7

Sudah hampir pagi saat Mitha terbangun. Matanya dengan awas segera menemukan sesosok tubuh di ujung ranjang. Tertelungkup tak bergerak seperti orang mati. Teringat kembali kejadian semalam. Saat pulang dari latihan menari. Lama ia menunggu Rendra. Bahkan sudah menelepon dan mengirim pesan berkali-kali. Sayang tak ada jawaban. Sampai kemudian sebuah mobil jenis van berhenti di depannya.

Belum sempat berteriak, beberapa pria berwajah seram menariknya masuk dengan paksa. Kemudian menutup mulutnya dengan kain, setelah itu ia tak ingat apa-apa  lagi. Saat terbangun, ia sudah ada di kamar Jordy.

Bayangan laki-laki bertampang menyeramkan itu kembali melintas. Ia benar-benar takut. Apakah mereka masih ada disekitarnya? Apakah ia bisa ke luar dari sini?

Perlahan gadis itu mencoba mendekati Jordy yang  terlihat terlalu tenang untuk ukuran orang  tidur. Perlahan disentuhnya pipi pria itu, terasa dingin. Diletakkannya jari didekat hidung pria itu. Tidak ada gerakan nafas. Penuh rasa takut, Mitha berteriak.

"Aaa—"

Bagaimana ini bisa terjadi? Ia terkunci bersama mayat laki-laki yang sama sekali tidak ia ketahui identitas selain nama? Ponselnya pasti tertinggal bersama tasnya di mobil. Bagaimana cara agar orang lain tahu?

Namun ketakutannya segera berubah, saat bibir itu tiba-tiba menyungging senyum.

"Lo kenapa? Takut?" Suara itu terdengar lemah. Matanya terbuka perlahan.

"Jangan main-main Jordy. Nggak ada ponsel siapapun di sini. Dan gue nggak tahu harus menghubungi siapa kalau lo beneran mati."

"Kalau gue masih bangun, artinya ini belum waktunya. Ada tombol alarm di apartemen ini. Nanti gue akan kasih tahu elo di mana tempatnya. Kalau gue beritahu sekarang. Pasti lo bakal kabur."

Perlahan tubuh lunglai pria  itu bangkit. Berjalan tertatih menuju pintu.

"Lo mau ke mana?"

"Ke dapur, lo belum sarapan kan?"

"Lo yakin? Jalan aja kelihatan susah."

"Lo khawatir sama gue?"

"Gue mau pulang." Mitha tidak mempedulikan pertanyaan itu.

"Nanti sore."

"Mas Awa pasti panik banget. Gue nggak pernah nggak pulang."

"Mungkin dia takut kalau gue bakalan nyelakain elo. Minimal merkosa." jawab Jordy enteng.

"Jangan sembarangan ngomong."

"Birawa dari tadi malam sudah keliling Jakarta. Dia sama Karen nyariin lo."

Kembali Mitha memejamkan matanya. Sayang saat mata itu terbuka, tubuh pria itu sudah ke luar dari ruangan. Bergegas ia mengikuti.

"Maksud lo nyulik gue sebenernya buat apa sih?"

Kali ini langkah Jordy terhenti.

"Cuma mau ngelihat elo kalau lagi tidur. Ileran nggak."

"Lo pasti bohong. Serius bisa nggak sih?"

"Jadi gue harus jawab apa? Kalau menurut lo, gue mau perkosa elo. Udah pasti jawabannya salah. Karena seumur hidup gue nggak akan lakukan itu ke elo."

Kembali langkah kaki panjang itu meninggalkan Mitha.

"Tolong, kasihan mas gue. Apalagi Rendra, dia pasti udah dimarahin abis-abisan."

"Sore nanti gue antar lo pulang. Sebelum dua puluh empat jam. Jadi nggak ada alasan kalau Awa akan lapor polisi. Dia juga boleh visum elo, karena kita nggak ngapa-ngapain kan?"

Jordy kemudian memimpin langkah mereka memasuki lift. Mitha mengikuti dari belakang. Akhirnya keduanya tiba di dapur.

"Kita di lantai berapa?"

"Lupa, nggak pernah  ngitung juga ini lantai berapa. Yang pasti apartemen gue memiliki  tiga lantai. Ada lift pribadi dengan sistem keamanan menggunakan finger print dan access code yang bisa gue ganti setiap saat. Keduanya harus sinkron supaya lo bisa masuk atau keluar. Buat informasi aja, adek gue kemarin nggak bisa masuk karena gue ganti code."

Jordy membawanya ke dapur yang ternyata terlihat sangat mewah. Pria itu mengeluarkan roti kemudian dengan lihai memanggangnya. Setelah matang ia meletakkan diatas meja.

"Lo perempuan kedua yang pernah gue buatkan sarapan, setelah Kaia."

