17 | Pelik

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kehadiranku memang karena sebuah kesalahan, jadi tak heran jika banyak mengundang permalasahan."

Kakiku kaku bukan main, deru napas pun sudah sangat di luar batas normal. Di sana berdiri Riska dengan wajah datar nan sangar. Entah apalagi yang akan perempuan itu lakukan. Jika hanya sekadar ingin melontarkan cacian aku akan menerimanya dengan penuh kelapangan, walaupun aku sendiri tak yakin akan bisa tetap tegar. Aku belum siap untuk bertemu dengannya.

Ziah yang berada di sisiku dengan sekuat tenaga menggenggam tangan, dia seakan ingin menguatkan bahwa dirinya akan selalu menemani di segala situasi. Tapi jujur saja itu tidak cukup, rasa takut masih sering membayangi. Andaikan tadi tak ada drama bersama Pak Bagas, mungkin aku takkan bertemu dengan Riska.

Langkahnya semakin mendekat, dan itu berhasil membuatku berjalan mundur secara teratur. Namun dengan cepat Ziah menahan, dan memintaku untuk kembali tenang dalam menghadapi kondisi tegang ini. Menarik napas panjang dan membuangnya kasar, lalu memejamkan netra menahan sesuatu yang sudah mendesak tanpa diminta.

"Teh Riska mau apain Teh Rina lagi?!" Tanpa diduga Saras datang dari arah belakang Riska dan segera mencekal lengan kakak keduanya itu.

Aku semakin dibuat cemas saat melihat kedua adikku yang tengah bersitegang. Seharusnya aku tak berada di sini, seharusnya aku tak menuruti permintaan Saras, seharusnya aku tak lahir ke dunia ini. Kehadiranku memang karena sebuah kesalahan, jadi tak heran jika banyak mengundang permalasahan. Kenapa Allah tak cabut saja nyawaku sekarang?

Dengan kasar Riska mengempaskan tangan Saras sampai kaki perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu anak kecil. Gak usah ikut campur!"

"Teteh yang seharusnya gak usah ikut campur. Masalah ini gak ada urusannya sama kita, biarkan Umi dan Abi yang menjelaskan semuanya!"

Tangan Riska menunjuk dengan begitu sadis ke arah Saras. "Umi kritis. Jangankan untuk memberi kita penjelasan, untuk hi—"

"Jaga ucapan kamu, Riska!" Dengan penuh keberanian aku menyela ucapan Riska. Aku tak suka mendengar perkataan kasarnya, Umi pasti akan sembuh. Aku yakin itu.

Dia tertawa dengan nada yang sangat amat merendahkan. "Kenapa? Bukannya ini kan yang Teteh mau? Umi mati, ninggalin kita," katanya dengan nada tegas tapi bergetar. Aku tahu dia tengah menahan tangis yang siap untuk diledakkan.

"Kalau emang itu yang Teteh mau, Teteh gak akan pernah bersedia untuk mendonorkan darah Teteh buat Umi."

"Kenapa bukan Teteh aja yang sekarang terbaring di rumah sakit? Kenapa bukan Teteh aja yang jadi korban tabrak lari? Umi salah apa sama Teteh? Kenapa Teteh sampai hati buat Umi celaka!"

Sekuat tenaga aku menahan gemuruh yang sudah melonjak dalam dada, kedua tanganku pun sudah terkepal dengan sangat kuatnya. "Kenapa gak kamu aja yang bunuh Teteh?!"

"Cukup, Teh! Cukup!" pinta Saras yang sudah banjir air mata dan terduduk lemah di lantai rumah sakit.

Dengan sigap Ziah membantu Saras untuk sedikit menepi, aku sangat iba pada adik bungsuku itu. Dia terlihat pucat dengan kantung mata yang begitu tebal, belum lagi kondisinya yang masih harus menyusui. Umurnya masih terlalu muda untuk terlibat masalah sepelik ini.

"Kamu menghakimi Teteh seakan Tetehlah dalang dari masalah ini. Apa kamu pernah mikirin perasaan Teteh? Sehancur apa Teteh saat tahu kebenaran ini. Kamu kira itu keinginan Teteh?!"

Pecah sudah segala kemelut hati yang selama ini kupendam. Riska begitu ringan mengeluarkan banyak penghakiman dan juga penghinaan, tanpa pernah berpikir bagaimana perasaanku sekarang. Ini bukan keinginanku, jika pun bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak hadir di dalam rahim Umi.

