20 | Rumah Sakit Jiwa [Part 2]

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Surga kamu ada di bawah telapak kakinya, bukan pada perusahaan yang hanya memberikan kamu kesenangan dunia berupa uang, kekayaan, dan juga kekuasaan."

Dia berjalan ke arah nakas, mengambil sebuah bingkai foto dan menyerahkannya padaku. "Aku Naresh Mahaprana, adik dari Nareswara Mahaprana, calon suami Teh Rina yang meninggal karena kecelakaan."

Tanganku seperti kehilangan tenaga, dan tanpa dapat dicegah bingkai itu jatuh tersungkur ke lantai begitu saja. "Semenjak kepergian Bang Ares Mamah harus dirawat di sini," katanya seraya memungut serpihan kaca yang sudah berserakan dan hancur tak terbentuk.

Aku memilin ujung jilbab yang tengah kukenakan. Aku tak tahu nama dan wajah pemuda yang hendak Abi jodohkan itu, bahkan aku pun baru menyadari bahwa dia masih memiliki seorang adik. Dan lebih parahnya lagi wajah Ares dan juga Naresh memiliki kemiripan. Apa ini yang menyebabkan Tante Sukma memanggil Naresh dengan sebutan Ares?

"Apa maksud kamu menunjukkan ini sama aku?" tanyaku takut-takut, aku khawatir jika kehadirannya hanya untuk balas dendam saja. Hidupku sudah hancur, dan jika kembali ditambah lagi dengan masalah ini, entah akan apa yang terjadi nanti.

"Teteh tenang aja, aku gak niat buat macam-macam, apalagi balas dendam seperti yang Teteh pikirkan," tuturnya yang membuatku semakin takut tak terkendali.

"Kamu bisa baca pikiran orang?"

Dia terkekeh dan menjawab, "Gak, cuma nebak aja, dan tahunya bener kan?" Aku hanya mampu menggeleng melihat setiap tingkah yang Naresh perlihatkan.

"Sebelum Mamah dilarikan ke sini, beliau sempat kabur dan kehilangan kontrol," cetusnya dengan diselingi senyum getir, "beliau nekad mengemudikan mobil, dan kecelakaan yang menimpa Umi itu sebenarnya disebabkan oleh ulah teledor Mamah."

Persendianku rasanya sudah lemas tak bertulang. Aku hanya mampu menggigit bibir bagian bawah untuk menahan isakan. Bagaimana mungkin orang yang memiliki kelainan jiwa bisa mengemudikan mobil? Terlebih Umilah yang menjadi korban.

"Mamah tidak sakit jiwa, hanya saja psiskis dan mentalnya sedikit terganggu, oleh sebab itu beliau ada di sini. Hanya Bang Ares yang Mamah ingat, aku dan Papah memutuskan untuk memasukkan Mamah ke sini, supaya Mamah bisa kembali sehat lagi," terangnya dengan suara bergetar, aku melihat ada satu tetes air mata di sana.

"Jangan laporkan Mamah ke pihak berwajib, beliau tidak sadar akan kecelakaan itu. Maaf, Teh," imbuhnya.

"Ja ... ja ... jadi itu alasan kamu membantu biaya rumah sakit Umi dan juga ada di tempat kejadian?" tanyaku dengan suara lirih. Bayangan akan kejadian beberapa hari lalu sudah saling memenuhi pikiran.

Dia mengangguk. "Aku dan Papah mengikuti Mamah dari belakang, saat kecelakaan itu terjadi Papah mengejar mobil yang Mamah kendarai, sedangkan aku membantu Teteh membawa Umi ke rumah sakit."

"Abi tahu masalah ini?" Naresh menggeleng lemah.

Inilah yang aku khawatirkan, Abi berkawan dekat dengan ayahnya Ares dan juga Naresh. Apa jadinya jika beliau tahu akan fakta ini. Kenapa masalah demi masalah saling berdatangan, dan membuat kepalaku pusing tak ketulungan.

