13 | Semakin Rumit
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dengan berat hati aku melangkah pergi, biarkan mereka puas menghakimi, toh aku memang patut untuk diadili."
Langkahku terseok-seok dengan derai air mata yang tak kunjung surut. Mengabaikan segala teriakan yang berasal dari Umi, Abi, serta Ziah yang tengah mengejar. Ada sedikit rasa cemas saat mengingat keadaan Ziah yang tengah hamil muda, tapi egoku menentang dan terus meminta untuk semakin mempercepat laju tungkai. Aku terus berjalan cepat dan sesekali menengok ke arah belakang, dan aku dibuat membatu saat ada sebuah mobil yang menghantam keras tubuh Umi hingga terpental jauh serta mengeluarkan banyak darah segar.
Dengan kaki yang melemas seperti jelly, aku pun berlari untuk menghampiri beliau yang sudah tak sadarkan diri. Di sana sudah ada Abi yang tengah berusaha untuk membangunkan Umi yang sudah dalam keadaan bermandikan darah. Ziah hanya mampu berjongkok dengan bibir bergetar menggigit kuku tangan. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis serta berusaha untuk memulihkan kesadaran Umi.
"Umi!" Suaraku tercekat di kerongkongan, terlebih saat mendapati tangan Abi yang membelai lembut punggungku, beliau seakan ingin memberikan ketenangan bahwa semuanya akan kembali baik-baik saja.
Warga sekitar mulai berdatangan, dan sibuk memotret sana-sini. Jika aku tak ingat pada Umi yang harus segera mendapatkan pertolongan, sudah kuhabisi mereka semua. Bukannya ikut mencari bala bantuan, ini malah sibuk dengan gawai. Apakah manusia di negeri ini sudah minim akan rasa simpati serta empati?
"Pakai mobil saya, Pak." Kepalaku terangkat saat mendapati sosok pemuda berpakaian santai dengan kaus oblong berlengan tiga perempat serta celana jeans bolong-bolong.
Tanpa banyak berpikir lagi Abi segera membawa tubuh Umi untuk memasuki mobil, aku hanya mampu diam dan mematung melihat semua bekas kecelakaan. Pelaku biadab yang tak memiliki rasa kemanusiaan itu pergi tanpa rasa bersalah sama sekali, meninggalkan Umi yang sudah kehilangan banyak darah.
"Masuk, Teh." Aku tersentak saat pemuda itu dengan senyum lebar membukakan pintu samping kemudi. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Di jok belakang sana Umi sudah terbaring lemah dengan kepala berada di atas pangkuan Abi, dan kaki yang juga berada di pangkuan Ziah. Dadaku bergemuruh hebat, takut sesuatu yang buruk menimpa beliau. Namun Fokusku sedikit teralihkan saat melirik ke arah Ziah, dia seperti tengah menahan rasa sakit.
"Kamu kenapa, Zi?" tanyaku dengan suara bergetar. Dia hanya memberikan senyum tipis dan berujar, "Gak papa."
Aku mengalihkan pandangan ke arah samping yang menampilkan suasana malam kota Bandung. Andaikan tadi aku tak berlaku seperti anak kecil, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Umi akan baik-baik saja, tidak harus menjadi korban tabrak lari. Ya Allah, kenapa ujian ini datang secara tiba-tiba dan beruntun? Tak bisakah berikanku waktu sejenak untuk rehat.
Batinku belum sembuh dengan benar, dan kini aku pun harus menerima kenyataan pahit yang sangat amat menyakitkan. Apa segitu hinanya diriku, hingga Engkau begitu tega memberikanku banyak malapetaka. Belum puaskah?
Dengan kasar aku meraup permukaan wajah yang sudah tak terbentuk, dan terisak pilu meratapi kehidupanku yang sangat amat memilukan ini. Aku lemah. Aku tak mampu untuk menopang beban sebesar ini. Aku ingin menyerah saja!
