33
Thalia menatap kosong pada tubuh yang terbujur didepannya. Jordy masih berada di ruang ICU di sebuah rumah sakit milik salah seorang kerabatnya. Kondisinya masih belum stabil setelah peluru menembus bagian perut. Ia tidak meragukan kemampuan calon mantan suaminya dalam menembak. Hanya saja yang tidak bisa ia percaya, kenapa keahlian itu harus digunakan untuk melukai putranya. Apa masalah mereka sebenarnya?
Beruntung Mitha yang satu kantor dengannya, siang itu tengah menuju ruang kerja Jordy. Keduanya sudah berjanji untuk makan siang bersama. Ia sempat melihat Rudy terburu-buru memasuki lift. Dan segera menghubungi Thalia karena melihat tubuh Jordy yang tergeletak di lantai.
Wajah Thalia mengeras. Semua sudah selesai, ia siap kehilangan segalanya sekarang. Beberapa pengawal mendekati, mengiringi seorang pria yang dikenal sebagai pengacara pribadinya. Thalia berkata dengan suara pelan.
"Kirimkan surat gugatan ke pengadilan paling lambat besok pagi. Undang beberapa media agar banyak orang mengetahui kabar tentang gugatan saya. Layani saja kalau mereka meminta pembicaraan tentang harta gono gini. Saya sudah tidak peduli, pastikan segala sesuatu yang menjadi hak saya tidak akan pernah terganggu.
Jangan sampai satupun keluarga Subiantoro tahu tentang keadaan Jordy. Tutup seluruh akses mereka. Saya sengaja membawanya ke rumah sakit berbeda. Jangan biarkan mereka mendekat, ini adalah hak saya sebagai ibunya. Saya ingin privacy, sampai Jordy bisa saya bawa ke luar negeri.
Beri perlindungan ketat pada Kaia, Birawa dan Mitha beberapa bulan ke depan. Jangan ijinkan siapapun mendekati mereka. saya ingin membuat Rudy menyesal seumur hidupnya. Setelah ini ia akan tahu bagaimana cara meneteskan airmata karena sudah melukai putra saya. Kalian boleh pergi sekarang."
Wajah tanpa ekspresi itu kembali masuk kebagian dalam. Menatap tubuh putranya melalui dinding kaca yang menjadi batas antara mereka. Di sana putra sulungnya masih belum sadar. Di sudut ruangan ada Kaia masih memeluk Mitha. Kejadian ini mengejutkan mereka semua.
Sekilas ditatapnya Mitha, mata gadis itu terlihat kosong. Airmatanya tidak pernah berhenti. Ada rasa bersalah pada gadis itu. Seandainya Jordy bersedia menikahi kekasihnya sejak tahun lalu. Pasti semua akan berbeda. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat? Kenapa ia terpaku pada kekurangan putranya sendiri?
Kaiapun tak jauh berbeda. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Thalia tahu kalau keduanya sangat dekat. Jordy adalah kakak yang baik bagi adiknya. Putrinya terlihat sangat terpukul. Tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya.
Thalia merasa gagal sebagai ibu untuk kedua kalinya, setelah ia gagal sebagai istri. Ia tidak bisa melindungi Jordy dari kebringasan Rudy. Tapi berjanji dalam hati, bahwa ini adalah yang terakhir. Kalaupun ada yang harus mati, maka orang itu adalah Rudy.
"Ibu, Bapak Birawa sudah tiba, dan akan memasuki ruangan sebentar lagi." Sebuah suara mengejutkan mereka.
Thalia hanya mengangguk. Tak lama terdengar suara langkah berlari memasuki ruangan. Kaia menangis keras saat berada dalam pelukan kekasihnya.
"Aku nggak mau kehilangan Mas Ody, aku nggak mau dia pergi. Aku mau dia hidup!" teriaknya.
"Shhhh, Kamu nggak boleh begini."
"Kenapa harus Mas Ody? Kenapa bukan yang lain? Kenapa papi tega? Memangnya Mas Ody salah apa? Aku nggak akan terima kalau Mas Ody nggak ada." akhirnya tubuh Kaia terkulai lemah, ia pingsan.
Birawa membantunya berbaring di ruangan lain bersama beberapa perawat dan dokter yang segera datang. Kemudian pria itu memilih mundur sejenak dan menyapa Thalia baru kemudian memeluk Mitha adiknya yang terlihat sangat pucat dan ketakutan.
