10 | Dirundung Kebingungan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kata demi kata yang beliau lontarkan selalu mengundang rasa penasaran dan juga tanda tanya besar."
Hidupku terlalu datar biasa-biasa saja, hingga kini Allah begitu gencar memberikan banyak ujian. Bukan perihal masalah hati saja yang menjadi persoalan, tapi semuanya terasa begitu runyam suram membingungkan, seperti benang kusut yang sulit untuk kembali dirajut.
"Abi tidak bisa memutuskan sepihak seperti itu. Masalah pasangan biarlah putri kita yang menentukan, jangan terlalu ikut campur!"
Kupingku berdengung kala mendengar perdebatan di antara Umi dan Abi, mereka tak pernah beradu debat seperti ini tapi yang terjadi saat ini sungguh sangat di luar dugaan. Sedari tadi aku disuguhi pemandangan yang sungguh demi apa pun tak layak untuk menjadi tontonan.
"Nisrina masih tanggung jawab Abi, Abi berhak untuk memilihkan jodoh untuknya!" sanggah Abi dengan nada tegas dan dingin bahkan jari beliau menunjuk tepat di depan netra Umi.
"Abi gak memiliki sedikit pun hak atas Nisrina!"
Perkataan Umi berhasil membuat tubuhku membeku bukan main. Deru napasku pun sudah memburu dengan begitu cepat, mencoba untuk memejamkan netra dan menahan gejolak dalam dada yang memberontak tanpa diminta. Rasanya air mata sudah mengambang dan siap untuk ditumpahkan.
Apa maksud dari penuturan beliau?
"Jaga ucapan kamu, Miranda!"
Mata Umi terpejam sejenak, sampai pada akhirnya setetes demi setetes cairan bening turun dengan begitu bebas. Beliau melirik sekilas ke arahku lantas berucap, "Maafkan Umi." Setelahnya beliau berlalu meninggalkan kami yang tengah kacau dengan kemelut hati masing-masing.
Aku menatap nanar punggung Umi yang semakin menjauh dan hilang ditelan pintu. Melirik ke arah Abi yang tengah terduduk lesu di kursi dengan tangan memegang kepala. Aku yakin kepala beliau pasti tengah berdenyut nyeri.
"Abi baik-baik aja, kan?" Beliau mengukir senyum tipis dan mengelus lembut punggung tanganku yang berada di atas meja.
Aku mencoba untuk menahan rasa penasaran dan juga menekan egoku. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memusingkan perihal itu, kondisi Abi harus lebih kuprioritaskan.
"Istirahat, sudah malam," katanya.
Aku menggeleng tak mau. "Abi yang seharusnya istirahat."
"Jangan terlalu ambil pusing masalah tadi, itu hal biasa dalam kehidupan rumah tangga," tuturnya mencoba untuk menenangkan.
"Tapi itu pertengkaran pertama Umi sama Abi, dan akulah yang menjadi da—"
Abi menggeleng cepat. "Maafkan Abi dan Umi yang gak bisa mengontrol emosi, seharusnya kami tak mengumbar perdebatan di depan kamu," ungkapnya yang malah membuatku semakin bingung. Perasaanku sudah semakin tak keruan.
"Kalau memang dia adalah jodoh yang sudah Abi pilihkan In syaa Allah aku ikhlas, Bi. Jangan bentak Umi kaya tadi lagi," ucapku pada akhirnya. Aku tak ingin membuat hubungan di antara Umi dan Abi menjadi rusak dan merenggang, biarkan aku saja yang berkorban.
Abi memberikan senyum tulus dan mengelus puncak kepalaku penuh sayang. "Istirahat, besok kamu harus kerja," titahnya yang langsung kuangguki.
Sepanjang jalan aku memikirkan hal yang baru saja terjadi, semuanya terlalu mengagetkan dan membuatku bingung bukan kepalang. Perkara perjodohan bukanlah hal baru untuk kedua orang tuaku, bahkan mereka selalu membicarakannya dengan kedewasaan. Tak pernah sampai adu mulut seperti sekarang.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuat mereka berdebat sedemikian hebat. Karena pada saat aku kembali dari kamar selepas bersih-bersih badan, aku sudah disuguhkan dengan pertengkaran Umi dan Abi. Aku tak begitu paham akan duduk perkaranya, namun mendengar mereka membahas perihal perjodohan, sudah bisa dipastikan bahwa itu ada sangkut-pautnya denganku.