"Sabar, Teh." Kepalaku melirik sinis ke arah pemuda yang sudah bersedia untuk memberikan tumpangan. Andaikan kata sabar itu diperjualbelikan, sudah pasti aku akan memborongnya. Dia bisa bicara semudah itu karena dia tak berada di posisiku.
Mendapati kenyataan bahwa aku hanyalah anak dari hasil perzinahan sudah sangat menohok hati dan perasaan. Belum lagi kecelakaan yang menimpa Umi sekarang. Masih adakah stock sabar untuk menghadapi segala takdir buruk yang menimpaku ini?
Mobil berhenti tepat di lobi rumah sakit, dengan segera para medis membantu Abi untuk segera memindahkan Umi ke brankar. Dengan sisa tenaga yang masih tersisa aku membantu Ziah yang terlihat pucat pasi. Seketika pikiranku bercabang ke mana-mana, melihat ke arah ghamis yang tengah dia kenakan. Dan aku semakin dirundung ketakutan saat melihat banyak bercak darah di sana.
"Perut aku sakit, Na." Untuk yang pertama kalinya aku mendengar suara melirih milik Ziah. Dan kalimat itu pun menutup kesadaran Ziah yang langsung ambruk dalam rengkuhanku.
Tubuhku tak kuat untuk menahan bobot tubuh Ziah, beruntung ada pemuda yang tadi memberikan tumpangan. Dengan sedikit ragu dia membopong tubuh Ziah ke dalam rumah sakit, aku berlari cepat untuk mensejajarkan langkah dengannya. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa dan memohon pertolongan-Nya. Aku tak ingin hal buruk menimpa Umi dan juga Ziah.
Jika sampai hal itu terjadi, maka akulah yang patut untuk menerima segala hukuman. Aku penyebab semua kekacauan ini. Kehadiranku hanya sebagai biang onar yang tak diharapkan. Aku tak berguna dan hanya bisa menyusahkan!
Di dalam ruang UGD itu menampung tiga nyawa, Umi, Ziah, dan calon buah Ziah. Pandanganku mengabur tak kuasa untuk melihat ke arah sana jauh lebih lama lagi. Abi yang duduk di sisiku dengan tangan gemetar memberikan rengkuhan. Tangisku semakin pecah tak terbendung dalam dekapan hangatnya. Aku lemah dan aku menyerah!
"In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja." Aku semakin tergugu saat mendengar dengan jelas suara bergetar milik Abi. Aku tak yakin dengan apa yang baru saja Abi tuturkan. Sungguh.
"Hubungi suami, Nak Ziah, dia berhak tahu akan kondisi istrinya. Untuk urusan Riska dan Saras biar Abi yang kabari," titahnya dengan diiringi elusan lembut di puncak kepala.
Aku hanya mengangguk kelu. Entah harus menggunakan kalimat seperti apa aku mengabarkan kondisi Ziah yang saat ini masih dalam penanganan dokter. Aku harus menyiapkan mental dan hati jika nanti bertemu dengan suami Ziah. Belum lagi memikirkan kedua adik perempuanku yang mungkin saja akan menyerang serta menyalahkanku atas kecelakaan ini. Ya Allah, kuatkan hatiku, tabahkan batinku untuk menerima semua ini.
"Kenapa Teteh lakuin ini sama Umi? Teteh gak punya hati!"
Aku hanya mampu diam dan menunduk dalam saat mendapat kalimat penuh intimidasi dari Riska. Aku tak bisa mengeluarkan pembelaan karena memang akulah yang membuat onar. Andaikan segala caci maki dan sumpah serapah itu bisa mengembalikan kondisi Umi menjadi seperti semula lagi, aku akan dengan senang hati menerimanya.
Tapi semua itu jelas tidak akan berdampak apa-apa. Kata maaf dan penyesalan pun takkan pernah berefek. Seharusnya aku tak pernah ada, dan tak dilahirkan ke dunia. Kenapa dulu Umi dan Abi tak menggugurkan kandungannya saja? Mungkin tidak akan pernah seperti ini jalan ceritanya.
