24
Aku menangis selesai membaca emailnya. Kenapa rasanya sesakit ini saat membaca kalimat demi kalimat yang ia tuliskan? Kenapa aku tidak menyadari arti kehadirannya sejak dulu? Aku yang salah, buru-buru kuhubungi nomor Kak Awa. Benar, tidak ada yang bisa. Ia membuktikan kata-katanya. Kini kami benar-benar selesai.
Aku merasakan kekosongan yang sangat kuat. Hanya bisa menyesali kebodohanku. Kenapa kata-kata itu sampai terucap? Awalnya karena malu saat semua sepupuku menceritakan kencan ala mereka. sementara sekalipun aku tidak pernah melakukan itu. Egoku terusik, tidak ingin dilecehkan. Akhirnya hubunganku yang menjadi korban.
Ada rasa marah, kenapa Kak Awa mesti berada di sana? Kenapa tadi aku tidak bertanya dimana dia mengadakan pertemuan? Kenapa kami harus duduk berdekatan? Dan masih banyak lagi kata kenapa yang berputar dikepalaku. Seolah menuduh bahwa aku sudah menghancurkan kehidupanku sendiri.
Bagaimana besok saat bertemu dengan mami? Mas Ody? Mitha? Bukankah selama ini hidupku sudah aman bersama Kak Awa? Ada dia yang selalu mendengarkanku, bahkan ditengah malam sekalipun. Ia selalu menemani, dan mengeluarkanku dari kukungan rasa sepi. Aku tidak pernah berpikir kalau ini semua akan terjadi, dalam waktu singkat aku kehilangan semuanya.
***
Menjelang pertunangan Mitha dan Jordy, suasana semakin panas. Perseteruan antara papi dan mami memuncak. Saat adikku meminta mami hadir. Papi menolak dengan tegas, bahkan sampai meminta Mitha memilih. Jelas tidak ada yang bisa dipilih.
Mitha terlihat stress, beberapa kali ia kupergoki tengah menangis. Tapi kubiarkan ia mencari solusi untuk dirinya kali ini. Karena kelak, setelah menikah ia akan tetap menghadapi masalah. Kutunggu ia meminta pendapatku. Meski aku juga kecewa dengan sikap papi.
Akhir bulan aku akan resign dari Biro milik Pak Kemal. Meski begitu, beberapa proyek yang masih berada dalam tanggung jawabku tetap kukerjakan. Aku masih berada di kantor saat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Ada beberapa gambar yang harus kuselesaikan.
Tak sadar ponselku sudah mati entah sejak kapan, akhirnya aku men-charge benda itu. Akhir-akhir ini aku memang tidak peduli dengan ponsel, kecuali saat keluar kantor. Toh tidak ada lagi yang harus dihubungi. Beberapa teman juga masih ada di kantor untuk mengejar revisi yang harus selesai karena besok akan dipresentasikan. Saat membuat kopi di pantry, aku dikejutkan oleh kedatangan Rendra yang diantar oleh seorang petugas keamanan.
"Ngapain kamu ke sini malam-malam?" tanyaku saat ia sudah berada di ruang kerjaku.
"Ponsel mas dimana? Di rumah gawat, papi marah-marah dari tadi. Nungguin mas, yang nggak pulang-pulang."
"Kenapa lagi?" tanyaku sambil mencabut ponsel yang masih mengisi sampai 32%.
"Papi marah-marah karena Mbak Mitha tetap ingin mami hadir. Parahnya lagi barusan mami datang, mungkin mbak yang telepon"
"Tanggapan mami?"
"Nggak tahu, pulang yuk mas."
"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan, mas nggak bisa pulang. Gambar harus selesai malam ini." jawabku sambil kembali men-charge ponselku. Setelah menemukan banyak pesan serta panggilan dari Whatsap.
Rendra akhirnya mengerti,
"Tapi aku tunggu mas aja."
"Jangan, kasihan Mitha. Entah bagaimana nanti keadaannya di rumah. Kamu harus melindungi dia dari sikap arogan papi dan mami."
Kusuruh Rendra pulang lebih dulu, sementara aku berusaha mengumpulkan segenap konsentrasi untuk menyelesaikan gambar. Beruntung sebelum tengah malam revisi tersebut selesai. Aku langsung pulang.
