32

"Mau nanya apa?"

"Ngapain rajin belajar masak?"godaku sambil meraih pinggangnya agar mendekat.

"Karena Kak Awa lebih suka makan di rumah. Aku nggak mungkin mengandalkan Mbak Warti terus."

"Ada tangan kamu yang keiris, nggak? Setahuku rendang itu bumbunya banyak." Tanyaku sambil meraih jemarinya seolah mencoba meneliti.

Kaia tampak menggeleng sambil tertawa lebar."Yang buat bumbunya belum aku. Cuma kebagian ngaduk tadi. Tapi lama banget ternyata matengnya."

"Nggak kepanasan di dapur?"

"Nggak terlalu sih, diajarin penggunaan apinya, dari yang tadinya besar sampai kecil."

"Aku senang kamu belajar. Kalau begitu mending sekalian kamu jadi istri Kak Awa, mau?"

Kaia tertegun, menatapku tak percaya.

"Menikah? Kak Awa yakin?"

"Jawab dulu kamu mau atau tidak?"

"Kakak serius?"

"Banget, kepingin kamu nggak usah pulang lagi kalau kita ketemu kayak gini. Bisa peluk-peluk kamu seperti ini setiap malam."

Wajah gadis itu kini bersemu merah namun akhirnya mengangguk. Birawa mengecup kening Kaia dengan lembut cukup lama. Kemudian menggandeng perempuan itu menuju ruang tengah.

"Sorry, aku bukan pria romantis yang melamar kekasihnya disaat makan malam."

"Sudah tahu dari dulu, jadi aku nggak akan kaget. Kak Awa ingat masih punya pacar saja aku sudah senang." Kali ini aku hanya bisa menggaruk kepala.

"Juga nggak pakai cincin."

"Kemarin sudah dibelikan, ini." balas Kaia sambil menunjukkan cincin pemberianku sambil tersenyum.

"Aku mau menyampaikan beberapa hal, anggaplah sebuah kesepakatan dari pihakku. Bisa kita bicara sekarang?"

Kaia kembali mengangguk dan kini posisinya berpindah, berbaring dipangkuanku. Sesuatu yang biasa ia lakukan saat kami bicara serius. Kugenggam erat jemarinya, karena sebenarnya aku juga tidak nyaman membicarakan ini. Meski disaat yang sama tidak ingin ia menjadi sengsara saat menikah denganku nanti.

"Aku ingin setelah menikah kita tinggal di rumahku. Meski kecil dan fasilitasnya tidak selengkap di rumah kamu. Tapi hanya ini yang aku punya. Aku tidak ingin kelak menjadi bahan pembicaraan orang, dan dianggap menumpang di rumah kamu.

Tapi kalau kamu rindu menginap disana, ya kita kesana. Hanya saja alamat tempat tinggal kita ya tetap disini. Sampai kelak aku sanggup membeli rumah yang lebih besar. Aku akan berusaha membuat kamu nyaman untuk hidup bersamaku."

"Apa nggak bisa kita nego sedikit? Kayaknya barang-barangku nggak akan muat kalau harus dipindah ke kamar Kak Awa."

Kejujurannya menyentakku. Ia benar!

"Ya bawa seperlunya saja kemari. Aku akan merenovasi kamar diatas sedikit supaya lebih besar. Tapi sesuai dengan budget-ku."

Akhirnya kulihat ia tersenyum dan mengangguk, meski tahu bahwa ini adalah keputusan yang cukup berat untuknya.

"Yang kedua, aku adalah anak sulung. Meski adik-adikku sudah besar. Mereka terbiasa dekat denganku, dan akan mencari kalau sedang butuh sesuatu atau ingin curhat. Kamu nggak boleh cemburu sama mereka. bersikaplah juga seperti seorang anak sulung, meski aku yang punya tanggung jawab itu. Kamu tidak akan pernah jadi nomor dua. Jadi tenang saja."

"Selama ini aku nggak pernah protes tentang itu. Asal Kak Awa ngomongnya jujur. Aku nggak masalah. Tapi jangan meninggalkanku berhari-hari karena itu."

Kini aku yang tersenyum, Kaia benar. Ia sudah terbiasa menyaksikan itu.

"Aku janji. Ketiga, aku tidak memiliki penghasilan besar. Gunakanlah penghasilanku untuk membiayai kita berdua dan anak-anak nanti. Tapi kalau dari sisi kamu, ya bebas. Karena aku tahu angka di rekening kamu bisa membuatmu membeli apa saja. Artinya, aku ingin agar akulah yang memberi kamu nafkah meski hanya untuk kebutuhan dasar kita. Apa kamu bisa?"