"Gue bukan mau sarapan, tapi mau pulang."

Mata Mitha kembali mengelilingi seluruh ruangan. Ia masih takut kalau-kalau pria penculiknya itu masih berada di sini. Kali ini pria berusia dua puluh tiga tahun itu berhenti, dan menatap Mitha dengan kesal.

"Gue udah bilang, lo pulang setelah sore. Kalau mau sarapan silahkan. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Disini  nggak ada orang lain, cuma kita berdua. Jadi kalau lo teriak juga bakalan percuma."

Selesai mengatakan itu ia memasak havermout untuk dirinya sendiri. Seolah tidak peduli pada gadis yang tidak menyentuh sarapannya. Saat menikmati sarapannya, beberapa kali matanya bertemu dengan mata Mitha. Sebuah senyuman tersungging dibibir jordy.

"Elo tuh cantik meski cemberut begitu. Tenang aja habis ini gue nggak akan nemuin elo lagi. Tapi jujur aja gue senang lihat lo disini."

Selesai sarapan, Jordy meletakkan piringnya di wastafel. Kemudian melangkah menuju ruang tengah dan duduk di sofa. Menatap punggung Mitha dari belakang.

Hari ini ia cukup senang karena bisa menghabiskan sarapannya. Biasanya makan satu atau dua sendok saja butuh perjuangan berat. Luka pada rongga mulut membuatnya sulit untuk makan.

Tapi kini semua benar-benar berbeda, rasa sakit itu sedikit hilang saat melihat Mitha ada di hadapannya. Sebesar itukah arti seseorang? Gadis itu belum bergerak. Jordy sendiri merasa tidak ada bedanya sepanjang ia masih bisa menatap Mitha.

Lama mereka duduk saling menjauh, sampai kemudian tangan gadis itu meraih sebuah botol selai di meja. Akhirnya Jordy bisa bernafas lega, karena Mitha bersedia untuk sarapan.

Diliriknya jam dinding, sudah pukul delapan pagi. Diaktifkannya salah satu nomor pribadinya. Pesan Kaia segera mendominasi masuk. Semua hanya berkisar pertanyaan, di mana ia sekarang. Jordy hanya tersenyum kecil tidak berniat menjawab, kemudian segera kembali mematikan ponselnya.

Sore nanti mas akan pulang, kali ini dengan senyum. Setelah ini kita akan terus bersama. Mas sedang bersama Mitha. Dia adalah mimpi yang saat ini menjadi kenyataan. Ia jangan takut, mas nggak akan melakukan apapun padanya. Janji, cuma ingin menatap dari dekat.

Jordy kemudian menatap langit-langit apartemennya. Tempat ini penuh dengan koleksi barang-barang mewah hasil hunting maminya ke berbagai gallery seni di berbagai belahan dunia. Tempat itu jauh lebih menarik daripada seorang Jordy dan Kaia.

Seandainya waktu itu digunakan untuk dekat dengannya, mungkin isi apartemen ini tidak akan diperlukan. Tapi kini ia berada dalam tahap tidak ingin menyesali apapun. Semua akan berakhir, sesuai dengan jalan yang sudah digariskan.

Mitha akhirnya selesai sarapan, kemudian gadis itu beranjak menuju wastafel, hendak mencuci piringnya dan milik Jordy.

"JANGAN!" Teriak pria itu dengan keras mengagetkan Mitha.

Jordy buru-buru mendekat, kemudian menatap Mitha tajam.Tangannya segera merebut piring dari tangan gadis itu.

"Jangan sentuh bekas peralatan makan gue tanpa menggunakan sarung tangan."

"Kenapa?"

Lama Jordy terdiam, ia tak sanggup mengatakan apapun dan hanya menatap mata Mitha. Namun tatapan itu melembut saat melihat ketakutan yang ada disana.

"Sorry, gue nggak mau lo capek. Biar aja di situ, nanti sore akan ada yang datang buat bersih-bersih." ucap Jordy

Tanpa sadar, sebelah tangannya bergerak. Jemarinya menyentuh wajah halus itu. Menyusuri dengan lembut rahang gadis yang selama ini selau hadir dalam mimpinya. Mitha segera menghindar, namun jemari dngin Ody menahan wajahnya.

"Sebentar aja, gue nggak akan melakukan lebih. Lo cukup percaya."

"Lo keterlaluan."

"Mungkin—" Jordy tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Namun tatapannya tetap lekat pada wajah Mitha.

"Lo cantik, cantik banget malah. Kenapa gue kenal elo setelah semua terlambat?" ada kesedihan dan penyesalan besar dalam suara Jordy.

Diraihnya bahu Mitha agar mendekat, ditatapnya intens bibir didepannya tanpa kedip. Mitha menatap wajah Jordy bingung. Tidak bisa mengartikan tatapan itu. Pelan tapi pasti wajah pria itu mendekat. Bibirnya menyentuh kening Mitha lembut.

