19 | Rumah Sakit Jiwa [Part 1]
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Katanya calon imam, mana ada makmum dan imam duduk berdampingan."
Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, dan hal itu seakan dijadikan senjata serta dianggap sebagai sebuah kewajaran saja. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa Allah itu Maha Pemberi Maaf, Dia selalu memberikan maafnya dengan cuma-cuma, sukarela. Seharusnya hal ini kita jadikan sebagai bahan pembelajaran, agar kita tak lagi mengulang-ulang kesalahan. Tak malukah?
Pada saat akan melakukan sebuah kesalahan yang seharusnya kita ingat itu bukan Allah Sang Maha Pemberi Ampunan, melainkan ingatlah akan azab-Nya yang begitu pedih menyakitkan. Supaya kita bisa sadar dan berpikir ulang jika akan berbuat hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Berkacalah, berpikirlah, gunakan akal dengan dibarengi iman, agar tak terjerumus pada lubang kedukaan.
Aku bukanlah wanita shalihah yang pandai akan ilmu agama, bukan juga keturunan alim ulama, bahkan aku ini termasuk dalam keturunan penzina, ahli neraka. Surga tak akan sudi untuk menampung hamba sepertiku, rasanya tak pantas dan takkan pernah sebanding dengan amalanku yang tak seberapa ini. Gemar bermaksiat, dan seringkali tidak taat.
Telebih jika mengingat akan perlakuan burukku pada Umi dan Abi, sungguh aku ini anak yang begitu tak tahu diri. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri Umi dihantam mobil berkecepatan tinggi, lantas harus rela terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU, dan yang lebih parahnya lagi hidup beliau hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit.
Terkait kesehatan Abi yang kian menurun pun ikut menambah ruet kerja otakku. Jika saja semua yang terjadi kini bisa sedikit kurubah dan perbaiki, dengan lapang hati aku akan menggantikan posisi Umi dan Abi. Aku merasa sangat amat berdosa padanya, menyalahkan beliau akan takdir yang harus kujalani. Menghakimi Abi, bahkan lontaran kata bernada tinggi sudah sering kuberi.
Pintaku hanya satu, berikan Umi kesembuhan agar bisa kembali membuka mata, dan dengan sekuat tenaga aku akan berusaha untuk membahagiakannya. Jangan sampai Dia mengambil Umi di waktu seperti ini, aku belum bisa berbakti padanya, bahkan di akhir sisa hidupnya aku begitu tega menjadi perantara tragedi mengerikan itu.
Saat ini aku tengah berada di ruang tunggu ICU dengan Ziah yang berada di sisiku, menunggu dokter yang tengah berjuang untuk menyelamatkan nyawa Umi. Aku takut, sangat amat takut. Kecelakaan yang beliau alami sangatlah parah, terdapat banyak luka yang tersebar hampir di seluruh tubuh, kehilangan banyak darah, dan mengalami cedera otak karena benturan yang terlampau kuat.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Abi saat dokter baru saja keluar dari ruang perawatan Umi. Seharusnya beliau istirahat, tapi karena cemas akan keselamatan Umi jadi beliau memaksakan diri. Kurasa Abi memang benar-benar mencintai dan menyayangi Umi dengan sepenuh hati, hanya saja caranya dulu tak Allah ridai.
Aku semakin dibuat cemas saat melihat aura tak biasa yang dokter tampilkan. Aku takut apa yang hendak beliau sampaikan adalah sebuah kedukaan.
"Ibu Miranda masih harus menerima banyak pemeriksaan lagi, Bapak mohon bersabar, kami akan memberikan pelayanan terbaik untuk kesembuhan pasien," terangnya yang membuat tubuhku lemas bukan main. Tak ada perubahan signifikan yang akan kesehatan Umi, rasanya aku sudah frustrasi sendiri.
"Apa ibu saya bisa disembuhkan, Dok?" seloroh Riska yang masih terlihat nyaman berada dalam rengkuhan suaminya.
Dokter itu mengukir senyum tipis, dan mengangguk singkat lantas berpamitan. Aku menatap nanar kepergiannya yang tak begitu memberi jawaban memuaskan.
"Boleh minta waktunya sebentar, Teh." Aku menoleh ke arah Naresh yang berdiri agak jauh di sebelah kiriku.
"Buat apa?"
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, penting," jawabnya yang mengundang rasa penasaran.
"Modus!" Mendapati suara lain dari arah sayap kanan aku pun melirik ke arahnya, di sana berdiri Pak Bagas yang tengah bergaya songong dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Dua lelaki itu selalu saja merecoki hidupku. Entah apa tujuan mereka, dan aku sangat amat risi akan kehadiran keduanya. Aku ingin fokus pada kesembuhan Umi dan juga masalah yang tengah menghimpit keluargaku. Tapi dengan tak tahu malunya mereka malah selalu ikut campur.
Naresh berdecih pelan dan berujar, "Dasar Pak Tua! Kalau cemburu gak bisa lihat sikon. Keliatan banget udah ngebet kawin!"
Mataku membulat sempurna saat mendengar penuturan Naresh yang begitu tak sopan, dan tak enak didengar. Dasar bocah!