Cukup kaget saat melihat banyak mobil di sana. Mereka belum pulang. Ternyata Jordy juga sudah datang. Meski banyak orang suasana rumah sangat hening. Ada kedua orangtuaku dengan pasangan mereka masing-masing. Calon adik iparku, dan yang cukup membuat kaget ada Kaia. Yang terakhir adalah seseorang yang tidak ingin kulihat lagi wajahnya.
"Ada apa?" tanyaku setelah ikut duduk.
"Adikmu ngotot kalau mamimu harus bersama papi diacara pertunangannya. Sementara dia sudah tahu apa jawaban papi."
Kupijat keningku yang sakit. Pekerjaan hari ini, masalah pribadiku dan kini masalah Mitha yang tak kunjung selesai. Aku lelah kalau harus terus menerus menahan diri. Meski tahu bahwa nanti mereka akan kesal dan marah. Sudah saatnya aku berbicara, agar masalah berhenti sampai disini.
"Kalau papi nggak mau, ya jangan datang. Kok susah banget. Kan ada aku yang bisa mendampingi mami? Kalau mami juga sama dengan papi, kalian nggak usah datang. Jangan segala sesuatu dibuat rumit. Bukan cuma keluarga kita saja yang mengalami ini. Awa rasa Mitha juga nggak masalah kalau cuma ada Awa dan Rendra di sana nanti.
Malu? Nggak ada yang bisa dianggap memalukan, karena memang begini adanya? Keluarga kita memang berantakan kok. Dari dulu juga papi dan mami nggak pernah ada disaat penting kita semua dengan alasan menjaga perasaan pasangan baru kalian. Lalu kalau sekali inipun kalian tidak hadir, masalahnya dimana?
Kamu juga aneh Mit, jangan buat gue makin sakit kepala. Sudah tahu kan dari dulu papi nggak mau duduk dekat mami? Ngapain dipaksa? Kamu nggak akan dapat apa-apa dengan keinginan itu. Biar aja semua orang tahu siapa kita. Itu jauh lebih baik daripada berusaha menyembunyikan, dan akhirnya menyakiti diri sendiri. Yang penting buat kamu, Jordy cinta dan sayang. Itu sudah lebih dari cukup.
Hubungan pernikahan itu untuk dua orang. Yang lain hanya pajangan. Jadi jangan sampai gagal cuma karena masalah kehadiran papi dan mami. Kalau mami juga nggak mau, kan masih ada Mas Awa. Selama ini memangnya siapa yang memperhatikan kamu? Saat nggak bisa bayar uang kuliah karena transferan kurang, kamu kemana? Ke Mas Awa, kan? Aku yang harus memutar otak supaya semua yang ada di rumah ini cukup.
Pernah gitu papi atau mami nanyain gimana keadaan kita? Atau nambahin transferan saat aku mengngeluh? nggak kan? Kita juga dilepas begitu aja. Bahkan saat mereka resmi bercerai kita nggak ada yang diberitahu. Seolah kita nggak penting untuk mengetahui status mereka. Jadi memang kita bukan siapa-siapa buat mereka. Kamu harus ingat itu.
Mas harap ini bisa jadi pelajaran buat kalian kalau menjalani pernikahan nanti. Nggak mudah mempertahankan sebuah hubungan kalau dua-duanya sama-sama keras kepala. Kalau nggak ada yang mengalah semua juga bakal hancur. Aku tanya sama papi dan mami, apa susahnya sih tinggal duduk doang? Semua orang juga sudah tahu kok kalian bercerai dan masing-masing punya pasangan. Lalu masalahnya dimana?
Memikirkan perasaan pasangan kalian? Bagaimana dengan perasaan anak kalian? Kami tidak pernah menuntut apapun, atau meminta lebih dari seharusnya. Yang akan kalian hadiri adalah hari kebahagiaan Mitha, dan akan diingat sampai kapanpun. Kapan sih kalian memikirkan kebahagiaan anak-anak kalian? Atau sebenarnya kami bukan darah daging kalian? Sehingga bisa ditinggalkan begitu saja."
Kutatap kedua orangtuaku bergantian dengan perasaan kesal bercampur marah.