"Maksud Kak Awa gimana sih?"

"Uang kamu adalah milikmu, aku tidak akan ikut campur. Tapi uang yang berasal dari aku milik kita berdua. Jadi belajarlah untuk mengatur keuangan kita."

"Yang ini kayaknya aku harus belajar deh." jawabnya dengan wajah memelas sehingga terlihat lucu.

"Nggak susah kok. Contohnya saat belanja bulanan gunakan uangku. Tapi kalau mau hangout bareng teman-teman kamu, ya nggak apa-apa gunakan uang kamu."

"Kayak aku punya teman aja selain Mitha." balasnya sambil cemberut.

"Kan ada sepupu kamu, relasi kamu nanti di kantor."

Kembali Kaia mengangguk, wajahnya terlihat sangat menggemaskan. Kalau sudah begini rasanya tidak sabar untuk menghalalkannya secepat mungkin. Agar aku bisa mengurungnya di rumah.

"Masih ada lagi?" tanyanya.

"Aku akan menandatangani perjanjian pra nikah untuk melindungi kepemilikan kamu yang berasal dari harta orangtua kamu. Aku tidak akan menuntut apapun atas segala harta bergerak dan tak bergerak milik kamu. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk terhadap hubungan kita, aku hanya akan membawa sesuatu yang menjadi hasil kerja kerasku setelah dipotong bagian kamu dan anak-anak nantinya."

"Aku tidak ingin terjadi perceraian. Kita bukan membicarakan itu, kan?"

"Tidak, tapi kita berbicara tentang sekian tahun yang akan datang. Dimana dunia terus berputar, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Kita sedang membicarakan pernikahan. Kamu punya syarat untuk aku?"

Ia menatapku lekat namun kemudian tersenyum.

"Aku cuma mau Kak Awa sayang dan setia sampai kapanpun. Dan berharap tidak ada kejadian seperti papi nantinya." Matanya berkaca setelah mengucapkan kalimat itu.

Aku baru menyadari satu hal, Kaia sangat terluka dengan kehidupannya selama ini. Ia bukan mencari seseorang yang sepadan dengannya. Tapi sebuah kepastian bahwa laki-laki itu tidak akan mengkhianati cinta dan kepercayaannya.

Tante Thalia benar, Kaia adalah korban dari pilihan dan keputusan yang diambil oleh Om Rudi. Kuelus rambutnya dan kuhapus airmatanya dengan ibu jari.

"Aku janji, itu tidak akan terjadi." jawabku sambil mencium kening halusnya.

Satu yang semakin kupahami, Kaia manja dan selalu ingin diperhatikan. Meski ia tidak akan pernah menuntut dengan kata-katanya. Tapi kalau aku sudah memanjakannya maka ia akan selalu menuruti apa yang kuinginkan. Meski begitu aku tetap membatasi diri, aku ingin memilikinya utuh disaat yang tepat.

"Kak,"

"Hmm?"

"Ia baru sadar, tadi ngelamarnya di dapur kan ya? Nanti kita akan cerita apa kalau suatu saat ditanyain sama anak-anak?"

Kami berdua tertawa

***

"Apa?! Kaia mau menikah dengan Birawa? Tidak bisa!" teriak Rudy Subiantoro pada istri sahnya. Sementara Thalia hanya diam dikursi sambil menatap suaminya dengan tenang.

"Alasan kamu?"

"Mereka tidak sepadan. Kamu tahu siapa dia! Cuma arsitek kelas rendahan! Bagaimana masa depan Kaia nanti?"

"Maunya kamu dia menikah dengan siapa? Dengan orang kaya yang akhirnya berakhir seperti kamu? Bisa makin menderita dia."

Rudy segera terdiam, dengan marah ia menatap Thalia.

"Sekali lagi, jangan pernah menyinggung pilihan hidupku kalau kamu tidak bersedia jatuh miskin."

"Dan pertama kali aku katakan, jangan mengusik kebahagiaan putriku. Kamu mungkin tidak pernah memikirkannya, tapi aku ibunya. Aku tidak ingin anak-anakku mengalami seperti yang kualami."

"Kamu pakai logika dong, Thalia. Dia juga kakak laki-laki Mitha, kekasih Jordy."

"Kalau Mitha kamu setuju, kenapa? karena Jordy sakit? Lalu bagaimana dengan masa depan Mitha? Bagaimana kalau Jordy meninggal sebelum punya anak. Kemana Mitha? Jangan egois kamu."

"Aku akan membuat pernikahan itu batal."

