30
Mitha sudah pasrah, apapun yang terjadi ia harus siap saat tangan tunangannya benar-benar melepas kemeja yang tengah dipakainya. Ia memilih memejamkan mata, berteriak pun tak ada gunanya. Karena kamar ini kedap suara.
Jordy memciuminya bertubi-tubi. Bahkan pria itu berhasil membuka kemejanya. Mitha sudah tenggelam dalam nafsu Jordy saat tiba-tiba semua terasa dingin. Pria itu menggulingkan tubuhnya kemudian duduk ditepi ranjang. Meremas rambutnya sendiri kemudian menangis. Perlahan pria itu bangkit lalu meninju dinding berkali kali. Mitha segera berdiri, memeluknya dari belakang.
"Bagaimana aku bisa membuat kamu hamil. Kalau melakukan saja aku nggak sanggup. Aku sayang kamu Mit, dan nggak mau kamu terkena penyakit yang sama."
Mitha hanya diam, namun masih memeluk Jordy dari belakang. Sampai kemudian pria itu berbalik dan membalas pelukannya. Lama keduanya menangis.
"Berkali-kali aku ingin melepas kamu. Tapi nggak sanggup. Sampai sekarang pun masih belum yakin kalau kamu benar-benar cinta atau cuma kasihan ke aku. Tapi aku memilih tidak peduli. Aku egois, karena memilih memenangkan keinginanku sendiri."
Keduanya saling bertatapan, Mitha membelai rahang itu dengan ibu jarinya.
"Apa kamu cinta aku?" bisik Jordy.
Mitha tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Tapi kenapa aku merasa kalau kamu bohong?"
"Aku nggak berbohong." Balas Mitha.
Jordy kemudian mengecup bibir itu dengan penuh rasa sayang. Keduanya kembali tenggelam. Sayang, keintiman tersebut terganggu dengan suara pintu terbuka. Pria itu sudah mau marah, apalagi mengingat tubuh Mitha yang sudah hampir naked.
Sayang, ia tidak bisa marah karena Kaia lah yang ada didepan pintu. Sang adik yang baru memasuki kamar terkejut melihat adegan yang dilihatnya. Jordy segera menutupi tubuh tunangannya dengan tubuhnya.
"Ngapain masuk tanpa ketuk pintu dulu!?" teriak sang kakak.
"Sorry, aku kira cuma Mas Ody sendirian di dalam." Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Kaia segera menutup pintu sambil menggelengkan kepala
Tak lama, sang kakak menemui adiknya yang tengah duduk di sofa.
"Ambilin baju kamu, buat dipakai Mitha."
"Makanya nggak usah ganas gitu sama anak orang, sampai bajunya rusak. Kasihan tahu pasti dia malu banget. Awas kalau mas macam-macam. AKu laporin Kak Awa." Goda Kaia.
"Awas kalau berani." Balas Jordy sambil bercanda.
Selesai berganti pakaian keduanya bergandengan tangan ke luar kamar. Berbeda dengan Jordy yang tidak peduli, Mitha malah tertunduk malu. Enggan mencampuri urusan mereka, Kaia bertanya.
"Sudah pada makan? Bareng yuk."
Keduanya mengangguk dan menuju ke ruang makan.
"Bagaimana kabar Awa?" tanya Jordy.
"Biasa aja, katanya besok mau ke Kamboja bareng seniornya. Ada proyek di sana."
"Kamu betah ditinggal terus?"
Kaia mendongak, pertanyaan yang aneh menurutnya.
"Sudah biasa, jadi nggak ada masalah. Yang penting aku yakin perasaan dia cuma buat aku. Nah kalian berdua, kenapa nggak menikah aja sih? Supaya jelas dan legal. Mau sampai kapan kayak tadi terus?"
"Kok kamu jadi menasehati kami?" Tanya Jordy.
"Bukan menasehati, cuma kasih saran. Jangan sampai kalian berdua kehilangan tujuan. Terus merasa bebas mau ngapa-ngapain."
"Siapa yang nyuruh kamu ngomong begini?"
"Nggak ada, cinta itu butuh diresmikan, bukan cuma dipelihara!" ucap Kaia sambil bangkit berdiri.
"AKu pulang dulu. Karena besok pagi harus meeting bareng mami. Tolong pikirin apa yang tadi kusampaikan."
Jordy meletakkan sendok dan garpunya. Menatap tubuh sang adik yang menghilang dibalik lift. Ditatapnya Mitha yang juga membalas tatapannya.