Aku menunjuk tepat di bola matanya. "Kamu terlalu percaya diri. Apa kamu yakin bahwa kamu anak yang sah di mata agama dan juga negara? Apa jangan-jangan kita senasib!" Aku menyeringai dan itu membuat kedua tangannya terkepal hebat.

"Jangan pernah samain aku sama Teteh. Kita beda!"

Aku tertawa hambar guna menyamarkan rasa sakit yang kian menghadang. "Umur kita emang terpaut cukup jauh, tapi kita gak pernah tahu tentang masa lalu Umi dan Abi bukan? Bisa saja mereka menikah pada saat kondisi Umi tengah mengandung. Pernikahan itu jelas melanggar aturan Allah, dan setiap hubungan yang Umi dan Abi lakukan bukan bernilai ibadah, melainkan dosa besar. Bukan hanya nasab Teteh saja yang saat ini terombang-ambing, tapi kamu juga ikut andil, Riska!"

Ibu satu anak itu diam tanpa kata, rahangnya semakin mengeras menunjukkan tanda-tanda kemarahan serta kebencian. "Tapi aku dinikahkan langsung oleh Abi, pernikahanku sah di mata agama dan juga negara." Dia masih saja menyangkal, padahal aku yakin dia pun meragukan perkataannya barusan.

"Apa kamu yakin? Abi pun hendak menikahkan Teteh dengan tangannya sendiri, beruntung Allah masih melindungi. Dia telah membongkar rahasia besar yang Umi dan Abi pendam. Lalu apa kabar anak kamu, Ris? Apa dia juga akan bernasib naas seperti Teteh kamu ini. Berstatus sebagai anak tanpa ayah, dan juga dicap sebagai anak haram!"

Dia memukul tubuhku dengan membabi buta, dan aku sama sekali tak memberikan perlawanan. Biarkan saja dia puas menyakiti, toh hanya sekadar luka fisik saja. Hatiku sudah kepalang hancur lebur tak terbentuk.

"Teteh jahat. Teteh gak punya hati. Azka punya ayah, gak kaya Teteh!" Dia terus melancarkan aksinya, dan yang aku lakukan hanya mencoba untuk memberikan dia rengkuhan. Aku memang kesal dan marah padanya, tak terima akan perlakuan buruknya, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa dia adalah adikku. Sebagai seorang kakak, keinginan untuk menjaga dan melindungi itu akan selalu ada, dan itulah yang saat ini tengah kurasakan.

Bukan hanya aku saja yang nasibnya terombang-ambing, kedua adikku pun sama, bahkan parahnya mereka sudah berkeluarga serta memiliki keturunan. Apa jadinya jika sampai asumsiku ini adalah sebuah kebenaran, aku tak ingin kedua adikku merasakan sakit yang sama seperti yang saat ini tengah menghimpitku. Bahkan aku tak rida jika hal buruk ini pun harus menimpa keponakanku. Aku tak yakin mereka akan kuat dan bisa berlapang dada, karena aku sendiri pun belum mampu untuk berdamai dengan kenyataan ini.

Kekuatannya mulai sedikit melemah, dan hal itu membuatku lebih leluasa untuk memenangkan Riska. Hanya isakan pilu yang keluar dari sela bibirnya, dan jujur itu sangat mengiris hatiku. Aku tak boleh menangis. Aku tak boleh cengeng. Kedua adikku masih memerlukanku. Jangan lemah Nisrina. Kamu kuat.

"Teteh tahu kamu marah, Teteh tahu kamu kecewa, tapi jangan biarkan emosi menguasai diri kamu," lirihku dengan suara bergetar menahan tangis.

Aku memberikan bisikan penuh ketegaran serta kata-kata positif penuh dukungan, tapi pada kenyataannya aku tak mampu merealisasikan apa yang sudah kuucapkan. Emosi masih sering menguasai, bahkan tak segan memprovokasi agar aku segera mengakhiri hidup ini. Berkata memang sangatlah mudah, tapi mempraktikkannya sangatlah susah.

"Aku takut Umi kenapa-napa, aku takut Umi pergi ninggalin kita, aku belum siap, Teh. Gak akan pernah siap." Aku semakin merengkuhnya dengan penuh kehangatan.

Aku tahu apa yang tengah dikhawatirkannya, aku merasakan apa yang saat ini tengah dia rasakan, dan aku pun harus bisa berdamai dengan kenyataan. Kedua orang tuaku memang salah, begitu pun denganku yang terlalu gampang menyimpulkan sesuatu yang masih belum terlalu jelas kebenarannya. Jika saja aku mampu berpikir dewasa, mungkin tidak akan seperti ini jalan ceritanya.