"Ini sudah tengah malam, sebaiknya papi sama mami pulang dan pikirkan sendiri di rumah masing masing. Awa mau istirahat, besok jam delapan harus sudah di kantor. Kalau masih ada yang dibicarakan silahkan dilanjut. Ingat satu hal, Mit. Jangan memaksakan kehendak pada siapapun. Sama seperti mas yang nggak pernah memaksakan kehendak ke kamu." Selesai mengucapkan itu aku naik ke lantai dua.
Sama sekali aku tidak melirik pada Kaia. Entah kenapa kesedihan itu masih sangat besar. Juga pada Jordy yang tidak bisa memberikan solusi pada calon tunangannya.
***
Jordy menatap Kaia yang mematung disebelahnya saat mereka pulang. Ia menatap sang adik dengan curiga.
"Kamu lagi ribut sama Awa?"
"Kita sudah putus malah." jawab sang adik lemah.
"What? Kapan?" teriak pria itu tak percaya.
"Seminggu yang lalu."
"Kenapa?"
Gadis itu menggeleng sambil menghembuskan nafas pelan.
"Ini cuma antara aku sama dia doang. Ada masalah yang tidak bisa kami selesaikan."
"Kesalahapahaman? Apa mas bisa bantu menjelaskan sesuatu ke Awa?"
Kaia menggeleng, karena memang merasa tidak ada yang perlu dijelaskan. Kesalahannya terlalu fatal. Dan jelas maaf tidak akan menyelesaikan semuanya.
"Kesalahan itu dari aku, dan nggak ada yang perlu dijelaskan. Semua sudah clear. Kak Awa nggak salah apa-apa, dia marah banget."
"Kamu yakin bisa hidup tanpa dia?"
"Yakin atau nggak, aku akan coba untuk menjalani, mas. Aku yakin Kak Awa cukup dewasa untuk bisa menjalani hubungan baru kami dengan bijak."
"Bijak gimana? Tadi aja dia nggak tegur kamu sama sekali. Bahkan menganggap kamu nggak ada."
"Wajar dia begitu, karena memang aku layak diperlakukan seperti itu." Kaia membuang pandangannya.
"Jangan menyiksa diri sendiri, Ia. Kamu kenapa sih? Selingkuh? Setahu mas cuma itu yang nggak bisa dimaafkan."
Kaia hanya menggeleng. Menyesal telah meminta ikut tadi. Jujur ia hanya sedang merindukan Birawa, setelah sekian hari tidak pernah bertemu lagi. Berharap kalau mereka bisa bicara. Tapi sayang mantan kekasihnya menutup kesempatan.
"Apa nggak bisa diperbaiki sama sekali?"
"Aku sendiri nggak tahu dari sisi mana harus memperbaikinya, Mas."
"Tapi kamu kelihatan banget kalau lagi patah hati. Ngapain coba tadi maksa ikut. Mau lihat Awa, kan? Kalau cuma khawatir kesehatanku, kan ada supir yang menemeni. Apa karena hubungan aku dan Mitha?"
"Bukan, kalau itu Kak Awa nggak akan ikut campur. Ini bukan tentang kalian. Semua akan berjalan baik-baik saja. Percaya sama aku, mas. Murni aku yang salah."
Mas Ody akhirnya memiluh diam. Mungkin karena ia juga memiliki masalah sendiri.
***
Adalah bohong kalau aku baik-baik saja, aku hancur. Awalnya aku ingin menyimpan rahasia besar tersebut untukku sendiri. Mas Ody akhirnya bisa melihat sendiri retaknya hubungan kami. Rasanya sakit saat tidak sekalipun Kak Awa bersedia untuk melirikku. Apakah itu berarti selama ini aku sebenarnya mencintai lebih besar dari yang kupikirkan?
Dulu kukira semua akan sama saja, ada atau tidaknya dia dalam hidupku. Namun sekarang, baru seminggu aku sudah merasa hampa dan sendirian. Kemarin Kak Awa terlihat baik-baik saja, bahkan menoleh sedikitpun tidak. Secepat itukah ia melupakanku? Kenapa malah ia tidak terlihat kehilangan?
Tak lama lagi adalah hari pertunangan Mas Ody. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani hari itu. Mungkin aku satu-satunya orang yang saat ini tidak bahagia saat keinginanku tercapai. Kupeluk bantal sambil menatap wajah Kak Awa di ponsel. Kenapa aku semakin merindukannya?
***
Happy reading
Maaf untuk typo
25920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top