"Kamu di sini dulu, Wa. Pastikan Kaia dan Mitha baik-baik saja. Tante mau keluar sebentar, ada yang harus diurus." ucap Thalia sambil melangkah keluar ruangan. Ia sudah tidak sanggup berada disana. Entah kenapa bebannya terasa sedikit berkurang semenjak Birawa datang.
***
Rudy Subiantoro menatap kosong pada gelas anggurnya. Cairan berwarna merah itu tak mampu mengembalikan mood-nya. Tadi siang ia meninggalkan kantor dengan perasaan gusar. Entah setan apa yang tengah merasukinya. Sehingga bisa melakukan itu pada Jordy. Ia juga bisa ke luar dengan santai setelah melihat tubuh Jordy roboh di lantai. Kabar terakhir yang diterimanya, Thalia menjemput sendiri anaknya menggunakan helikopter dan membawanya pergi. Sayang ia belum mendapat kabar ke mana istrinya membawa putranya setelah itu.
Ia masih menunggu kabar dari para bawahannya dengan tak sabar. Apakah Jordy meninggal? Atau masih dirawat? Di rumah sakit milik keluarganya tidak ada pasien atas nama putranya. Jadi ke mana? Ia sudah menyebarkan mata-mata diseluruh rumah sakit, untuk mengetahui di mana Jordy dirawat.
Ia juga sudah menghubungi pengacara agar mampu meredam berapa berita yang akan muncul setelah ini. Tapi disisi lain ia merasa senang, karena berhasil membungkam putranya. Jordy tidak boleh mengabaikan kekuasaannya.Terdengar langkah memasuki ruangan mengganggu kesendiriannya.
"Ada kabar tentang Jordy?"
"Bukan tentang Jordy tuan, tapi ini tentang hal lain. Berita mengenai kematian rekan anda bernama Robin. Ternyata Sebastian yang melakukannya."
"Apa?! Sebastian mantan kekasih baru Robin?"
Orang tersebut menyerahkan sebuah laporan melalui tablet. Sekilas ia menatap layar itu, sampai kemudian wajahnya mengeras. Tangannya meremas gelas yang ada dalam genggamannya dan akhirnya membanting benda itu kelantai.
"Jordyyyyyy..." teriaknya panjang.
***
Thalia kembali berdiri di balik kaca. Menatap tubuh putranya yang sendirian di dalam ruangan. Wajah itu terlalu pucat, hampir sama dengan beberapa tahun yang lalu saat pertama kali Jordy mengaku memiliki virus terkutuk itu dalam tubuhnya. Padahal sudah ada beberapa kantong darah yang masuk ke dalam tubuhnya. Sampai saat ini dokter belum memberikan sinyal positif.
Hidup terasa tidak pernah adil untuknya. Menikah dengan Rudy akibat pernikahan bisnis. Saat itu Thalia masih terlalu muda untuk menyadari jika masalah dalam pernikahannya akan menjadi sepelik ini. Harus menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki orientasi sex menyimpang. Harus bertahan karena keinginan orangtua. Memiliki anak penderita HIV. Dan sekarang harus melihat anaknya meregang nyawa.
Satu-satunya yang membuatnya menyesal saat ini adalah menikah dengan seorang Rudy. Kenapa tidak dari dulu meminta berpisah? Terlalu takut dengan keinginan kedua orangtua karena bagi mereka perceraian adalah aib? Atau sungkan terhadap mertuanya yang begitu baik? Ia takkan membiarkan lelaki itu menghancurkan kehidupannya lagi. Apalagi mengusik Kaia. Ia sudah merubah seluruh rencana sekarang. Tidak peduli bagaimana kelak dunia menentangnya, mengatakan ia si pembuat malu keluarga. Sudah cukup ia bertahan.
Ditatapnya Kaia yang masih ada dalam perlukan Birawa. Sementara kini Mithalah yang berada dalam pengawasan seorang dokter. Di luar sana entah apa yang sedang bergejolak. Ia memilih tidak tahu dan mundur dari keributan yang diciptakan Rudy. Biarlah, pria itu menyelesaikan apa yang sudah menjadi perbuatannya. Karena pasti berita ini telah menyebar.
Ia takkan peduli pada harga saham, tingkat kepercayaan pasar dan banyak lagi hal buruk yang akan datang dengan adanya skandal dan peristiwa ini. Baginya sekarang lepas dari laki-laki gila itu adalah sesuatu yang harus dilakukan secepat mungkin.
Lulu sang asisten terpercaya mendekatinya yang masih berdiri.
