29
Kenapa judulnya CINTA TAK SELAMANYA INDAH? Karena sebuah hubungan serius adalah proses bagi setiap orang untuk memperbaiki diri. Dan proses itu pasti tidak mudah sekaligus tidak indah.
CTSI juga akan slow update untuk sementara. Karena saya akan fokus sebentar di kwikku. Disana deadline sampai 31 Oktober. Sementara saya baru menyelesaikan 9 bab. Dari target 26 bab.
Disini nggak akan saya tinggal, tapi tergantung mood. Karena jujur mengerjakan dua cerita dengan emosi yang berbeda cukup sulit. Takutnya nanti satupun tidak ada yang selwsai dengan baik. Mohon maaf ya....
***
Menggenggam jemari jemari Kaia, Aku melangkah memasuki Paragon Mall. Entah kenapa tadi ia merengek untuk dibawa kemari. Aku hanya menurut, karena memang seperti itulah perempuan. Tak lama berkeliling, ia membawaku memasuki sebuah gerai pakaian pria yang sangat eksklusif. Perasaanku seketika menjadi tidak enak.
Meski tidak ada yang mengenal kami disini, tapi sepertinya outfit Kaia sudah menunjukkan kelasnya. Sehingga para pramuniaga segera menghampiri lalu dengan sopan berbicara dan bertanya kepadanya. Aku memilih melihat-lihat saja dari jauh. Tidak mungkin membeli sesuatu disini. Kalkulator diotakku sudah bisa menghitung berapa rupiah harga satu buah kaos digerai ini.
Sayang, tak lama Kaia muncul dengan membawa tiga buah kemeja lengan panjang. Yang tanpa mencobapun aku tahu bahwa itu adalah ukuranku.
"Kamu ngapain?" bisikku, tidak enak pada penjaga toko yang tersenyum ramah pada kami.
"Aku belum beli hadiah buat Kak Awa. Ini kayaknya bagus." jawabnya tanpa peduli akan perubahan wajahku. Sekilas kulihat harga yang tertera ditagprice. Benar, hampir seperempat bulan gajiku.
"Nggak usah, Ia. Aku masih punya kemeja buat ngantor."
"Nggak apa-apa, ini kan hadiah ulang tahun."
"Tapi belinya jangan di sini, Ia."
"Memangnya kenapa?" tanyanya heran sambil memeluk kemeja tersebut.
Jujur aku tidak ingin mempermalukannya ditoko ini. Karena itu kutarik ia kesebuah sudut. Untung toko sedang sepi.
"Kamu tahu? Pak Reza yang punya perusahaan tempatku bekerja pakai merk ini. Dan itu wajar banget, mengingat penghasilan dia pertahun. Tapi ini aku, Ia. Yang levelnya jauh dibawah Pak Reza. Bagaimana ceritanya kalau dia tahu kami mengenakan kemeja yang merknya sama? Jangan-jangan aku langsung dianggap karyawan durhaka. Dan bisa jadi alasan dia untuk memecatku."
Kaia menatapku tak percaya, atau mungkin baru kali ini ia berpikir sejauh itu. Dengan wajah sedih ia meninggalkanku. Dan menyerahkan kemeja tersebut pada pramuniaga yang menunggu sejak tadi. Hilang sudah keceriaan yang terlihat diwajahnya. Melihat itu aku jadi tidak tega. Apalagi ketika ia menoleh pada kemeja yang dipilihnya tadi.
Ada rasa bersalah dalam diriku, ia memang tidak mengatakan apapun. Tapi aku tahu seberapa besar kekecewaannya. Akhirnya aku menghentikan langkah kami. Ia menatapku, matanya berkaca-kaca. Kalau sudah seperti ini, aku tidak punya pilihan lain.
"Kayaknya yang warna hijau tadi bagus ya." ucapku.
Mata indah itu mengerjap.
"Beli satu aja ya, buat disimpan. Siapa tahu kapan-kapan kita jalan bareng, jadi Kak Awa nggak perlu malu." bisikku.
"Kak Awa nggak marah kan?"
Aku menggeleng, bergegas menarik tangannya ke toko tadi. Kali ini aku kembali menemukan keceriaannya. Dengan semangat Kaia melangkah menemui sang penjaga toko. Aku hanya mengikuti dari belakang.
***
Malam harinya, Kami menemui Mitha, Jordy dan Rendra di apartemen milik keluarga Mereka. Jordy menatap tak percaya saat aku menggandeng tangan Kaia masuk.
"Lo di sini? Kapan?" teriaknya.
"Tadi pagi." jawabku. Tidak ingin Kaia kehilangan muka didepan kakak laki-lakinya.
