2 | Heboh Sendiri
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Boro-boro mikirin anak, jodoh saja belum kelihatan batang hidungnya."
Saat jam sudah berdenting di angka tujuh aku segera bergegas untuk berangkat ke tempat kerja. Abi sudah menunggu di atas motor bebeknya dan siap untuk mengantarku ke tempat tujuan. Sejak lulus sekolah dan memutuskan untuk bekerja Abi memang sudah seperti sopir pribadi yang siap antar jaga. Awalnya aku menolak dan lebih memilih untuk menggunakan angkutan umum, tapi Abi melarang dan begitu berlebihan dalam menjagaku.
Cara memperlakukan Abi dan Umi begitu beda padaku. Mereka cenderung sangat posesif dan tak mengizinkanku untuk pergi dengan sembarang orang tanpa pengawasan. Padahal aku anak sulung yang seharusnya tidak terlalu diprioritaskan. Sedangkan Riska dan Saras, mereka diperlakukan sebagaimana mestinya. Tidak terlalu dikekang tapi juga tidak dibiarkan bebas berkeliaran. Entah aku yang merasa dispesialkan atau memang benar begitu adanya.
"Bekal makan siangnya ketinggalan," ucap Umi terlihat ngos-ngosan. Aku yang akan menaiki motor langsung urung dan berjalan menghampiri Umi yang terlihat tengah mengatur napas.
"Maafin aku yah, Mi gara-gara lupa jadi bikin susah Umi," kataku tak enak hati. Di tempat kerja memang sudah disediakan makan siang, tapi karena lidahku yang tak cocok alhasil Umilah yang selalu rajin menyiapkannya.
"Gak papa, Sayang Umi juga tadi yang lupa dan malah asik nyuci baju," sahut Umi dengan belaian lembut di puncak kepalaku.
"Jaketnya mana? Kenapa gak dipake? Kalau masuk angin gimana? Kebiasaan kamu dari dulu gak pernah berubah," omel Umi yang kubalas dengan kekehan.
Aku memang paling malas jika harus mengenakan pakaian hangat berbahan tebal tersebut. Aku hanya memakai benda itu jika hujan mulai turun, atau kalau cuaca yang tidak mendukung. Jika matahari pagi sudah bersinar dengan terik seperti ini aku tak ada minat untuk menggunakannya. Gerah.
"Di tas, Mi nanti kalau hujan baru aku pake," jawabku yang beliau balas dengan gelengan.
"Harus jaga kesehatan kamu teh. Jangan karena ngerasa badan fit bisa seenak jidat kaya gitu. Mencegah lebih baik daripada mengobati," peringat Umi yang kusambut anggukan.
"Ya udah aku berangkat dulu yah, Mi assalamualaikum," pamitku seraya mencium punggung tangan beliau.
"Wa'alaikumussalam, hati-hati di jalan," sahutnya sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di kedua pipiku. Kecupan penuh sayang yang setiap pagi tak pernah beliau lewatkan.
Abi yang sudah bersiap untuk menjalankan motor dihentikan secara paksa oleh Mirza, suaminya Saras yang berlari tergopoh-gopoh dengan keringat yang sudah bercucuran. Jarak tempat tinggal Saras hanya terhalang sekitar lima rumah saja dengan kediaman Abi dan Umi.
"Aa ... Abi ... Sa ... Saras!"
"Ada apa, Nak Mirza?" tanya Abi setelah beliau turun dari motor dan aku pun mengikutinya untuk menghampiri Mirza yang masih sibuk mengatur napas.
"Itu ... Bi ... Sa ... ras ... Dia nangis ngeluh perutnya sakit," adunya yang langsung membuatku cemas bukan main.
Jangan bilang kalau bocah itu mau melahirkan? Tapi prediksi dokter mengatakan minggu depan.
"Terus sekarang Sarasnya di mana? Sama siapa?" cerocos Abi yang sepertinya sangat mencemaskan keadaan si bungsu.
"Astagfirullahaladzim ... Aku lupa malah ninggalin dia di rumah sendirian," rutuk Mirza yang membuatku geleng-geleng. Beginilah jika dua bocah yang tak mengerti apa-apa tapi sudah ngebet nikah. Baru menghadapai situasi seperti ini saja sudah panik dan kalang kabut.
"Dasar teledor! Awas kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama adik dan calon keponakanku." Setelah mengatakan kalimat penuh ancaman itu aku segera berlari untuk menyambangi kediaman Saras.
Perasaan kemarin tuh anak masih biasa saja, bahkan dia masih sempat memberiku siraman rohani hingga beronde-ronde. Tapi sekarang malah heboh sendiri sampai nangis tak jelas segala.
"Allahu Akbar kenapa kamu malah jongkok di depan pintu, Saras? Suami kamu bikin ribut di rumah Umi sama Abi itu," ocehku tak habis pikir dengan kelakuan aneh bin ajaib adik bungsuku.
Dengan hati-hati dia berdiri. Jejak air mata sangat terlihat jelas di wajahnya. "Tadi perut aku sakit, Teh tiba-tiba kenceng gitu. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk makanya aku minta Mas Mirza buat susulin Umi sama Abi," tuturnya.
"Terus sekarang gimana? Kenapa malah jongkok kaya begitu segala sih?" tanyaku beruntun.
