9
Daniella turun dari mobil, memasuki rumah yang dulu adalah tempat tinggalnya. Tujuannya hanya satu, bertemu dengan Mitha dan Birawa. Pembicaraan singkat dengan Thalia Subiantoro memberikan pengaruh buruk pada dirinya. Bagaimana tadi ia diancam akan dipecat kalau tidak bisa membuat Birawa menghentikan aksinya menuntut Jordy. Kepalanya sakit mendengar itu.
Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Tanpa menjawab salam ia segera masuk ke dalam. Disana hanya ada Rendra yang tengah menonton televisi.
"Apa kabar, mi?" tanya si bungsu setelah menatapnya sekilas. Kemudian kembali asyik pada layar lebar di depannya.
"Baik, mbak sama Mas Awa dimana?"
"Di kamar. Tadi malam mbak nggak bisa tidur. Masih suka menangis kalau tiba-tiba bangun. Mas lagi nemenin."
Perempuan cantik itu hanya mengangguk, kemudian berjalan menuju lantai dua. Ia membuka pintu kamar Mitha, kosong! Akhirnya menuju kamar Birawa. Benar, putranya sedang menggambar, sementara Mitha tengah meringkuk.
Mata keduanya bertemu, namun segera sang putra kembali menekuni gambarnya.
"Tugas kamu banyak?" tanyanya sambil memasuki kamar.
"Lumayan, tumben mami datang."
"Mau lihat Mitha, bagaimana keadaannya?"
"Sudah lebih baik, tahu dari mana?"
"Mami dipanggil sama Thalia Subiantoro."
Birawa menjauhkan meja gambarnya.
"Lalu apa maksud mami datang kemari?"
"Kita bicara di luar saja."
Keduanya segera menuju sofa dilantai dua.
"Hentikan usaha kamu, kalian tidak akan menang melawannya. Apalagi dari hasil visum, terlihat kalau adik kamu tidak diapa-apain. Lanjutkan hidup kalian. Dia sudah berjanji tidak akan membiarkan Jordy berada disekitar Mitha."
"Mami lihat keadaan Mitha? Lihat cara tidurnya? Sorry, Awa lupa kalau mami sudah lama tidak bersama kami. Jadi tidak tahu kebiasaan anak-anak mami.
Aku cuma mau membuat orang yang menyakiti adikku jera, Mi. Dia menculik Mitha satu malam. Dan mami merasa itu biasa saja? Ada trauma yang tertinggal. Mitha jadi takut ke luar rumah. Dia nggak berani ke sanggar atau kuliah. Dan mami anggap itu biasa saja?"
Daniella menghembuskan nafas kasar.
"Apa kata papi kamu?"
"Sama dengan mami, kalian kan bekerja di anak usaha Subiantoro dan Kusumo. Jadi sama-sama takut dipecat."
"Bukan takut dipecat, kalian bisa dapat masalah kalau terus menerus mencoba melawan mereka."
Birawa menatap sang ibu dengan kecewa.
"Mami pulang saja, biar Awa yang berpikir apa yang terbaik untuk Mitha. Bukankah selama ini juga seperti itu?"
Daniella menatap tak percaya,
"Kami akan baik-baik saja seperti biasa."
Selesai berkata demikian, kembali putranya kembali ke kamar. Meninggalkan sang ibu yang hanya menatapnya tanpa kata.
***
Aku masih memeluk Mitha dengan erat. Ketika semua jalan tertutup untuk kami. Laporan ke polisi tidak mendapat tanggapan. Karena tidak ada saksi dan tidak cukup bukti. Aku sudah berusaha mencari Jordy kemana-mana namun masih gagal. Entah bersembunyi dimana dia sekarang. Bahkan Kaia pun ternyata sudah mengambil cuti dari kampus. Ada apa sebenarnya?
Aku memutuskan untuk lebih fokus pada Mitha dan pendidikanku. Setelah kontrak menyanyi The First terancam dicabut kalau aku tetap nekat melaporkan Jordy. Seluruh teman-temanku menuding kearahku. Seakan aku telah menghancurkan mimpi mereka. Aku merasa seperti tidak bisa bergerak.
Aku tidak peduli lagi pada karier atau apapun itu. Nasib kedua adikku jauh lebih penting sekarang. Rendra juga jadi lebih banyak di rumah setelah ke sekolah. Ia merasa bersalah karena dulu lalai dalam menjemput Mitha karena memilih jalan bersama temannya.