"Maaf, pengacara keluarga Subiantoro ingin berbicara secara pribadi dengan anda."
"Saya sudah katakan tidak ingin berbicara dengan pihak mereka. Minta hubungi pengacara saya saja."
"Ini penting, nyonya. Perintah dari rumah besar langsung."
"Saya tidak peduli apakah itu dari mertua saya atau siapapun. Saya sedang ingin sendirian. Apa pesawat sudah siap?"
"Sudah nyonya, anda bisa segera berangkat kapanpun anda inginkan."
Thalia menoleh pada Birawa.
"Apa kamu akan kembali malam inI, Awa?"
"Ya, tan. Besok saya masih harus bekerja."
"Kamu pulang dengan pesawat itu pagi ini. Beberapa orang akan melindungi kamu. Jangan kaget kalau mereka ada disekitarmu nanti. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Dan ingat, jangan sampai berita ini didengar oleh siapapun. Saya tidak ingin papi mereka mengambil kesempatan."
"Baik, Tan."
"Saya yang akan menjaga Kaia dan Mitha."
Birawa kembali mengangguk.
"Boleh saya berbicara sesuatu?"
"Silahkan."
"Menikahlah secepatnya dengan Kaia. Kalau kamu bersedia, saya akan mengatur segalanya."
Birawa menatap Thalia tak percaya.
"Ini hanya pernikahan kecil. Tidak akan banyak yang tahu. Hanya agar kalian menikah secara resmi. Kamu bisa tinggal bersama Kaia. Saya mungkin akan kehilangan banyak uang setelah ini. Kaia tidak akan sekaya sekarang kalau Rudy mencabut hak kami. Apa itu mengganggu kamu?"
"Sama sekali tidak, saya bisa menerima Kaia apa adanya."
"Terima kasih, tapi saya pastikan kalian tidak akan kekurangan. Malam ini tim saya sedang mengalihkan beberapa aset yang memang milik saya pribadi, hasil dari kerja keras saya.
Saya khawatir dengan kondisi Jordy, jadi paling tidak akan ada kamu yang berada disamping Kaia. Rudy dan keluarganya pasti mencari kami. Saya akan membawa mereka secepatnya. Kamu boleh tenang, Mitha akan aman bersama saya."
"Pernikahan akan berlangsung besok malam. Maaf saya tidak bisa mengundang keluarga kamu. Karena saat ini saya tidak bisa percaya kepada siapapun di luar sana."
"Baik, Tan." Ucapnya sekali lagi. Memberikan senyum lega pada diri Thalia.
"Pulanglah, besok sore kamu akan kembali kemari, untuk menikah. Saya juga masih menunggu kondisi Jordy lebih baik. Agar kami bisa pergi bersama."
***
Rudy Subiantoro masih mengamuk. Seluruh benda di kamarnya sudah hancur berantakan. Rahangnya mengeras, tangannya penuh darah. Ia marah pada siapapun yang mendekat. Terutama pada informasi yang didengarnya. Bahkan ia sudah meminta seseorang untuk menghabisi orang tersebut.
Ia sudah menembak darah dagingnya sendiri. Saat ini, Sebastian pasti sedang tertawa, karena dendamnya atas kematian Robin terbayar lunas. Apalagi jika tahu kalau ia sendiri yang menghabisi nyawa putranya. Terngiang kalimat yang dulu sering diucapkan Thalia.
[Kamu sakit, Rud. Kamu tidak bisa mengendalikan emosi kamu! Berapa lama lagi kamu tidak menghancurkan keluarga kamu sendiri.]
Bagaimana bisa ancaman Jordy sama dengan berita yang disampaikan Sebastian? Kamar terasa berputar. Kalimat itu semakin keras menghantam pendengarannya. Bahkan teriakannya tidak mampu lagi menghilangkan suara Thalia.
***
Kupeluk tubuhku sendiri, apa yang dilakukan Tante Thalia benar-benar berada diluar dugaanku. Malam ini aku terbang sendirian ke Singapura. Kedatangan dan kepergianku dijemput langsung oleh orang-orang Tante Thalia. Aku tidak pernah menyangka sebesar ini kekuasaannya.
Ini bukan lagi saat untuk bertanya. Aku yakin ada hal yang bersifat ahasia tengah terjadi di keluarga mereka. Sesuatu yang aku yakini merupakan masalah besar. Mengingat Tante Thalia adalah orang yang sangat cermat dalam memperhitungkan sesuatu.
***
Maaf untuk typo
141020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top