Pak Bagas hanya diam tak berkutik sedikit pun. Aku heran dengan tindakannya yang lebih memilih untuk tak menghiraukan ocehan Naresh.
"Yokk, Teh, Mamah aku udah nunggu dari tadi," katanya dengan alis yang dinaik-turunkan.
"Na kayanya tuh bocah suka deh sama kamu," bisik Ziah yang langsung kuhadiahi pelototan. Aku tak ingin memikirkan perihal jodoh, masalah hidupku saja belum menemukan titik terang.
"Jangan main bisik-bisik tetangga, Teh," cetusnya yang membuatku dan Ziah tersentak kaget. Dasar titisan cenayang.
"Ada kepentingan apa kamu sampai harus repot-repot jadi penguntit?"
Dia terkekeh pelan sebelum akhirnya berujar, "Teteh lupa yah kalau aku ini yang bawa ibu Teteh ke rumah sakit. Bahkan aku juga yang urus semua bia—"
"Bi," potongku cepat dan segera meminta penjelasan Abi.
"Nak Naresh yang sudah membantu biaya rumah sakit Umi," terangnya yang membuatku kaget bukan kepalang.
"Ayo ke bank sekarang, aku ganti semua uang kamu," kataku. Masih ada sedikit tabungan yang kumiliki, dan kurasa itu bisa cukup menutupi hutang yang pemuda itu berikan. Jika pun kurang, aku akan berusaha untuk mencari dana lain. Aku tak ingin berhutang budi padanya.
"Tidak usah, saya yang akan ganti uang anak itu," sanggah Pak Bagas ikut campur dalam perbincangan.
Pemuda songong itu bersiul tak tahu aturan. "Mau jadi pahlawan kesiangan yah, Pak Tua," katanya begitu ringan tanpa beban.
"Ikut aku, Zi," pintaku yang dihadiahi kerutan bingung olehnya. "Mau ke mana?"
Aku mengedikkan bahu acuh. "Ngikutin tuh bocah songong," kataku sedikit sebal.
"Sekarang aja Teteh bilang songong, kalau besok sayang aku gak tanggung jawab," cetusnya yang berhasil membuat bulu kudukku meremang.
Aku dan Ziah berjalan mengikuti langkah Naresh yang berjalan di depan kami, pemuda itu tak ingin menguntit di belakang. Katanya akan lebih baik dia di depan, dia seorang lelaki, calon imam dan pemimpin, tidak pantas jika harus menguntit di belakang perempuan. Suka-suka dia sajalah, aku tak ingin peduli.
"Duduk di depan napa, Teh, aku bukan supir kalian," protesnya saat aku dan Ziah sudah duduk santai di jok penumpang.
"Katanya calon imam, mana ada makmum dan imam duduk berdampingan," celetuk Ziah yang mendapat dengkusan kasar dari pemuda 25 tahun itu.
Mataku hampir meloncat dari tempatnya saat melihat pamplet bertuliskan 'Rumah Sakit Jiwa Nusa Persada'. Untuk apa dia membawaku ke tempat orang-orang kurang waras?
"Kamu gila yah, buat apa ajak kita ke sini?" omelku, tapi dia tak menanggapi dan lebih memilih untuk tetap berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Bulu kudukku meremang bukan main saat berpapasan dengan beberapa pasien dari rumah sakit jiwa ini. Dasar bocah sableng! Kalau mau gila jangan ajak-ajak orang lain. Gila aja sendirian sana!
Aku dan Ziah saling berbisik dan mencoba untuk mencari jalan keluar agar bisa terbebas dari Naresh, tapi hal itu kami urungkan karena terlalu banyak orang gila yang bertebaran. Bukannya selamat sampai rumah, yang ada kami akan mengenaskan di tangan para pasien.
"Masuk, Teh," katanya setelah membuka lebar-lebar pintu salah satu ruangan yang berada di paling pojok.
"Kamu gak akan berbuat macam-macam, kan?" ujar Ziah penuh selidik. Dia malah terkekeh pelan lantas berucap, "Gak tenang aja, paling cuma jadi umpan empuk orang gila doang."
Rasanya aku ingin menimpuk kepala anak itu dengan tongkat baseball, atau bahkan aku pun akan melakban mulutnya dengan perban.
Aku dibuat terpaku saat melihat seorang wanita paruh baya berseragam rumah sakit jiwa, yang tengah menatap kosong ke arah jendela. Beliau terduduk di brankar, dengan kaki yang saling menjuntai.
"Mah."
Aku dan Ziah saling berpandangan bingung saat mendengar dengan jelas Naresh memanggil wanita itu dengan sebutan 'Mah'. Jangan bilang kalau beliau itu ibunya yang tadi sempat dia bicarakan?
"Ares," katanya dengan pandangan kosong. Dan aku dibuat membatu saat melihat dengan jelas wanita gila itu. Dadaku bergemuruh hebat, deru napasku pun sudah memburu tak terkendali.
"Teteh kenal Mamah aku kan?" Lututku lemas bukan main saat mendengar kalimat tanya yang Naresh ungkapkan.
"Ke ... ke ... kenapa Tante Sukma bisa ada di sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top