Untuk persoalan kemarin saja belum tuntas dengan sempurna, dan kini ditambah lagi dengan masalah baru yang pasti akan semakin memperunyam semuanya.

"Bang Ares mencintai Teteh, tapi Mamah gak memberi restu karena masa lalu kedua orang tua Teteh," jelas Naresh sangat amat mengejutkan. Apa yang dia tuturkan sangat berlainan dengan apa yang Tante Sukma ungkapkan.

"Bukannya waktu Tante Sukma sama Om Anwar ke rumah, mereka baik-baik aja, gak menunjukkan kalau beliau gak setuju sama perjodohan itu," sanggahku.

"Awalnya setuju, tapi pada saat Papah menjelaskan akan masalah internal keluarga Teteh, Mamah langsung menentang dan gak mau meneruskan perjodohan," tuturnya yang berhasil membuatku linglung.

Dia merogoh saku celana jeans-nya, menyerahkan sebuah benda berbentuk hati dengan warna merah yang mendominasi. "Sebelum kecelakaan itu terjadi Bang Ares ingin memberikan cincin ini sama Teteh. Mamah melarang dan marah besar, tapi Bang Ares gak mempedulikan, dia nekad buat pergi ke rumah Teteh. Dan di pertengahan jalan Bang Ares mengalami kecelakaan, mobilnya hilang kendali, karena pecah ban, terus lagi diperparah dengan kondisi rem yang blong."

"Kamu bohong yah, mana bisa seperti itu. Aku aja belum pernah bertemu dengan kakak kamu, lagi pula kita tidak saling mengenal. Mustahil kalau kakak kamu itu mencintai aku. Jangan mengada-ada kamu!"

Yang Naresh ungkapkan pasti sebuah kebohongan. Tidak mungkin ada pria yang bisa melabuhkan hati padaku dengan sebegitunya, bahkan sampai nekad untuk melanggar perkataan ibunya sendiri. Itu sangatlah tidak mungkin, belum lagi kondisiku yang tak bisa diterima ini. Sudah banyak pria yang kabur pada saat tahu akan statusku yang sebenarnya, dan kurasa Ares pun seperti itu juga.

Dia tertawa pelan dan berujar, "Buat apa juga aku bohong. Dosa, Teh. Bang Ares tahu Teteh dari Papah. Beliau sangat gencar dan bersemangat untuk menjodohkan Teteh dan Bang Ares, kata Papah Teteh mantu idaman."

Aku tersedak ludahku sendiri saat mendengar dua kata terakhir yang pemuda itu lontarkan. Ini terlalu mengejutkan, dan cukup berhasil membuatku jantungan.

"Ares."

Kegiatan kami sedikit terganggu karena suara Tante Sukma, dengan cepat Naresh menghampiri Tante Sukma. Dari pancaran matanya aku bisa melihat ketulusan dan kasih sayang yang begitu besar.

"Mamah perlu sesuatu? Maaf hari ini Ares gak bawain puding kesukaan Mamah, besok Ares ke sini lagi deh," katanya begitu riang. Namun tak mendapatkan tanggapan apa pun selain kata 'Ares'.

"Ares di sini, gak bakal pergi ke mana-mana kok," cetusnya sedikit terdengar pilu. Kurasa itu sangat menyakiti hatinya, dia harus berpura-pura menjadi orang lain, semua itu dia lakukan untuk kesembuhan ibunya.

Hatiku sangat amat sesak melihat cara Ares yang begitu sabar dan penuh perhatian dalam memperlakukan Tante Sukma. Aku belum mampu sepertinya, bahkan aku dengan tega melukai hati Umi.

"Jangan nangis di sini, Na, gak enak," pinta Ziah dengan tangan mengelus lembut punggungku. Aku hanya mengangguk, dan segera menghapus kasar cairan bening tak tahu diri ini.

