26
***
Hari-hari pertama di Singapura tidaklah mudah. Selain harus membiasakan diri berkomunikasi dalam bahasa inggris juga harus beradaptasi dengan kehidupan baru. Beruntung aku mendapat teman berbagi kamar. Namanya Theo, berasal dari Bandung, lulusan Unpar.
Dengan membayar sgd450 Per bulan, kami bisa menempati sebuah kamar yang fasilitasnya lumayan lengkap. Tidak jauh dari halte dan stasiun MRT. Meski tempat tidurnya sangat kecil. Awalnya aku sulit tidur, tapi lama-lama jadi biasa karena memang itulah yang paling murah. Bulan pertama aku harus benar-benar menghemat. Tapi begitu gajian, semua terasa plong. Teman sekamarku sekaligus rekan kerja di kantor sangat baik. Ia bahkan sempat meminjamkan uang pada seminggu terakhir sebelum gajian. Mungkin karena pernah merasakan hal yang sama denganku sebagai perantau.
Tentang pekerjaan tidak ada bedanya. Hanya saja di sini kami lebih sistematis. Dan bayaran lemburku lumayan besar. Pak Reza juga sangat professional dalam bekerja, membimbing dan menyemangati kami para junior. Tak jarang kami menghabiskan satu jam untuk berbincang. Dan ini dilakukan didalam jam kerja. Ia benar-benar membagikan pengalaman dan ilmunya pada kami. Proyek yang ditangani sangat beragam. Bahkan sampai di Vietnam. Maka tidak salah kata Pak Kemal dulu, bahwa ini adalah batu loncatan untukku.
Mitha sudah pernah mengunjungiku bersama Jordy pada bulan kedua. Ia sampai menangis melihat kondisi kamar kostku. Jordy malah menawarkan sebuah posisi di Jakarta untukku. Tapi kutolak, karena tidak ingin dianggap parasit. Aku harus memikirkan posisi Mitha juga.
Dari Mitha aku tahu kalau sebenarnya Kaia juga ikut kemari. Tapi kami tidak saling bertemu. Lumayanlah seiring waktu aku sudah tidak membencinya lagi. Tapi masih enggan untuk bertegur sapa. Untuk apa? Kami memang pasti bertemu nantinya dan tidak mungkin terus terlihat bermusuhan. Tapi biarlah semua berjalan dengan apa adanya.
Mitha juga akan wisuda bulan depan. Ia memintaku untuk ikut hadir. Sayang aku tidak bisa, karena memang sedang ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Kuberikan tanggung jawab itu diambil alih oleh Jordy dan Rendra. Meski melihat kekecewaan diwajah adikku, aku merasa harus bisa mulai memikirkan diri sendiri.
Aku juga kembali bertemu dengan Karen, sahabat lamaku. Ia bekerja di Jakarta, tapi sering menghabiskan weekend di Singapura karena kekasihnya bekerja disini. Dan hubungan mereka tidak direstui kedua orangtuanya. Tahu bahwa aku bekerja disini kami menyempatkan diri untuk meet up sebagai sahabat. Sambil mengenang masa lalu saat masih menjadi mahasiswa. Karen tidak banyak berubah, masih mengejar cita-citanya. Beruntung ia selalu berhasil menggapai keinginannya. Aku senang karena memiliki teman bicara yang benar-benar mengerti aku. Meski tidak sekalipun kami menyinggung nama Kaia.
Laguku tentang sendirian yang dibawakan The First juga meledak dipasaran. Tidak disangka, itu membawa nama grup tersebut kembali menjulang. Tentu saja aku senang dengan pencapaian mereka. Zenno bahkan sempat memintaku kembali menulis lagu untuk mereka, namun kutolak. Karena inspirasi itu tidak selalu datang. dan aku tidak ingin patah hati lagi.
Hari-hariku sekarang hanya kantor dan rumah. Ada rasa rindu pada masakan Mbak Warti. Apalagi aku hanya sanggup menyewa kamar kost ukuran mahasiswa yang tidak ada dapurnya. Makanan rumah adalah sesuatu yang terbayang setiap kali merasa bosan dengan makanan diluar. Tapi apa mau dikata? Apartemen cukup mahal untukku saat ini.