"Setelah ini lo boleh melupakan gue."

Mata milik kakak satu-satunya Kaia itu berkaca. Namun ada senyum tipis tersungging dibibirnya.

"Elo melecehkan gue." Desis Mitha marah.

"Gue cuma cium kening lo. Dan itu bukan melecehkan."

"Lo gila ya, nggak sadar kalau apa yang lo lakukan sekarang bisa buat lo dipenjara."

Jordy memilih tidak menjawab, namun menikmati raut kesal gadis itu.

"Cuma segini kemarahan lo? Gue kira tadi lo bakal ngehancurin isi dapur gue."

Mitha mengepalkan tangannya.

"Sorry gue lupa, elo tuh lembut banget. Beda sama Awa—"

"Jangan sebut nama mas gue."

"Kenapa? Gue akuin dia melindungi lo dengan baik. Bahkan kalau aja adik lo nggak kelamaan nongkrong bareng temannya. Gue nggak akan punya kesempatan seperti sekarang."

"Dan karena perbuatan lo, gue yakin Rendra yang sekarang dimarahin habis-habisan sama Mas Awa. Udah deh, gue janji nggak akan laporin lo ke polisi."

"Lo laporin juga nggak masalah, gue bisa minta pengacara gue buat  kasih alasan logis. Lo lupa siapa gue? Palingan juga laporan lo, di SP3."

"Lo bener-bener ya—"

"Gue udah bilang, nggak bakalan ngapa-ngapain elo."

"Tapi lo udah cium gue. Lo melecehkan gue."

"Cuma dikening, dan nggak lebih!" kali ini intonasi suara Jordy meninggi. "Nggak usah terlalu sok polos lo di depan gue."

"Buat lo memang mungkin biasa aja mencium orang lain, tapi nggak bagi gue."

Jordy tersenyum melihat kemarahan dan kekesalan Mitha. Seolah itu adalah pemandangan menarik baginya.

"Lo cantik kalau lagi marah."

Kemarahan yang memuncak membuat gadis itu kehilangan akal. Sebuah tamparan mendarat mulus diwajah pria itu.

Plak

Wajah itu seketika mengeras. Tidak percaya

"Lo mau benar-benar gue lecehkan? Lo nggak sadar kalau dari kemarin gue sudah berusaha menahan diri? Oke gue akan tunjukin ke elo apa yang disebut dengan pelecehan." teriaknya marah.

Tubuh Jordy mendorong Mitha yang sudah ketakutan merapat ke dinding. Kemudian menahan rahangnya. Tak lama bibir mereka bertemu, benar- benar hanya bertemu.

Entah berapa lama sampai kemudian wajah pria itu terlihat sangat panik saat menyadari perbuatannya. Buru-buru melepaskan Mitha dan berlari menuju sebuah lemari. Mengeluarkan sebotol obat kumur. Hanya itu yang ada dikepalanya saat ini.

"Lo kumur-kumur, bersihan bibir lo. BURUAN!" teriak Jordy panik.

Mitha menatapnya tak percaya, pria didepannya bisa berubah seketika. Tangan pria itu menariknya tergesa menuju wastafel lalu membuka plastik kemasan dengan tergesa.

"Cepetan!" teriakan itu kembali terdengar.

Tidak ada jalan lain, gadis itu menurut dibawah hujaman tatapan Jordy. Seolah ia telah melakukan kesalahan besar.

"Habisin obat kumurnya. Bersihin bibir lo." Kembali perintah itu terdengar.

Saat semua selesai, tubuh tinggi itu lunglai. Kini Jordy terduduk dilantai sambil menangis.

"Lo pulang sekarang." Kalimat itu menyentak Mitha.

Perlahan Jordy bangkit menuju sofa. Mengaktifkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Lama mereka saling diam, sampai kemudian terdengar suara bel.

Kali ini mata itu terbuka, ada penyesalan besar disana.

"Lupakan kalau hari ini pernah ada dalam hidup lo. Gue janji nggak akan ganggu lo lagi. Seseorang udah nunggu di luar buat antar lo pulang."

Kemudian ia menarik tangan Mitha menuju pintu. Menatap wajah itu sekali lagi. Saat Mitha sudah keluar dari pintu ia berkata lirih, namun telinga Mitha masih mendengar.

"Gue sayang lo."

Pintu itu kemudian tertutup, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab dalam diri gadis itu. Beberapa pria bertampang menyeramkan seperti kemarin  sudah menunggunya. Siap membawanya kembali kekehidupan nyata. Ia kembali ketakutan melihat kehadiran mereka. Namun belum sempat berteriak,  mereka sudah membiusnya.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

Welcome September 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top