Hukum masyarakat sudah sangat begitu kejam, belum lagi hukum Allah, aku tak memiliki hak apa pun. Bahkan nasabku pun terombang-ambing, aku tak memiliki ayah. Abi hanya sebatas lelaki yang berstatus sebagai suami Umi, tidak lebih dan tidak kurang.
Riska memukulku dengan membabi buta, aku hanya diam dan menerimanya penuh kelapangan. Aku tahu kesalahanku terlalu besar, rasa sakit yang kini Riska berikan tak sebanding dengan rasa sakit yang kini tengah mendera rongga dada. Pukul aku sepuasnya, bahkan jika aku mati di tangan adikku sendiri pun aku ikhlas. Aku sudah tak memiliki wajah lagi.
"Cukup Riska!" lerai Abi dengan sekuat tenaga menarik paksa lengan Riska, beliau berdiri di tengah-tengah kami menjadi tembok penghalang agar Riska tak kembali melayangkan pukulan.
Riska tertawa merendahkan dengan tangan saling menunjuk brutal. "Aku anak kandung Abi, anak sah yang diakui oleh agama dan juga negara. Tapi kenapa Abi malah bela dia!"
"Jaga ucapan kamu, Riska!" Tangan Abi melayang di udara dan siap mendarat mulus di salah satu pipi Riska. Namun tertahan saat Riska kembali bersuara, "Tampar aku sepuas hati Abi!"
Saras yang sedari tadi diam menyaksikan tanpa disangka menghampiriku, serta memberikan pelukan. Aku membatu bukan main, terlebih saat mendengar isakan pilunya. "Saras sayang sama Teteh," bisiknya yang sumpah demi apa pun membuat tangisku kembali pecah tak terbendung.
Tanpa aba-aba Riska menarik paksa lengan Saras dengan begitu kencang. "Lepas, Teh!" Saras meronta dan tak terima akan perlakuan Riska.
"Dia," tangannya menunjuk ke arahku dengan begitu sarkas, "bukan kakak kita!"
Bak disambar petir di siang bolong, kakiku luruh begitu saja di atas lantai rumah sakit. Tiga kata yang Riska lontarkan sungguh sangat menyakitkan.
"Jaga ucapan Teteh. Kita dilahirkan dari rahim yang sama, disusui oleh ibu yang sama, dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang sa—"
"Tapi dia ada karena sebuah kesalahan, perzinahan!"
Aku memejamkan mata lamat-lamat, mencoba bangkit dengan tenaga yang masih tersisa. "Teteh tahu itu! Dan gak perlu kamu perjelas lagi." Aku tertawa sumbang untuk menutupi rasa sakit yang kian menghadang.
"Teteh hanya sebatas anak haram. Begitu kan yang ingin kamu katakan?!"
Ini sangat menyakitkan, bahkan lebih dari itu. Dihinakan oleh adik kandung sendiri, sungguh kenyataan yang harus kutelan seorang diri. Dengan berat hati aku melangkah pergi, biarkan mereka puas menghakimi, toh aku memang patut untuk diadili.
"Teh Rina jangan pergi," cegah Saras saat kaki ini baru berjalan sekitar lima langkah saja.
"Umi masih kritis, keadaan Abi jauh dari kata baik, kalau Teteh pergi siapa yang jadi penopang kami," imbuhnya.
Aku melirik ke arah Abi yang kini sudah terduduk lesu di kursi ruang tunggu UGD. Menatap sejenak Riska yang masih saja menatap penuh kebencian padaku. "Ada Teh Riska," kataku sebisa mungkin memberikan senyum.
Jangankan untuk menopang kedua adikku dan juga Abi, aku sendiri pun bingung harus bertopang pada siapa. Tak ada siapa-siapa lagi yang kumiliki selain mereka, tapi aku harus tahu diri. Aku tak berhak berada di sini. Aku tak layak, dan memang sudah seharusnya enyah sejak dulu. Kehadiranku memang hanya karena sebuah kesalahan, tak diinginkan, dan jelas tak diharapakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top