***
Kulangkahkan kaki memasuki rumah, terasa sepi. Namun kali ini aku salah, di gazebo dekat kolam renang ada Mbak Mitha dan Mas Ody. Aku tersenyum menatap mereka berdua. Langgeng, rukun dan selalu terlihat serasi. Sampai kemudian keduanya menyadari kehadiranku.
"Sini, Ia." Mbak Mitha memanggilku.
Berat hati kulangkahkan kaki mendekati mereka.
"Aku ganggu nih?"
"Nggaklah, Mas Ody lagi kangen katanya padahal baru seminggu nggak ketemu. Baru pulang?"
Aku mengangguk, ada rasa perih melihat kemesraan mereka. Kalau saja waktu itu tidak bertindak ceroboh mungkin aku juga bisa seperti mereka sekarang. Entah kenapa aku tidak bisa keluar dari penyesalan itu. Meski sudah hampir setahun berlalu.
"Minggu ke rumah kamu yuk sayang. Aku kangen sama masakan Mbak Warti." Ucap Mas Ody dengan mesra.
"Boleh, nanti sekalian aku masakin. Ia ikut ya, biar rame. Kamu kan sudah lama nggak ke rumah?"
Rasanya ingin menolak, karena mengunjungi rumah mereka berarti aku kembali pada sesuatu yang sebenarnya ingin kukubur dalam-dalam. Aku masih belum sanggup menatap setiap sudut ruangan di rumah Kak Awa. Tapi tidak tega melihat mata masku yang memohon.
"Jumat malam nanti kan kita semua ke Bali. Acara ulang tahun mami. Minggu pagi pulang langsung ke rumah Mitha aja." Ucapan Mas Ody terdengar seperti perintah. Membuatku mengangguk.
***
Jadilah minggu siang kami ke rumah Mbak Mitha langsung dari bandara. Namun ada satu hal yang membuat kami semua terkejut. Yakni kehadiran Kak Awa yang mengenakan celana pendek dan kaos basket di dapur. Mbak Mitha langsung memeluknya. Sementara aku harus menahan langkah untuk tidak melakukan hal serupa.
"Mas kok nggak bilang-bilang mau pulang? Kan aku bisa jemput. Kapan sampai?"
"Jumat malam, sudah berapa hari nggak pulang?" tanya Kak Awa dingin. Membuat Mbak Mitha sedikit salah tingkah.
"Jumat sore kami ke Bali, maminya Mas Ody ulang tahun. Dirayakan di sana."
Setelah menyapa Mas Ody, mantan kekasihku itu akhirnya memilih melanjutkan kegiatan memasaknya tanpa bertanya lagi. Ia masih mengabaikan aku meski tadi memberikan senyum kecil yang terlihat dipaksakan.
Tubuhnya sedikit lebih gemuk dan yang pasti lebih putih. Rambutnya dipotong dengan model kekinian. Ia masih terlihat mahir di dapur. Ini pertemuan pertama kami setelah pertunangan Mas Ody. Selama ini saat Kak Awa di Jakarta kami tak pernah bertemu. Demikian juga kalau aku ke sana.
"Kok tumben pulang, Mas." tanya Mas Ody.
"Baru ingat, harus bayar pajak rumah dan mobil. Lagian kangen Jakarta juga."
"Kok nggak bilang sama aku aja, kan bisa kubayarkan?" balas Mitha.
"Nggaklah, itu masih tanggung jawabku. Ya sudah kalian istirahat dulu, nanti kalau sudah mateng kupanggil." Ucapnya.
Ia bahkan sama sekali tidak melirik lagi kearahku. Perubahan wajahku terlihat oleh Mas Ody. kakakku segera memeluk bahuku dan mengajak ke ruang tengah. Rasanya mau pamit pulang, kalau saja masku tidak memberi kode dengan matanya agar aku tetap disini.
Tak lama, makanan matang, Mbak Warti meminta kami berkumpul di meja makan. Kali ini ditambah Rendra yagn baru datang. aku duduk di sudut, tempat terjauh dari jangkauan Kak Awa. Aku memilih diam, karena sadar kehadiranku tidak diinginkan.
Semua berjalan baik sampai kemudian terdengar suara mobil berhenti, dan seseorang memasuki ruang makan dengan tergesa. Aku tahu, wajahku pias seketika. Ada Karen datang dengan senyum manis sambil membawa
pudding cantik didalam sebuah kotak mika. Semua mata memandangku dengan perasaan bersalah kecuali Kak Awa tentunya.