Pandanganku jatuh pada benda yang tadi Naresh berikan, membukanya dengan tangan bergetar dan aku cukup terkejut saat melihat sebuah cincin bermata satu, serta kalung liontin berinisial huruf 'N'. Dengan cepat aku kembali memasukkan perhiasan itu. Meraup habis wajahku yang sudah kembali sembab karena air mata.

"Ares harus pulang dulu, besok pasti ke sini lagi. Mamah baik-baik yah." Perkataan Naresh mampu mengalihkan perhatianku. Dengan khidmat dia mencium punggung tangan Tante Sukma dan memberikanku kode untuk segera keluar dari ruangan ini.

Aku menatap penuh kasian pada keadaan Tante Sukma, beliau memang sudah berlaku kurang ajar padaku, bahkan menghinaku dengan membabi buta. Tapi melihat kondisinya yang sekarang sangat amat membuatku menaruh rasa iba yang begitu besar. Bagaimanapun aku ikut andil, sadar tak sadar akulah yang membuatnya seperti ini.

"Kenapa gak dirawat di rumah aja sih Mamah kamu? Kasian beliau kalau harus mendekam di tempat seperti ini. Bukannya sembuh, yang ada malah tambah parah," saran Ziah saat kami berjalan menuju parkiran.

"Aku dan Papah harus mengurus perusahaan, gak ada waktu banyak buat rawat Mamah. Belum lagi kalau tiba-tiba Ngamuk, aku takut kecelakaan yang terjadi pada Umi akan menimpa yang lain juga," terangnya.

"Satu orang tua bisa mendidik, mengurus, dan merawat banyak anak. Tapi banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang tua. Surga kamu ada di bawah telapak kakinya, bukan pada perusahaan yang hanya memberikan kamu kesenangan dunia berupa uang, kekayaan, dan juga kekuasaan," sela Ziah begitu tegas.

Jika sudah menyangkut orang tua Ziah begitu sensitif, dia tak mendapatkan kasih sayang langsung dari kedua orang tua kandungnya. Sedari kecil dia dibesarkan di panti asuhan, dan pada saat usianya menginjak 12 tahun barulah dia mendapatkan orang tua angkat. Oleh sebab itulah dia begitu menghormati serta memuliakan orang tua sambungnya, bahkan pada Umi dan Abi pun dia melakukan hal yang serupa.

"Papah udah gak muda lagi, Teh, hanya aku yang beliau harapkan untuk bisa meneruskan bisnis keluarga. Kalau Bang Ares masih ada aku pun gak akan pernah mau terjun ke dunia bisnis Papah. Aku gak suka!"

Ziah menghela napas berat. "Seharusnya masalah seperti ini bisa dibicarakan lagi. Manusia memang seperti itu, dunia akan selalu jadi prioritas utama. Allah janjiin surga yang kekal di akhirat, tapi malah milih dunia yang fana. Aneh!" ucapnya lantas masuk ke dalam mobil.

"Jangan terlalu ambil pusing omongan Ziah, udah biasa kalau dia ngomel-ngomel," kataku sedikit tak enak hati.

"Oh iya ini, maaf aku gak bisa terima pemberian kakak kamu. Aku gak berhak untuk menyimpannya," imbuhku.

Naresh menggeleng kuat. "Itu amanah dari Bang Ares, aku gak mau ambil hak orang lain. Kalau Teteh gak terima, berarti Teteh tega sama aku. Ngeri tahu Teh kalau sampai Bang Ares gentayangin aku. Emangnya Teteh mau tanggung jawab gitu?"

Saat mulutku akan menyela perkataan Naresh, suara menggelar milik Ziah sudah lebih dulu mendominasi dan itu berhasil mengurungkan niatku. Alhasil seperangkat perhiasan itu kumasukkan dalam tas.

"Lagi ghibahin aku yah? Lama amat masuknya," selidiknya saat aku baru saja menaiki mobil.

"Suuzan banget sih jadi orang."

"Bukan suuzan tapi ya buat mastiin aja. Aku takut kalau sahabatku makan daging saudaranya sendiri," sangkalnya yang kuhadiahi putaran bola mata malas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top