"Apa yang disampaikan Kaia sepertinya layak buat kita renungkan." ucap Jordy.
"Aku ngomong sama Mas Awa dulu."
"Kamu kenapa sih? Setiap ada apa-apa selalu curhat sama Birawa? Apa aku belum cukup?"
Mitha hanya tersenyum sedih menatap tunangannya.
"Aku lagi nggak mau memancing emosi kamu. Ini tentang pernikahan nggak se-simple yang kamu pikirkan. Coba kamu bayangkan, dengan kehidupan selama ini apa salah kalau aku menanyakan pendapatnya? Aku sudah melakukan kesalahan waktu kita mau tunangan. Hasilnya masku pergi ke Singapura tanpa pamit. Saat itu dia kecewa banget sama aku. Lalu apa sekarang aku juga harus melakukan yang sama?
Hubungan kamu dan Kaia berbeda dengan hubunganku dan Mas Awa. Dia pernah menjadi orang yang memberi aku makan saat beberapa kali kiriman papi terlambat. Memastikan kalau uang kuliahku dibayar tepat waktu. Kalian tidak pernah hidup kekurangan. Dia harus kerja apa saja untuk bisa membuat kami bertahan hidup. Posisi kamu dan dia berbeda."
Mata Mitha berkaca-kaca sementara Jordy menatapnya tidak percaya.
"Dan tolong, jangan pernah meminta aku lagi untuk tidak mendengarkan dia. Karena sudah pasti nggak bisa. Aku lebih memilih kehilangan semua yang ada sekarang asal jangan Mas Awa."
"Kamu nggak benar-benar mencintai aku?"
"Kalau sudah sejauh ini kamu masih bertanya seperti itu, aku nggak punya jawaban apapun lagi."
"Atau sejak awal kamu memang hanya kasihan? Mungkin kamu ingin menikmati apa yang aku punya."
Mitha menghembuskan nafas kasar.
"Besok kita ketemu lagi, tolong berpikir dulu sebelum kamu mengucapkan sesuatu. Aku pulang dulu."
"Aku larang kamu pulang, kita menginap disini."
"Aku akan menginap di sini kalau kita sudah menikah. Sekali lagi tolong, jangan memaksa untuk ikut mau kamu terus. Aku sayang sama kamu, bukan karena kasihan atau menginginkan sesuatu. Mas."
Selesai mengucapkan itu Mitha berlalu. Meninggalkan Jordy yang mematung sendirian. Apakah ia sudah salah mengartikan cinta? Kenapa masalah mereka menjadi seperti ini? Awalnya ia hanya takut menulari Mitha. Ia tak akan bisa hidup dan mati dengan tenang kalau itu terjadi. Tapi kenapa dia tidak mengerti?
***
Kurapatkan syal yang melilit leher. Cuaca seoul tidak terlalu ramah untukku. Bersama mami kami baru saja keluar dari pabrik kosmetik. Aku sendiri tidak tahu apa gunanya kedatangan kami. Aku merasa hanya seperti tour, entahlah aku sendiri tidak menggunakan merk kosmetik tersebut. Tapi sebagai tamu, aku sudah bersikap dengan santun.
Mami masih sibuk dengan ponselnya. Di depan kami ada Mbak Lulu asistennya. Beberapa kali kening mami berkerut dan membuang nafas perlahan. Sebuah kebiasaan saat ada masalah besar yang datang menghampiri.
"Jordy ada cerita sesuatu ke kamu?" tanya mami tanpa menoleh padaku.
"Enggak. Kenapa, mi?"
"Dia mau bicara pribadi, katanya tentang dia dan Mitha."
Aku memilih tidak menjawab.
"Apa menurut kamu dia berencana menikah dengan Mitha?" tanya mami lagi.
"Mungkin sih."
"Ya, Jordy sudah cukup usia untuk menikah. Tapi-" mami menghentikan kalimatnya.
"Kamu dengan Birawa, bagaimana?"
"Baik,"
"Tidak mau tunangan atau langsung menikah?"
"Mami lebih mirip seperti ibu-ibu yang anak perempuannnya belum menikah dan ngebet punya cucu." Protesku.
"Akhir-akhir ini mami sering kepikiran kalian. Papimu tidak akan sanggup mengurus pernikahan. Dia hanya sibuk dengan kekasihnya. Kamu juga tahu kan kalau kesehatan mami menurun? Sebelum semua terlambat, lebih baik dilakukan sekarang."