"Silahkan, maka sekarang juga aku akan mengajukan perceraian. Dan aku akan mengakui penyebab perceraian kita."

"Jangan lancang kamu!" teriak Rudy.

"Aku sudah mencoba bertahan karena ibu kamu memohon sampai mencium kakiku. Tapi kalau karena kamu, putriku tidak bahagia, maka kamu pun tidak layak untuk bahagia. Camkan itu!" Balas Thalia tak mau kalau.

"Kamu—" Rudy Subiantoro sudah hampir menapar istrinya saat sebuah tangan menahan.

Pria itu menoleh kesamping, ada Jordy disana. Entah darimana putra sulungnya itu datang.

"Sekali tangan papi menyentuh mami, maka aku berjanji bahwa hidup papi akan menderita selamanya."

"Kalau sampai pernikahan mereka terjadi. Maka saya akan membuat kacau."

"Papi juga harus dengar satu hal. Kalau papi nekat, maka aku akan mengangkat kisah kematian tragis Om Robin mantan kekasih papi. Bagaimana ia harus meregang nyawa karena kecemburuan papi. Jangan lupa aku masih menyimpan foto kejadian tersebut.

Papi jangan menganggap diri hebat. Papi itu nggak beda denganku. Cuma bisa berlindung dibawah ketiak eyang dan mama. Papi memang pengusaha yang hebat, tapi tahu satu hal? Aku sama sekali tidak bangga menjadi anak papi.

Mami memang tidak pernah punya waktu untuk kami. Karena mami juga sibuk mengobati lukanya sendiri. Nah papi? Ngapain? Sibuk kencan sama pacar-pacar yang cuma bisa ngabisin uang itu, kan?

Sekarang aku tanya, berapa uang Kaia dihabiskan oleh Birawa? Terus uang papi bagaimana?"

"Jangan kurang ajar kamu jadi anak."

"Dulu aku diam, tapi sekarang tidak lagi. Aku capek lihat papi seperti ini. Kalau papi tidak bisa menyayangi anak-anak papi, minimal jangan mengusik kebahagiaan kami."

Rudy Subiantoro menatap marah pada istri dan putra sulungnya. Baru kali ini mereka berani melawan. "Jangan panggil nama saya Rudy kalau saya tidak bisa menggagalkan semua."

"Dan jangan panggil saya Jordy kalau saya tidak bisa memperbaiki semua."

Rudy Subiantoro melangkah keluar dari kamar Thalia. Membiarkan sang istri yang terduduk serta tatapan tajam putra sulungnya.

***

Di sebuah apartemen mewah.

"Kenapa bisa seperti itu? Blokir semua berita di media!"

"Tidak bisa pak, sudah banyak yang mendownload dari kanal youtube."

"Kalian benar-benar tidak berguna!" teriak Rudy Subiantoro sambil melempar gelas yang tengah dipegangnya. Seorang pria muda mencoba menenangkannya.

"Aku akan membuat perhitungan dengan anak itu! Cari informasi dimana dia berada!" teriaknya sambil mengambil sebuah senjata dari sebuah laci. Menyelipkannya dibalik jas kemudian melangkah pergi. Tidak ada yang berani menahan langkahnya. Termasuk sang kekasih tampannya yang tengah berdiri anggun. Beberapa orang kemudian mengikuti dari belakang.

Mobil melaju kencang menuju kantor tempat Jordy bekerja. Buru-buru pria itu melangkah memasuki ruangan putranya. Disana Jordy yang tengah menandatangani beberapa dokumen yang ada dihadapannya menatap kaget kearah pintu.

Tanpa basa basi Rudy berteriak pada beberapa orang yang berada didalam ruangan.

"Tinggalkan kami berdua, sekarang juga!" semua menurut, hingga akhirnya hanya tinggal mereka berdua.

Dengan santai Jordy berdiri, dan melangkah menghampiri. Namun terhenti, saat sang ayah mengeluarkan senjata dari balik jasnya.

"Kamu benar-benar keterlaluan, apa maksud kamu menyebarkan berita tentang kematian Robin."

Jordy tertegun sebentar, menatap ayahnya dengan sedikit aneh. "Saya tidak pernah menyebarkan itu. Lagipula papi belum melakukan tindakan apapun pada Kaia dan Birawa. Jadi kenapa saya harus melakukan yang papi tuduhkan?"

Mata Rudy Subiantoro semakin menggelap, tiba-tiba tubuh Jordy rubuh di lantai, diiringi senyum puas sang ayah.

***

Maaf untuk typo

121020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top