Sementara Rendra terlihat biasa saja. Ia segera memelukku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Mitha kemudian mengikuti. Aku membalas pelukan mereka dengan haru. Adik perempuanku sudah banyak berubah. Kulihat dari penampilannya. Bukan lagi Mitha yang sederhana dan harus berpikir ulang saat hendak membeli sesuatu. Mungkin suatu saat nanti, aku juga akan seperti dirinya. Mengingat bagaimana tadi siang aku tidak sanggup menolak keinginan Kaia.
Kami makan malam berlima. Dilayani oleh para pengurus rumah tangga mereka. pembicaraan didominasi hal ringan. Tidak sedikitpun Jordy menyinggung hubunganku dengan Kaia. Mungkin nanti, pikirku. Ia juga pasti menjaga perasaan adik sematawayangnya.
Sampai kemudian selesai makan, Aku dan Jordy duduk di ruang tengah sambil menatap kerlip lampu di kejauhan. Rendra memilih tidur, sementara Mitha dan Kaia sudah masuk ke kamar masing-masing.
"Kalian balikan?" tanya Jordy setelah yakin kalau Kaia benar-benar tidak ada lagi di dalam ruangan.
"Ya, baru tadi siang."
"Gue sampai nggak yakin dia bilang naik pesawat komersil ke sini. Dia masih cinta banget sama, lo."
Aku hanya tertawa kecil.
"Lo yakin sudah memaafkan dia?"
"Sudah dari dulu, gue nggak bisa membohongi hati gue sendiri."
"Tapi sepertinya lo masih ragu."
"Gue nggak ingin menyakiti Kaia."
"Dia itu lembek banget, kayak jelly. Nggak bisa dikerasin. Manja juga, dan kadang nggak tahu mau dia apa. Lo pasti udah ngerti itu, Wa. Gue senang lihat mata dia tadi, udah lama nggak lihat dia sebahagia hari ini. Semoga kalian baik-baik saja."
Aku kembali mengangguk.
"Gimana kabar kerjaan, lo?" tanya Jordy lagi.
"Baik, sudah mulai stabil. Gue nyaman disini."
"Nggak niat balik ke Jakarta?"
"Belumlah, secara financial disini jauh lebih bagus."
"Nggak niat buka biro sendiri gitu? Siapa tahu ada teman-teman lo yang mau gabung?"
"Belum, kemampuan gue masih kurang. Lagian belum cukup modal. Nggak mudah membangun bisnis dari awal. Paling tidak, gue harus kenal banyak orang yang bisa diprospek jadi klien gue."
"Gue bisa bantu kalau soal itu."
"Thank's banget, tapi sejauh ini gue belum tertarik. Masih mau nabung dulu buat ngumpulin modal. Lo sendiri gimana sama Mitha?" tanyaku.
Kali ini Jordy diam, sepertinya ia tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku. Ia kemudian menarik nafas panjang.
"Gue serius, tapi belum berani buat ngajak ke jenjang yang lebih tinggi. Gue takut punya anak. Takut menularkan virus ini ke dia dan anak gue nanti."
"Tapi lo kemana-mana berdua terus, jangan sampai kebablasan. Sorry gue bicara sebagai kakak laki-lakinya. Gue nggak berniat nyuruh kalian cepat-cepat menikah."
"Gue ngerti, kita lihat saja nanti. Yang pasti gue serius sama Mitha."
Aku hanya bisa mengangguk, tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Tapi sepertinya jawaban Jordy bisa menjadi warning buat Mitha.
***
Mitha memasuki apartemen Jordy malam itu. Sepulang dari Singapura, tunangannya terlihat sedikit berbeda. Lebih pendiam tepatnya. Di kantor karena memang beda divisi, ia tidak bisa seenaknya masuk ke ruangan pria itu.
Suasana ruang tamu terlihat sepi, sampai kemudian gadis itu menuju kamar di lantai tiga. Benar, Jordy sedang disana termenung menatap hujan yang turun deras.
"Lagi ngapain?"
Tubuh itu menoleh, kemudian memberikan senyum lebar. Tangannya bergerak meraih Mitha untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Lagi menikmati hujan dimalam hari. Tumben ke sini?"
"Tadi pulang kantor jam tiga, dan masih malas pulang."
"Iya, ini jumat. Kamu pulang cepat. Bagaimana divisi kamu?"
"Biasa aja sih, nggak banyak yang mau berteman. Mereka segan karena aku tunangan kamu."
"Ya resiko. Kan dari dulu aku sudah bilang sebaiknya kamu nggak usah kerja."
"Dulu kamu larang aku menari, sekarang larang aku kerja. Terus apa aku harus minta sedekah dari Mas Awa lagi?"
"Bukan begitu, kamu kan bisa di rumah saja."
"Cuma tidur gitu? Aku nggak akan betah."
"Kalau jadi istriku mau?" bisik Jordy ditelinganya.