Kutatap mami dari samping, ya ada beberapa perubahan dalam diri mami. Aku menyadarinya namun tidak tahu kenapa.
"Mami kepingin kalian menikah. Mami tidak takut tentang masa depan kamu, karena tahu bagaimana Birawa. Tapi masmu? Dia sangat labil. Masalah sedikit saja bisa membuatnya down. Dia butuh perempuan yang kuat, sayang Mitha bukan perempuan seperti itu. Tapi dia sangat lembut, bisa meredam emosi masmu yang kadang tidak terkendali. Tidak ada manusia yang sempurna, kan?"
Aku hanya mengangguk.
"Sampaikan pada Birawa kalau setelah ini mami mau bertemu dengannya. Sebelum kita ke Jakarta, undang dia untuk makan malam di apartemen. Mami mau bicara secara pribadi dengannya. Hanya berdua saja!"
Kalimat terakhir mami mengagetkanku. Apa maksud mami sebenarnya?
***
Aku baru saja tiba di rumah saat Kaia menghubungi.
"Ada apa, Ia?"
"Kak, mami mau bicara. Kapan ada waktu?"
Kaia kemudian menjelaskan maksud pertemuan dengan maminya. Ada apa sebenarnya?
"Aku masih di Singapura, sih, mami kamu kira-kira mau bicara tentang apa?"
"Mami nggak mau bilang apa-apa. Dia cuma minta agar kalian bicara berdua. Aku saja nggak boleh ikut."
Aku berpikir keras, apa mami Kaia tidak setuju aku melanjutkan hubungan dengannya? Atau ada hal penting lain menyangkut Mitha?
"Ya sudah, bilang mami kamu, aku siap kapan saja. Yang penting sepulang dari kantor kalau hari kerja. Weekend aku free."
"Nanti aku sampaikan ke mami. Kak Awa sudah makan?"
"Belum, ini mau keluar bareng Theo."
"Ya sudah, habis ini aku mau belanja bareng mami. Aku pamit ya, kak."
"Iya, hati-hati." jawabku.
Satu hal baru yang ada dalam hubungan kami sekarang ini adalah, saling pamit kemanapun kami akan pergi. Kuakui, aku yang dulu sangat kaku kini berubah. Sudah bisa mengikuti keinginan Kaia. Setelah peristiwa ulang tahun waktu itu, aku mulai belajar memahaminya. Awalnya sulit, karena aku terbiasa mengatur adik-adikku.
Namun perlahan semua membaik, karena kesabaran Kaia. Bahkan kini aku sudah bisa berdiri dengan kepala tegak saat mendampinginya. Kupikir tidak seharusnya aku menyalahkan Kaia untuk masalah kami dimasa lalu tanpa aku memberikan penjelasan atas sikapku padanya. Meski kadang ada tatapan tidak enak yang kuterima dari orang lain. Terlebih kenalan Kaia. Kupikir aku toh tidak menumpang hidup pada mereka.
Ada sebuah perubahan besar yang membuatku seperti itu. Pertama lingkungan pergaulan. Rekanku Theo banyak mempengaruhi. Yang terakhir kemampuan finansialku jauh lebih baik sekarang. Apalagi biaya hidup Mitha sudah tidak perlu kutanggung karena sudah memiliki penghasilan sendiri. Tinggal Rendra dan biaya rumah di Jakarta.
Akhirnya aku keluar dan mengetuk pintu kamar Theo. Sahabatku itu segera keluar. Berdua kami menyusuri jalan. Akhirnya pilihan jatuh pada sate. Menikmati sate di negeri orang rasanya cukup menyenangkan. Meski tak jauh dari Jakarta aku merasa senang bisa mengobati rindu.
Kadang Kaia juga mengirimkan makanan seperti rendang atau berbagai macam teman makan nasi. Theo lah yang paling senang saat aku mendapatkan kiriman itu. Karena kami sama-sama suka makan. Tinggal memasak nasi, lalu memanaskan ke dalam microwave.
Oh ya, bulan lalu aku berhasil membelikan cincin pada Kaia sesuai kemampuanku. Ia terlihat sangat senang dan terus tertawa. Setahuku sampai saat ini tidak pernah melepaskan kecuali saat mandi. Harganya cukup menguras kantong, tapi tak apalah sesekali untuk kekasih. AKu bangga bisa membelikan untuknya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
51020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top