END
Thank God, CTSI sudah selesai. Terima kasih sudah membaca, memberi komen dan vote. Salam sayang buat kalian dan keluarga. Sehat serta bahagia selalu yaaaa
***
Kami tiba di Port Moresby pada sore hari. Mami sudah menyiapkan sebuah resort untuk berlangsungnya acara. Tepatnya Loloata Island resort. Disitu juga nanti kami semua akan menginap. Yang membuatku kaget, papi ternyata hadir bersama eyang dan seluruh keluarga besar. Meski mereka menggunakan pesawat berbeda karena memang berangkat dari Jakarta. Kelihatannya keluargaku baru membeli sebuah pesawat pribadi yang cukup besar. Karena ada logo Subiantoro pada dinding pesawat. Aku tidak tahu mungkin karena selama ini aku memang sedikit menjauh. Hubunganku hanya sebatas dengan papi.
Sementara aku berangkat dari Singapura bersama keempat mertuaku. Hubungan Mas Awa dengan mereka kelihatannya belum pulih. Ia lebih banyak diam. Sementara aku sendiri juga canggung untuk berbincang dengan mereka, kami jarang bertemu. Kuhabiskan banyak waktu untuk tidur. Karena memang tadi malam harus menemani Kak Awa sekaligus bersiap. Meski ada dua orang asisten rumah tangga, aku sudah mulai terbiasa mandiri.
Aku baru sadar kalau ternyata disaat stress Kak Awa sulit tidur dan berkonsentrasi. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tahu saat inipun ia pura-pura tetap bekerja untuk menghindari pembicaraan dengan orangtuanya. Aku memilih diam dan hanya mengamati dari jauh. Karena tahu bahwa emosinya juga kurang stabil.
Kami mendarat di Bandar Udara Jacksons-Port Moresby. Kemudian langsung menuju menuju pulau menaiki sebuah boat yang memang sudah disediakan pihak resort. Kupeluk erat mami yang sudah menunggu kami di dermaga. Ia membalas pelukanku dengan sama eratnya kemudian menciumiku berkali-kali. Lalu pelukannya beralih ke Mas Awa. Dengan yang lain mami hanya berjabat tangan, termasuk papi. Kami kemudian diantar ke kamar masing-masing.
Kuakui bahwa mami sudah menyiapkan acara dengan sangat baik. Selesai mandi kami semua makan malam bersama. Di sanalah kutemui Mas Ody setelah lama berpisah. Kupeluk erat, tak sadar aku menangis. Ia mencium pipiku berkali-kali dan menarikku untuk duduk semeja dengan Mbak Mitha.
"Hei, kok nangis. Gimana nih, Wa. Bini lo masih cengeng aja." Godanya. Kupukul dadanya berulangkali. Baru kemudian aku berpindah memeluk Mbak Mitha. Wajah iparku itu tersenyum sumringah. Ia terlihat lebih cantik sekarang dengan rambut yang ditata curly.
"Nanti malam kita ngobrol ya." bisik kakak iparku.
Aku segera mengangguk, kami menikmati makan malam bersama diiringi dentingan piano. Jujur sudah lama sekali aku tidak makan malam seperti ini. Santai bersama keluarga, tidak membicarakan bisnis atau hal yang serius. Makanannya juga enak, mami memang jagonya me-manage sebuah acara.
Selesai makan malam, kami semua mendengar arahan pihak hotel mengenai acara besok. Pernikahan akan dilaksanakan pukul sembilan pagi di area dekat kolam renang. Aku yakin, bahwa semua sudah dipersiapkan dengan baik.
Selesai semua kami kembali ke kamar, sampai kemudian terdengar suara ketukan pintu. Ternyata Mbak Mitha. Kami segera masuk ke kamar, Mas Awa menyingkir, berkata bahwa ia akan menemui mas Ody dan mami.
"Gimana kabarnya?" tanyaku saat kami hanya tinggal berdua.
"Baik. Aku senang ada kamu di sini. Biasanya cuma ada mami dan Mas Ody. Tapi mereka juga banyak bekerja." jawabnya.
Kutatap ia dengan seksama, namun aku merasa ada sesuatu yang berubah terutama dibagian perut dan dadanya.
"Mbak Mitha—" aku sengaja tidak meneruskan pertanyaanku. Namun kulihat ia tersenyum.
"Jalan tiga bulan."