Mitha masih memelukku erat diatas tempat tidurnya pagi ini. Setelah aku menceritakan semua kegagalan kami.
"Kita mengalah saja, mas. Aku nggak mau mas kenapa-kenapa. kasihan karier mas nanti. Kita nggak akan menang melawan mereka."
Aku memilih diam, namun tidak melepaskan pelukan.
"Kamu yakin, nggak apa-apa?"
"Iya, aku sudah mulai nggak takut kok."
"Mau kuliah lagi?"
Ia mengangguk.
"Mulai sekarang aku yang akan antar kamu kemanapun. Tunggu kalau mau pulang, kalaupun lama, jangan berada diluar ruangan sendirian, apalagi tempat sepi."
"Iya." Jawabnya lemah. Aku tahu kalau dia sangat terluka.
Namun apa yang ada yang tetap bergejolak dalam diriku. Saat semua seolah tidak berpihak pada kami. Bahkan orangtua kami sekalipun. Kutatap adikku yang masih memejamkan mata. Siapa yang mengerti akan kegelisahanku sekarang?
Semua orang menganggap hal ini adalah peristiwa biasa. Mungkin karena mereka tidak berada dalam posisiku. Bagaimana aku semalaman tidak tidur karena mencari. Sementara laki-laki itu dengan seenaknya menyekap adikku diapartemennya dengan alasan yang tidak kuketahui.
***
Kembali kujalani semua sendirian. Secara resmi aku mengundurkan diri dari The First. Semua temanku menyesali keputusan yang kubuat. Tapi sudah tidak bisa ditawar lagi. Hanya saja mereka masih kuijinkan menyanyikan laguku. Dengan pembayaran yang berbeda tentunya.
Aku tahu ini akan membuat grup musik kami mengalami kepincangan. Karena selama ini mereka mengandalkan aku untuk mencipta dan mengaransemen lagu. Namun ini adalah saat dimana aku tidak memikirkan apapun lagi selain Mitha dan diriku sendiri.
Fokusku adalah lulus kuliah, lalu mencari pekerjaan di sebuah perusahaan asing. Aku sudah menerima tawaran salah seorang dosenku yang memiliki sebuah biro arsitektur. Berharap dari sana aku akan banyak belajar. Sampai beberapa tahun kedepan. Baru kemudian membawa Mitha keluar dari Indonesia. Aku muak berada disini.
***
Kutatap wajah Mas Ody yang terlihat sangat pucat pagi ini. Meski begitu ia masih bisa tersenyum. Saat selesai sarapan, ia meminum obatnya.
"Gimana?" tanyaku.
"Jauh lebih baik. Kenapa nggak makan obat dari dulu, ya?" jawabnya sambil bercanda.
Aku tahu dia hanya menutupi kesedihannya. Dari hasil lab kemarin, semua menunjukkan bahwa kondisinya memburuk. Tapi ia masih berusaha membuatku tersenyum.
Aku sudah meminta cuti dari kampus, karena ingin fokus menemani mas Ody. Meski kami tidak hanya berdua. Ada empat orang perawat yang berjaga bergantian. Juga dokter yang akan selalu mengawasi perkembangan Mas Ody. Karena tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Kami memutuskan untuk tinggal di apartemen. Di sini ada helipad, untuk memudahkan evakuasi kalau mas Ody drop nanti.
Aku juga mulai banyak membaca dan bertanya tentang ODHA. Apa yang boleh dan tidak boleh, bagaimana penularannya. Setiap hari berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi terakhir mas Ody.
Saat bersama seharian, kami mengobrol dan bercanda tentang banyak hal. Satu yang tidak berubah, dia selalu memeluk bantal yang digunakan Mitha saat itu. Katanya buat kenang-kenangan. Meski aku tahu kalau tidak ada lagi aroma yang tertinggal. Namun saat melihatnya tersenyum sambil memeluk bantal, aku tahu ia sedang mengenang kebahagiaan.
Kalau sedang sendiri, Mas Ody juga sering terlihat menonton video, yang isinya Mitha sedang menari. Pada saat itu ia seolah tengah bahagia. Itu juga yang membuatku merasa sedih.
Aku membiarkan, karena tahu hanya dengan cara seperti itu ia bisa bertahan. Kalaulah ada kesempatan, aku ingin berbicara dengan Mitha secara pribadi. Tapi bagaimana caranya? Birawa menjaganya sedemikian ketat.
"Kok bengong?"
Suara Mas Ody mengagetkanku.
"Nggak, kenapa?"