"Jangan doktrin otak kamu dengan hal-hal yang buruk. Ucapan adalah doa, kita harus berkata yang baik-baik untuk kesembuhan Umi," tuturku sebisa mungkin menenangkannya.

"Tapi, Teh—" Perkataan Riska menggantung di udara saat melihat kedatangan Radit dan juga Mirza yang datang dengan sangat tergesa-gesa. Seketika pikiran buruk sudah saling berkeliaran memenuhi pikiran.

"Abi pingsan!" Seketika rengkuhanku pun terlepas saat mendengar suara Radit. Dengan tanpa diminta kedua adikku pun menghampiri suaminya, sedangkan aku hanya mampu gigit jari dan menunduk untuk menahan tangis yang siap untuk diluncurkan.

Tanpaku mereka masih bisa bertahan, ada suami dan anak yang menopang serta memberikan dukungan. Tapi lihatlah aku sekarang? Hanya seorang diri saja. Senyum getir penuh akan kesakitan itu terbit tanpa diminta. Ziah yang entah sejak kapan sudah kembali berada di sisiku, dengan penuh kehangatan memberikan pelukan. Hanya dia yang saat ini selalu ada di sampingku, hanya dia yang benar-benar bisa memahamiku. Seharusnya aku bisa lebih bersyukur lagi, tidak usah mengharapkan hal yang tidak-tidak dan mustahil untuk kugapai.

"Jika saya halal untuk kamu, dengan senang hati saya akan memberikan bahu untuk bersandar."

Kepalaku terangkat saat mendapati suara Pak Bagas yang terasa sangat menenangkan serta tepat sasaran, hingga tanpa sadar membuatku banyak berangan-angan. Enyahkan perasaan tak halal ini. Aku tak berhak untuk menaruh perasaan lebih padanya. Beliau berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dariku.

"Sapu tangan dari aku lebih berguna buat hapus ingus sama air mata, Teh, bahu mah apaan? Keras, gak enak," celetuk pemuda pemilik nama Naresh Mahaprana itu dengan cengiran. Sejak kapan dia berada di sini? Apa kepentingannya?

"Mirza, Radit, sekarang Abi di mana?" tanya Ziah dengan suara tenang. Apa yang dipertanyakan Ziah sedikit bisa mengalihkan fokusku agar tidak termakan mulut-mulut manis dua pria kurang kerjaan itu.

"Di ruang perawatan, Teh, tadi beliau shock saat melihat mesin EKG Umi yang hanya berupa garis lurus," jawab Mirza yang langsung membuat tubuhku lemas bukan main.

Kedua orang tuaku masih dalam penanganan, dan tanpa tahu malunya aku malah berdebat tanpa tahu aturan. Mereka membutuhkan anak-anaknya, tapi kami malah saling adu urat dan seakan melupakan keberadaan mereka yang dalam keadaan darurat. Aku memang anak yang tak tahu diri, hingga sampai hati menelantarkan mereka sampai seperti ini.

Note :

1. Menikahi wanita yang tengah hamil bagaimana hukumnya?

Ada dua pendapat untuk hal itu. Pendapat pertama boleh bila yang menikahi itu adalah lelaki yang telah menzinahinya, tapi pendapat ini lemah. Pendapat kedua menyatakan tidak boleh menikahi wanita hamil meskipun dialah yang menghamilinya, Ulama-ulama yang bergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, "Dan bila dia laki-laki yang menzinahinya setelah bertaubat ingin menikahinya maka wajib baginya menunggu wanita beristibra dengan satu kali haid sebelum melangsungkan akad nikah. Bila ternyata si wanita dalam keadaan hamil maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengan kecuali setelah melahirkan kandungannya. Sebagai pengalaman hadits Nabi melarang seseorang menuangkan air maninya di persemaian orang lain." [Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyah 9/72].

2. Di dalam adegan di atas ada kecemasan Nisrina bahwa Umi dan Abinya menikah pada saat dia masih dalam kandungan. Karena setahu Nisrina, jika menikah dalam keadaan hamil kurang dibenarkan dan akan lebih baik jika menikah pada saat Uminya sudah melahirkan. Maka dari itu muncullah pemikiran bahwa setiap Umi dan Abinya berhubungan, nasib kedua adiknya pun dipertanyakan. Apakah termasuk ke dalam perzinahan? Atau dihalalkan karena sudah melangsungkan pernikahan.

Ada yang ingin dipertanyakan lagi? Silakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top