Ia mencium kedua pipi Karen, lalu mengambilkan kursi tambahan. Sesuatu yang selalu dilakukan padaku dulu. Perhatian kecil yang sanggup membuat perempuan manapun meleleh. Segera suara mereka terdengar diseluruh penjuru ruangan.
"Kamu yang bikin pudding?"
"Iya, kan aku sudah bilang lagi tertarik membuat yang cantik-cantik. Bahkan kotaknya kudesain sendiri."
"Wow hebat kamu. Mau buka bakery?"
"Rencana sama teman, tapi fokus sama yang sudah jalan dulu meski masih produksi rumahan. Cukup bagus sih prospeknya." Balas Karen.
Aku segera tersisih, karen bisa melakukan banyak hal. Dia pintar, cantik, punya karier bagus disebuah stasiun televisi dan jago masak. Begitu sepadan dengan Kak Awa. Nah aku? Apa yang bisa kubanggakan didepannya selain nama besar keluarga Subiantoro? Aku tidak bisa melakukan pekerjaan apapun di rumah.
"Ada rencana resign dari pekerjaan sekarang?" tanya Kak Awa lagi.
"Nggaklah, sayang kalau sampai keluar. Gajinya lumayan banget. Lagian aku masih cinta banget sama kehidupan jurnalis. Tapi kalau bisnisku nanti bagus, nggak menutup kemungkinan sih, apalagi kalau nanti menikah, kan harus mengurus suami dan anak. Menurut kamu ini udah cantik belum, sih?"
"Cantik banget, pudingnya kayak ada bunga didalamnya. Bening lagi. Aku coba dulu ya. Ini varian rasa apa?"
"Dalamnya rasa kopi, kamu masih suka kopi kan? Tapi nggak terlalu manis sih, kan aku buatnya made by order. Jadi rasa bisa di-request. Ini sesuai dengan selera kamu." jawab Karen sambil menatap lawan bicaranya intens.
Mereka benar-benar terlihat cocok sebagai pasangan dan partner. Bisa saling melengkapi. Tidak ada kedekatan berlebihan khas Kak Awa. Aku semakin menunduk. Bisa kulihat melalui ujung mata, Kak Awa sangat menikmati pudding buatan Karen.
"Ini enak banget, kalian harus coba. Selain cantik, aku tadi takut rasa susunya too much. Ternyata nggak sama sekali. malah rasa kopi yang didalam itu enak banget. Manisnya pas, kamu memang buat sesuai dengan seleraku?"
"Pastilah, aku kan kenal kamu banget. Oh ya yang lain cobain, dong."
Puding itu akhirnya pindah kebagian tengah meja. Dengan sigap Kak Awa mengambil beberapa piring dan sendok kecil. Kemudian mempersilahkan kami. Kembali ia beranjak dari meja makan, lalu memberikan segelas air putih pada Karen. Sesuatu yang juga dulu selalu ia lakukan padaku. Kenapa jadi sesakit ini sekarang? Ingin aku melempar piring yang ada didepanku kepada mereka berdua.
Kak Awa sangat detail dalam memperhatikan orang yang dekat dengannya. Seperti membukakan minuman kaleng, menarikkan kursi. Aku tidak akan lupa akan itu. Tidak sanggup melihat kemesraan mereka, aku segera bangkit.
"Maaf, Ia pamit duluan ya, masih ada acara."
Mas Ody ikutan bangkit, " Aku sekalian kalau begitu, tadi kita cuma pakai satu mobil."
Kak Awa dan Karen hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun tidak menahan sedikitpun. Kami meninggalkan meja makan diiringi Mbak Mitha.
"Sorry ya, Ia. Mbak nggak tahu kalau Mas Awa pulang dan ada Mbak Karen juga." Ucapnya dengan penuh rasa bersalah.
Aku hanya menggeleng kemudian memasuki mobil. Begitu pintu tertutup aku menangis. Kali ini membiarkan Mas Ody memelukku. "Gue tahu lo sedih. Tapi jangan sampai begini."
Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Hanya bisa menangis, sesakit ini ternyata. Melihat orang yang masih kucintai berbincang dengan santai didepan mataku sendiri bersama perempuan lain. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dimata Kak Awa. Rasanya Karen benar-benar akan menertawakan kekalahanku.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
28920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top