nih kayanya," goda Ziah dengan senyum usil yang merekah indah di sana.

Setelah tawaran mendadak yang Naresh ajukan, aku segera menceritakannya pada Ziah, dan aku sangat menyesal karena semenjak itu pula dia selalu menjadikanku bulan-bulanan. Sungguh sangat menyebalkan.

"Inget doang mah gak haram kali," jawabku asal. Malas sekali jika harus meladeni ocehan unfaedah Ziah.

Tawa perempuan itu menggelegar tanpa tahu aturan, bahkan Zaki yang tengah menyetir saja sampai geleng-geleng melihat kelakuan istrinya.

"Belajar dari pengalaman, Na, jangan sampai kamu nyesel kaya yang udah-udah," tutur Ziah yang berhasil membuat mood-ku anjlok ke dasar samudera terdalam.

Aku lebih memilih untuk menatap ke arah jendela, di mana jalanan tanah Pasundan menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Meskipun hanya sebatas gedung-gedung pencakar langit, dan lalu lalang kendaraan, tapi hal itu lebih baik jika dibandingkan harus terlibat perbincangan dengan Ziah.

Mobil terparkir di sebuah hotel elite dengan segala fasilitas mewah nan megah. Segala pernak-pernik khas bergaya modern klasik menyambut netra. Dengan segera aku turun dari mobil milik Zaki, merapikan pakaian yang sedikit kusut, lantas menggandeng lengan Ziah. Aku tak ingin dijadikan sebagai pajangan oleh sepasang suami istri itu, dan biarkan saja Zaki mengintil di belakang kami.

"Bawa tissue gak?" tanya Ziah yang berhasil menghentikan laju tungkaiku.

"Buat apaan?" selorohku heran.

Dia terkekeh pelan lantas berujar, "Buat hapus air mata kalau-kalau ada adegan mengiris hati."

Aku menggeplak tangannya, dan hal itu malah semakin membuat Ziah menggelegarkan tawa.

"Gak akan!"

"Serius?"

Aku tak menggubris pertanyaannya dan lebih memilih untuk segera memasuki hotel bintang lima kelas atas itu. Interior serta dekorasinya sangat amat indah dan elegan, dan tanpa sengaja netraku membidik sebingkai foto yang terpajang di meja samping pintu masuk.

Ada sedikit rasa sesak di dada yang memberontak hebat, tapi sebisa mungkin tak kuanggap. Ini sudah menjadi keputusanku, dan seharusnya aku sudah mempersiapkan diri akan hal ini. Jangan terlalu pakai perasaan Nisrina.

"Belum apa-apa udah mau turun aja tuh air mata," oceh Ziah yang berhasil mengalihkan perhatianku.

"Gak, apaan sih. Sok tahu banget," sangkalku.

Dengan lembut Ziah merangkul bahuku lantas berbisik, "Makanya kalau suka bilang, kalau cinta ungkapkan, jangan malah dipendam. Cinta tapi diam, itu mah sama aja kaya nyeblosin diri sendiri ke jurang kesakitan."

Aku memejamkan mata sejenak, meredam gejolak yang sudah menggedor-gedor tak tahu aturan. Perkataan Ziah sangat amat menggangu, dan membuatku galau tak keruan. Padahal aku sudah siap sedia untuk menata hati, tapi ternyata mentalku masih belum terlalu kuat.

Kakiku semakin melemas tak bertulang saat melihat seseorang yang dulu sempat memperjuangkanku tengah duduk di pelaminan dengan seorang wanita yang kecantikannya tidak bisa diragukan lagi, bahkan aku yakin keshalihah perempuan itu pun bukan kaleng-kaleng. Terlihat jelas dari baju pengantin yang dikenakannya, sangat syar'i dan sesuai dengan syariat, menutup hingga dada.

"Yakin kuat, Na?" tanya Ziah meyakinkan. Aku menatapnya linglung, lantas secara spontan anggukan kecil kuberikan.

Semakin mendekat ke arah pelaminan, aku semakin dibuat ketar-ketir takut pingsan karena tak kuat melihatnya bersanding dengan perempuan lain. Tapi ini sudah menjadi pilihan, suka tak suka aku harus menerima.

"Selamat yah, Pak atas pernikahannya." Bibirku rasanya kebas bukan main saat setelah mengatakan kalimat itu, bahkan kakiku sudah gemetar hebat, tanganku pun tak kalah gugup sampai mengeluarkan banyak keringat.

Hanya senyum tipis dan anggukan yang beliau berikan. Ternyata beginilah rasanya menghadiri pernikahan mantan, segala rasa sudah sangat campur aduk tak keruan. Jangan sampai aku pingsan dan membuat keributan di pernikahan Pak Bagas. Ya, Pak Bagas, atasanku yang juga merupakan lelaki yang pernah akan menghalalkanku.

"Selamat, Pak semoga jadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah." Penuturan Ziah yang berbaris di belakang mampu menarikku pada alam nyata, dengan cepat tanpa basa-basi aku menyalami perempuan yang berstatus sebagai istrinya, lantas segera melipir ke pojokan untuk menenangkan diri.

Aku tak memedulikan teriakan Ziah dan terus berjalan tak tentu arah. Kukira sakitnya takkan seberapa, tapi ternyata lumayan perih dan sesak juga. Dari tempatku berdiri kini, aku bisa melihat aura kebahagiaan yang terpancar jelas di kedua mata Pak Bagas.

Mencoba untuk menghalau segala gejolak dalam dada, dan memejamkan netra sejenak guna menahan cairan yang sudah mendesak minta perhatian. Sangat tak etis rasanya jika aku menumpahkan tangis di hari bahagia Pak Bagas. Sekuat tenaga aku mencoba untuk menahannya.

"Yang janjiin bahu buat jadi sandaran udah jadi jodoh orang, beda sama yang udah kasih sapu tangan, masih berstatus jomlo akut nih."

Sontak kepalaku menoleh ke sumber suara, dan betapa terkejutnya aku saat mendapati wajah cengengesan Naresh dengan tangan menyodorkan sebuah sapu tangan. Napasku memburu dengan cepat, bahkan detak jantungku pun sudah berulah di luar batas normal. Kenapa dia bisa di sini?

"Jadi mau pilih yang mana, Teh?"

Suaraku tercekat di kerongkongan, bahkan aku tersedak ludah sendiri karena saking kaget dan tak percayanya. Sudah sekitar tiga bulan tak bertemu dan pada saat kembali dipertemukan malah di acara nikahan. Sungguh sangat di luar dugaan.


Assalamualaikum semuanya🤗
Alhamdulillah naskah ini bisa aku selesaikan juga. Terima kasih Kak rachmahwahyu selaku founder dari 300days_challenge. Terima kasih juga untuk teman-teman di grup 300DC, dari mulai Periode 1-6. Dan untuk kalian pembaca setia cerita ini, tanpa kalian aku bukanlah apa-apa. Terima kasih atas dukungannya, vote, serta komennya😊

Sampai bertemu di cerita baru aku yang lainnya yah. Kuharap kalian suka dengan ending yang aku sajikan. Boleh minta kesan, serta kritik dan sarannya?🤗

Tunggu project kolab pertama aku sama Khia_fa yah. Terima kasih wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh (•‿•)

Sequel?

ExtraPart?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top