Aku menutup mulutku dengan tangan kanan. Ini benar-benar menjadi surprise untukku.
"Tolong Mas Awa jangan sampai tahu dulu. Aku takut dia marah."
"Tenang, dia nggak akan marah. Tapi kok bisa sih. Mbak yakin?"
"Waktu itu kita terlalu senang saat dokter bilang virus Mas Ody terlihat tidak aktif. Tahu sendiri deh, kalau sudah dimulai kan susah berhenti. Tapi sempat sih kita berdua takut, terutama tentang aku. Meski akhirnya kami pasrah. Beruntung dua minggu lalu hasilku negative. Tapi tetap aku minum obat untuk yang didalam sini. Setelah itu kita pakai pengaman. Dan beruntungnya yang pertama, ternyata langsung jadi."
Aku hanya tersenyum, meski sedikit kecewa. Karena aku dan Mas Awa sampai saat ini masih menunggu.
"Kamu bagaimana?" tanyanya.
"Baik." jawabku singkat, belum mampu menutupi rasa sedih.
"Bagaimana Mas Awa setelah jadi suami?" tanyanya mengalihkan kegundahanku.
"Lebih perhatian pastinya. Tapi dia gila kerja banget."
"Iya sih, dia terbiasa kerja keras sejak keuangan kami tidak stabil. Dia mengambil alih tugas papi dan mami tanpa pernah mengeluh. Dia bahkan kehilangan banyak mimpi untuk bisa bantu membiayai kami." ucap Mitha lirih. Kulihat ia menghapus airmata.
Kupeluk Mbak Mitha, aku tidak bisa berkata apapun lagi. Aku pernah menjadi saksi kehidupan Kak Awa saat itu, dan menyesal karena tidak bisa mengerti akan kesibukannya lebih jauh.
Akhirnya Mbak Mitha pamit. Dan tak lama Mas Awa kembali ke kamar.
"Ngobrol apa tadi?" tanyanya.
"Biasalah khas perempuan. Senang rasanya seperti punya teman bicara."
Mas Awa hanya tersenyum kemudian mengajakku berbaring. Seperti biasa ia memeluk perutku dan meletakkan kepalanya disamping dadaku. Kuelus rambut hitamnya yang tebal.
"Kata mami, Mitha hamil hampir tiga bulan. Dan dia negatif. Dia ada cerita tadi?"
"Barusan sih. Cuma kemarin aku memang curiga. Waktu beliin gaun pengantin. Mami memilih yang modelnya agak longgar dibagian perut. Padahal setahuku badannya Mbak Mitha kan bagus banget. Mas nggak marah, kan?"
"Ya sudahlah, sudah terjadi juga. Yang penting mereka sekarang menikah dan kedepannya akan terus bersama. Semoga juga dia dan baby-nya sehat terus."
Aku hanya mengangguk.
"Kok kamu yang kelihatan sedih?" ucapnya setelah menatapku.
"Mbak Mitha enak ya, bikin sekali langsung jadi. Nah kita sudah berapa bulan, aku masih belum hamil."
Mas Awa tertawa dan memeluk bahuku.
"Anak itu anugerah Tuhan, Ia. Sama seperti kamu dalam hidupku. Dikasih kesempatan memiliki ya kita terima. Kalau belum dikasih, ya nikmati saja. Yakin satu hal, Tuhan pasti memberi, tapi waktunya kita tidak tahu kapan."
"Kalau nggak diberi?"
"Anak itu tidak hanya harus tumbuh di rahim kamu. Dia bisa tumbuh dihati kamu. Yang penting nanti kamu sudah siap menjadi ibu. Jangan dipaksakan, takut hasilnya tidak bagus."
"Mas nggak akan meninggalkan aku kan kalau aku nggak bisa punya anak?"
Kembali ia tertawa.
"Dapetin kamu tuh susah banget lho. Pakai doa setiap hari supaya dibukakan jalan. Terus sekarang sudah dapat aku sia-siain gitu? Aku takut dimarahin Tuhan, Ia." Bisiknya lirih. Sampai kemudian aku bisa tersenyum kembali. Mas Awa bukan perayu ulung yang bisa membuat perempuan terkesima dengan kata-katanya. Namun kalimat apa adanya yang selalu meluncur dari hati. Membuatku selalu merasa dicintai.