"Jalan-jalan gih, ke mal kek atau kemana gitu? Biar nggak kelamaan jomlo."
"Jalan bareng yuk, aku yang dorong kursi roda ." Kucoba mengajaknya.
"Aku belum sekuat itu." Tolaknya.
"Kalau gitu aku juga nggak mau, nanti saja kalau mas sehat."
"Kamu bakalan bosan disini."
"Nggak selama akan ada mas."
Ia tak menjawab, dan menatap langit diluar sana.
"Gimana ya, kabar Mitha sekarang?" ucapnya dengan mata menerawang. Mas Ody kembali terlihat murung.
"Nggak tahu."
"Kata temanku dia tidak pernah kelihatan lagi di kampus. Di sanggar juga nggak pernah datang lagi."
"Mas masih stalker dia?"
Mas Ody cuma tertawa kecil memilih tidak menjawab. Aku tahu tidak mudah menemukan kabar tentang Mitha sekarang. Apalagi sejak kedua orangtuaku ikut campur dengan masalah yang dibuat Mas Ody. Saat ini mungkin mereka sangat membenci keluargaku. Seandainya Mitha bisa beraktifitas seperti biasa, semua akan menjadi lebih mudah. Tapi dimana aku bisa menemukannya?
Kutatap kembali masku yang sedang menonton pertunjukan tari itu. Sudah berulang, bahkan mungkin ratusan kali. Namun ia belum bosan. Aku tahu apa yang akan menjadi semangatnya. Bisakah aku?
***
Sejak kemarin Aku membulatkan tekad untuk menemui Birawa. Terserah dia mau berkata apa. Ternyata cowok itu sudah tidak lagi bergabung dengan The First. Sayang sekali, padahal mereka sudah tanda tangan kontrak.
Akhirnya aku tahu kalau pemuda itu tengah magang di sebuah biro arsitek milik dosennya. Biasanya, ia akan keluar setelah pukul empat sore. Kutunggu sedikit jauh dari kantor tempatnya bekerja. Aku segera turun dari mobil saat melihatnya berjalan menuju motor. Ia melihatku, namun segera membuang muka.
"Bisa kita bicara berdua saja?" tanyaku sambil mensejajari langkah panjangnya.
"Buat?"
"Gue mau ngomong sesuatu, penting."
"Setelah apa yang dilakukan Jordy? Sekarang dia mengutus elo? Cemen amat kakak lo jadi cowok."
Aku menelan saliva, tahu bahwa ini tidak akan mudah.
"Bukan dari mas gue, tapi ini karena diri gue sendiri."
"Terus Jordy berlindung dibalik badan lo?" jawabnya pedas, tapi kali ini ia berhenti dan menatapku.
"Bukan tentang itu, tapi gue mau ngomong jujur sama lo. Terserah mau percaya apa nggak."
"Lo mau jujur tentang apa?"
"Bisa bicara di mobil gue."
"Lo mau nyulik gue juga?"
"Gue nggak ada niat kesitu."
"Kalau gitu kita ngomong di sini aja. Cepetan, gue harus pulang. Kerjaan gue nggak cuma dengerin omongan lo yang dari tadi muter-muter nggak jelas."
Aku menghembuskan nafas kesal. Bisa ya ada cowok model begini dimuka bumi?
"Gue butuh privacy, dan nggak ada orang lain."
"Di mobil lo juga ada supir kan? Memangnya dia bukan orang?"
Rasanya jantungku semakin kuat berdetak. Tidak menyangka akan menghadapi sesuatu yang sulit seperti ini. Aku tidak pernah berhadapan dengan orang setipe Birawa. Yang kalau bicara terdengar kasar dan membuat sakit telinga.
Kukumpulkan keberanian yang tersisa, jujur aku takut melihat sosoknya.
"Mas gue ODHA."
Ada kemarahan tiba-tiba diwajahnya.
"Maksud lo, jadi adek gue—"
"Bukan..bukan. Gue jamin Mitha nggak kena. Karena itu mas gue nggak ngapa-ngapain dia." potongku cepat.
Sekarang aku malah bingung mau bicara apa. Melihat tatapan tajamnya yang terasa masuk kedalam pori-pori kulitku. Keringat dingin segera meluncur diseluruh tubuh. Benar-benar takut untuk menyampaikan niat awalku. Aku tidak pernah berada dalam situasi seperti ini. Bagaimana caranya bisa bicara?
"Trus mau lo apa?"
Kembali aku harus mencoba mengumpulkan serpihan keberanian yang sudah hilang.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
4 September 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top