Mitha menatap tidak percaya, mencari keseriusan dimata tunangannya.
"Kamu yakin? Bukan karena dipaksa sama masku? Kalian kelihatannya ngobrol serius waktu di Singapura kemarin."
"Dia enggak memaksa, tapi aku sedang berpikir. Kita tidak mungkin begini terus. Meski masih banyak masalah yang harus kita hadapi. Terutama tentang keturunan, aku belum siap punya anak. Apa kamu bisa menerima itu?"
Mitha melepaskan pelukannya seketika. Menatap tajam pada netra Jordy.
"Tidak ada orang menikah yang tidak ingin punya anak. Kalau belum siap jadi orangtua ya jangan menikah?"
"Aku ingin kita menikah karena berharap setelah itu kamu enggak usah kerja lagi. Aku masih bisa membiayai hidupmu. Cukup temani aku saja. Kita bisa bersama terus."
"Aku bekerja bukan karena biaya hidup, mas. Tapi karena aku tidak bisa di rumah terus-menerus."
"Kalau kita menikah kamu bisa mengurusku sepanjang hari tanpa harus bingung karena tidak punya kegiatan."
"Kamu nyari istri atau pengasuh sih? Kalau cuma karena alasan yang tidak masuk akal itu, mending jangan menikah." suara Mitha terdengar meninggi.
"Kamu kok ngomong gitu? Aku ajakin kamu menikah karena aku sayang sama kamu. Nggak mau kamu kesusahan harus ngantor setiap hari dan dengerin omongan orang yang nggak masuk akal! Jangan berpikiran sempit kayak gitu dong."
"Kamu yang makin aneh, tahu nggak. Mending aku pulang, omongan kita nggak akan ada penyelesaiannya. Sebelum kita sepakat untuk menentukan tujuan pernikahan kita." teriak Mitha sambil meraih tasnya diatas tempat tidur. Dengan langkah lebar gadis itu melangkah keluar kamar.
Sayang, belum sampai di pintu tangan besar Jordy sudah menariknya.
"Kamu tidak bisa pergi sebelum pembicaraan ini selesai!"
"Kamu lepas nggak! Aku bisa teriak supaya seluruh asisten kamu dengar."
"Itu nggak akan berguna, kamu tidak akan pergi kemanapun!" teriak Jordy tak mau kalah sambil mengunci pintu kamar kemudian membanting tubuh Mitha ke ranjang. Membuat gadis itu semakin marah.
"Kamu apa-apaan sih? Jadi aneh begini! Biarkan aku pulang sekarang!"
"Kamu nggak akan pulang!" teriak Jordy tak mau kalah. Kemudian membuka kemejanya sendiri lalu menarik Mitha lebih masuk ke dalam pelukannya. Perempuan itu terus meronta akibat pelukannya yang terlalu keras.
"Ody, lepas! Aku sesak nafas!" teriakan itu tidak digubris, bahkan dengan sengaja pria itu menaiki tubuhnya. Membuat rok Mitha yang sebenarnya tidak terlalu panjang itu naik hampir ke pangkal paha.
Dengan kuat Jordy menahan kedua tangan gadis itu keatas dan menguncinya. Menatap wajah kesal milik tunagannya.
"Aku sudah pernah bilang, jangan main-main. Kamu dari tadi bukannya dengerin aku. Aku pernah bilang, kan? Jangan membantah, dan barusan kamu lupa. Aku sudah terlalu baik sama kamu, jadi jangan buat yang aneh-aneh. Cukup kamu bersedia menikah denganku. Kalau sampai kamu menolak, aku bisa menjadikan karier Birawa sebagai taruhannya. Kamu jangan lupa kalau aku sanggup melakukan apa saja!"
"Kamu gila!"
"Aku nggak gila, kita menikah! Lupakan tentang anak!"
"Kita tidak akan menikah dengan cara berpikir kamu seperti itu."
"Aku bisa melakukan hal yang kamu tidak akan pernah pikirkan, Paramitha. Kamu mau bukti sekarang? Aku sanggup melakukan apapun asal kamu tetap disampingku!" desis Jordy.
Mitha kembali meronta, berusaha melepaskan kedua tangannya. Sayang gadis itu kalah cepat. Dengan kasar Jordy menarik kemejanya sehingga seluruh kancing lepas. Membuat dada putih dan cukup besar itu terpampang indah dihadapan sang pria.
Jelas perempuan itu kaget dengan tindakan jordy yang diluar batas. Sayang, ia tidak sanggup lagi melepaskan diri dari kukungan pria tersebut. Bahkan kini dengan kasar, Jordy sudah melumat putingnya dengan gemas. Mengabaikan teriakan dan tangisan Mitha
***
Dilarang penasaran untuk adegan selanjutnya...
Happy reading
Maaf untuk typo
11020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top