Kepalaku berkunang-kunang saat sudah sampai di kamar, menjatuhkan tubuh dengan kasar di atas pembaringan. Netraku memonitor ke sekitar, lebih tepatnya pada atap ruangan yang kini tengah kutempati. Scen per scen yang terjadi beberapa menit lalu berlangsung kini saling berkeliaran.
"Abi gak memiliki sedikit pun hak atas Nisrina!"
Sepenggal kalimat yang Umi lontarkan begitu mengusik relung hati terdalam. Aku semakin dibuat bingung, telebih saat mengingat perkataan sarkas Tante Sukma beberapa hari ke belakang.
"Dasar anak haram!"
Fakta-fakta itu seakan menguatkan bahwa aku hanyalah anak buangan yang dirawat oleh Umi dan Abi. Dadaku berdenyut ngilu saat mengingat semua perlakuan baik mereka, limpahan kasih sayangnya, bahkan terasa sangat nyata dan tidak mengada-ada. Mereka memperlakukanku tidak seperti anak pungut yang keberadaannya tak diinginkan. Aku malah merasakan hal yang lain. Lantas siapakah aku?
Tak terasa cairan bening yang sangat tak kuinginkan hadir itu mengucur bebas tanpa diminta, tak ada yang bisa kulakukan selain mencoba untuk terus menghapusnya. Sungguh lemah sekali aku ini. Hanya karena perihal ini saja menangis. Cengeng!
Suara kenop pintu yang terbuka membuatku tersadar dan segera menyembunyikan tubuh di balik lindungan selimut tebal. Jangan sampai Umi dan Abi mengetahui keadaanku yang sedang jauh dari kata baik ini. Aku tak ingin membuat mereka khawatir.
Aku merasakan ranjang yang bergoyang dan tak lama dari itu elusan lembut di puncak kepala dapat kurasakan. Aku yakin ini Umi, terlebih saat suara lirih beliau menyapa rungu. "Maafkan, Umi."
Aku hanya mampu diam dan menahan isakan yang sudah memberontak minta untuk dikeluarkan. Kugigit bibir bagian bawah saat rasa sesak di dada kian memuncak.
"Menangislah, Nak, keluarkan semuanya. Jangan biarkan kesakitan terus menggerogoti hatimu," bisik Umi tepat di samping telingaku.
Tangisku pecah tak terbendung saat mendengar penuturan beliau, rasa sakit itu kian naik ke permukaan. Sesak, hanya itulah yang kini menghimpit dada. Serasa ada ribuan ton baja yang ditimpakan dengan sekuat tenaga.
Umi menyibak selimut hingga sebatas dada, merengkuh tubuh ringkihku dari arah belakang. Dagu beliau bertumpu di atas ubun-ubun, Kudongakkan wajah dan mendapati senyum penuh kegetiran di sana. Ada berkas air mata yang mengering di sekitar wajah beliau.
"Maafkan Umi, tak seharusnya kamu menerima imbas atas perbuatan buruk Umi dan Abi," lirihnya dengan diiringi isakan kecil. Aku merasa ada kesakitan di setiap kata yang baru saja beliau tuturkan. Tapi apa?
"Umi jangan nangis." Dengan tangan yang bergetar hebat aku menghapus cairan bening yang sudah tumpah ruah di wajah beliau.
Beliau mengukir senyum tipis yang terlihat dipaksakan, menyingkirkan anak-anak rambut di sekitar keningku dengan penuh kelembutan. "Umi gak papa," katanya meyakinkan.
Aku hanya mengangguk penuh keraguan, memberikan sedikit sunggingan ke arahnya. "Aku sayang Umi, jangan pernah tinggalin aku sendiri," pintaku dengan suara pelan.
Umi kembali merengkuh tubuhku dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku cukup lama. "Umi takut kamu yang akan meninggalkan Umi sendiri," sahutnya di luar dugaan.
Kata demi kata yang beliau lontarkan selalu mengundang rasa penasaran dan juga tanda tanya besar. Segala argumen buruk sudah saling tumpang tindih memenuhi pikiran, rasanya kepalaku mau pecah seketika. Jika benar aku ini hanya anak angkat saja, tidak mungkin beliau berlaku seperti ini? Tapi fakta-fakta yang sebelumnya kudapat menggiring opini bahwa aku hanyalah anak buangan saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top