***
Pernikahan Mitha dan Jordy berjalan dengan khidmat. Kami semua menjadi saksi kebahagiaan mereka. Meski mengenakan gaun pengantin longgar adikku terlihat sangat cantik. Mungkin karena ia bahagia. Saat aku mengucapkan selamat ia menangis dan memelukku erat. Mengucapkan terima kasih karena sudah menjaganya selama ini. Kini aku benar-benar harus melepasnya ketangan pria lain.
Rasa haru itu menyeruak, teringat bagaimana kami bertiga dulu menghabiskan hari. Berusaha untuk bertahan dan tegar atas masalah yang datang. Mungkin itu yang menyebabkanku lebih dewasa sekarang. Mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan orang lain.
Meski hingga saat ini hubunganku dengan kedua orangtuaku tidak bisa dikatakan baik. Kami hanya saling menyapa sekilas. Disinipun aku jarang bergabung dengan mereka. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama Rendra. Ibu mertuaku juga terlihat lebih santai sekarang. Komunikasinya dengan ayah mertuaku jauh lebih baik. Mereka duduk berdampingan saat pernikahan tadi. Demikian juga papi dan mamiku. Akhirnya tidak ada pertengkaran lagi mengenai siapa yang harus mendampingi.
Selesai acara ada pesta kecil disebuah ruangan. Ada banyak hadiah yang dibagikan. Baik itu souvenir pernikahan maupun doorprize. Aku dan Kaia mendapatkan voucher perjalanan liburan ke Karibia. Kelihatannya itu dari mami yang ingin kami menikmati waktu berdua saja. Aku sendiri memang belum mengambil cuti tahun ini. Dan berjanji akan memanfaatkan hadiah diakhir tahun nanti.
Mitha tersenyum lebar saat kami melakukan foto bersama. Ia sangat bahagia. Ody sendiri terlihat protektif terhadap adikku. Memeluk pinggang atau bahunya setiap kali mereka merubah posisi. Juga menggenggam erat tangannya saat mereka berjalan. Beruntung, kali ini keluarga besar Subiantoro tidak ada yang menyindirku terang-terangan. Entah kalau dibelakangku. Aku memilih tidak peduli.
Minggu sore aku pulang sendirian ke Singapura. Karena seluruh keluarga masih berlibur. Ada beberapa pekerjaan yang menunggu dan tidak bisa kudelegasikan pada orang lain. Kaia masih tinggal karena katanya masih rindu pada Ody dan Mami.
Ibu mertuaku sempat mengingatkan biro yang dijanjikannya dulu. Tapi masih kutolak, karena Kaia belum ingin tinggal di Jakarta. Lagi pula aku masih nyaman dengan pekerjaan dan karier di Biro yang sekarang.
Aku pulang bersama keempat orangtuaku menuju Singapura. Kami berpisah di bandara, aku pamit pulang ke rumah sementara orangtuaku entah melanjutkan perjalanan ke mana. Itu sudah menjadi urusan mereka.
***
Jordy masih mengelus perut Mitha yang sudah mulai membuncit. Didalam sana ada buah hati mereka. Tadi pagi diketahui bahwa mereka akan mendapatkan bayi laki-laki. Tentu saja semua orang senang. Meski begitu masih ada beberapa kekhawatiran dalam diri pria itu. Yakni tentang kesehatan putranya kelak. Karena itu, ia selalu mengingatkan Mitha untuk meminum obat secara rutin. Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada mereka.
Jordy memutuskan untuk menghentikan rasa khawatir yang berlebihan. Itu malah menyebabkan imun menurun nantinya. Baginya ada Mitha yang menemani sudah lebih dari cukup. Karena hanya itu yang diimpikannya sedari dulu.
Ia juga sudah merasa tenang, karena Birawa menjaga Kaia dengan baik. Adiknya terlihat bahagia disamping pria yang tepat. Sementara maminya semakin sibuk dengan bisnis baru di keluarganya sendiri. Dan terlihat bahagia dengan kesendiriannya.
Ditatapnya langit yang gelap. Malam ini awan menutup indahnya bintang. Tapi ia percaya, bahwa hari-hari tak selamanya gelap. Karena cahaya matahari akan selalu datang. Begitu terus silih berganti. Dikecupnya kening Mitha yang kini telah terlelap. Mimpi indah sayang, aku akan menjaga.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
231020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top