"Aku kira tadi dede bayinya mau keluar eh tahunya gak makanya aku jongkok aja. Kata dokter itu bisa memperlancar jalan lahir, Teh," ungkapnya.
Sepertinya Saras salah mengartikan perkataan dokter kandungannya. Dokter itu menganjurkan Saras untuk melakukan kegiatan mengepel lantai dengan cara berjongkok, bukan malah jongkok ngejogrog di ambang pintu. Dasar bocah!
Aku mengembuskan napas kasar dan mengacak-acak kepalanya yang sudah sembraut tak tertutup hijab. "Kontraksi palsu kali tuh. Lain kali jangan buat heboh kaya gini, bikin orang jantungan aja kamu," omelku.
"Anak Umi mana? Cucu Umi gak brojol di sini kan? Cari mobil biar kita bawa langsung ke rumah sakit!" Aku menulikan pendengaran saat suara nyaring Umi menguar mengganggu indra pendengar.
"Saras gak papa, Umi. Tadi kayanya cuma kontraksi palsu aja," ujar ibu hamil itu dengan cengiran. Dari gelagatnya dia merasa tak enak pada Umi karena sudah membuat beliau cemas bukan main.
Umi melangkah lebih dekat ke arah Saras berada, beliau membelai perut buncit putri bungsunya. "Cucu Nenek usil banget yah sampe buat cemas semua orang. Sehat-sehat di dalam sana yah, Sayang. Nenek gak sabar pengin lihat kamu lahir," katanya saat setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di perut buncit Saras.
"Maafin Saras yah, Umi," cetus Saras dengan wajah penuh rasa bersalah.
Umi menggeleng dan mengusap surai hitam kecokelatan milik anak bungsunya. "Gak papa namanya juga anak pertama, jadi wajar kalau kalian heboh kaya gini. Tapi lain kali kalau sakitnya belum sering dan masih hilang timbul jangan heboh dulu. Pastikan kontraksinya terjadi dalam frekuensi lima sampai tujuh menit sekali, tunggu dulu sampai sekitar dua jam apakah masih berulang atau gak. Jangan lupa cek apakah sudah ada bercak darah atau belum. Jangan panik tapi langsung kabarin Umi sama Abi," tutur Umi memberikan wejangan dan arahan.
"Atau mau nginep di rumah Umi? Kalau di sini kalian cuma tinggal berdua, Umi takut kontraksinya terjadi tengah malam," imbuhnya. Semenjak menikah Saras memang langsung memutuskan untuk hidup mandiri bersama sang suami.
"Gak usah Insya Allah Saras sama Mas Mirza bisa handle semuanya," tolak perempuan itu. Dia itu tipe manusia yang gampang tak enakan dan tak mau menyusahkan orang. Tapi sekalinya minta tolong pasti bakal bikin heboh seperti sekarang.
"Kamu pergi ke rumah Saras tanpa izin dan ninggalin Azka gitu aja sendirian di kamar. Gimana kalau dia jatuh dari kasur? Ceroboh kamu gak berubah-ubah yah, Ka." Aku menoleh ke arah belakang di mana Riska dan juga Radit sedang beradu argumen. Sedangkan bayi mungil yang diberi nama Raiden Azka Pradipta itu berada dalam gendongan ayahnya.
Aku memutar bola mata malas menyaksikan drama rumah tangga kedua adikku. Yang satu heboh karena kontraksi palsu, sedangkan yang satu lagi heboh karena meninggalkan putranya begitu saja. Dua adikku itu memang ratu panik yang kelewat teledor.
"Maaf tadi aku lupa, pas tahu Saras kontraksi aku langsung lari ke sini dan malah ninggalin Azka gitu aja," tutur Riska. Rumah Saras dan Riska berseberangan jadi tak heran jika dia bisa langsung tahu perihal keadaan adiknya.
"Ceroboh!" Begitulah Radit jika sudah menyangkut masalah anak semata wayangnya. Dia sangat mencintai darah dagingnya karena memang hanya Azkalah yang bisa menjadi penerus lelaki itu.
Beberapa bulan yang lalu Radit mengalami kecelakaan lalu lintas, dan entah mengapa malah berimbas buruk pada kesehatannya. Dokter memberikan vonis mutlak bahwa lelaki itu akan kesulitan untuk kembali mendapatkan keturunan. Dan mungkin karena hal itu pulalah dia begitu ketat dalam menjaga Azka.
"Sudah ... sudah ... Abi pusing denger kalian ribut. Selesaikan masalah kalian di rumah masing-masing," lerai Abi. Beliau itu memiliki riwayat penyakit darah tinggi, dan sekarang ditambah puyeng dengan tingkah polah anak dan menantunya. Semoga saja tensi beliau tidak kembali melonjak.
"Ayo Nak kita berangkat sekarang. Kamu pasti telat masuk kerja," ucap Abi seraya menggandeng tanganku.
Aku menurut, tapi sebelumnya aku berpamitan terlebih dahulu pada Umi yang terlihat masih sibuk memberikan beragam wejangan pada Saras dan juga Mirza. Jika aku berada di posisi Umi yang memiliki tiga orang anak ber-gender perempuan, pasti aku akan keder. Allahu Akbar sepertinya otakku sudah tidak beres. Boro-boro mikirin anak, jodoh saja belum kelihatan batang hidungnya. Aku segera menggeleng untuk mengenyahkan pemikiran konyol tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top