21


Saat berbaring malam harinya, aku merenung. Sebenarnya karena kecewa pada keputusan Mitha. Saat ini aku takut, bagaimana kalau kelak adikku terjangkit virus yang sama? Meskipun mereka sudah sangat berhati-hati, pasti akan ada kemungkinan tertular meski sangat kecil.

Tak bisa memejamkan mata, aku mengetuk pintu kamar Mitha. Berharap masih bisa mengajaknya berpikir ulang.

"Ada apa, mas?" tanya Mitha saat membuka pintu.

"Bisa bicara sebentar?"

Ia mengangguk, kemudian membuka pintu lebih lebar. Aku duduk di kursi sementara ia memilih duduk diatas ranjang.

"Kenapa nggak ngomong rencana ini ke Mas Awa terlebih dahulu? "

"Kami juga baru bicara tentang keinginan Jordy tunangan waktu perjalanan pulang tadi."

"Kamu langsung setujui ajakan dia? Nggak merasa terlalu muda untuk serius?" tanyaku lembut.

"Kami sudah jalan hampir dua tahun mas. Apa  sebenarnya alasan mas  untuk nggak setuju? Takut sama kesehatanku?"

Kutatap ia lekat, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Mas mau tanya, kalau posisi kita berganti. Kamu bakal setuju nggak kalau aku jalan dengan perempuan yang terinveksi HIV?"

Kali ini adikku menatap mataku, ia terkesan lebih berani.

"Mereka berhak menjalankan hidup normal, mas. Kan mas yang selalu bilang supaya harus menerima kekurangan orang lain? Karena setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat hidup yang lebih baik." protesnya.

"Kamu cinta atau kasihan?"

"Cintalah, hubungan kami sudah selama ini."

"Atau kamu sebenarnya sedang mencari pohon rindang untuk menaungi kehidupan dimasa depan. Malas untuk bersusah-susah seperti yang kita jalani selama ini?"

Kalimatku membuat wajah Mitha memerah. Jelas ia tak suka dengan pernyataanku barusan.

"Kamu cinta sama Kaia kan, mas? Bagaimana kalau dia ajak  serius. Mas tolak? Enggak kan? Aku juga begitu, tahu kalau Jordy sayang sama aku. Nggak ada alasan buat menolak dia."

"Kaia sehat, Mitha. Berbeda dengan Jordy! Kamu siap dipandang sebelah mata sama orang lain? Dianggap matre karena bersedia menikah sama dia? Kamu siap kalau umur dia nggak panjang?"

"Aku dalam kondisi nggak mau mikirin apa kata orang, mas. Yang aku yakinkan itu adalah diri sendiri. Lagian kalau mas nggak setuju, kenapa dari dulu nggak melarang? Sebelum kami sejauh ini. Apa karena takut Jordy melarang mas pacaran sama Kaia?! Jangan egois, mas. Aku punya masa depan sendiri." teriak Mitha.

Aku kaget, baru kali ini adikku berteriak dan membentakku. Ia sudah jauh berubah! Karena Jordy ataukah memang sudah saatnya aku melepas mereka? atau selama ini memang aku yang terlalu keras dalam melindungi mereka? Sehingga kemudian mereka memberontak?

Kutatap Mitha tak percaya, kali ini ia dengan berani membalas tatapanku. Entah kenapa ada rasa sakit yang teramat sangat. Seperti pisau tajam menusuk jantungku. Kehabisan kata-kata, akhirnya aku kembali ke kamarku.

Kututup pintu dan kukunci dari dalam, sesuatu yang tidak pernah kulakukan selama ini. Kamarku selalu terbuka untuk mereka, kapanpun itu. Tapi sekarang tampaknya Mitha tidak perlu lagi datang ke kamarku. Mungkin juga sebentar lagi Rendra. Tidak ada lagi yang membutuhkan aku di rumah ini.

Apa aku sudah berubah menjadi cengeng? Perlahan tubuhku meluruh ke lantai. Rasa sakit itu terlalu besar. Bisa saja tadi aku membantah dan memarahinya. Tapi tidak ingin ada lubang yang menganga lebih lebar lagi diantara kami. Sudah cukup, aku sudah tahu bagaimana Mitha sekarang.

Kuabaikan ketukan pintu berkali-kali. Suara Rendra bergantian dengan Mitha. Ya, mereka sudah dewasa sekarang. Aku saja yang terlalu terjebak pada kenangan romantis masa lalu. Menganggap diriku adalah pahlawan. Berusaha melindungi mereka mati-matian. Teringat dulu keduanya takut ketika mati lampu atau pada suara petir. Saat mereka masih menganggapku sebagai malaikat karena berhasil  menggoreng telur sebagai makan malam kami. Saat itu di rumah belum ada pembantu dan kedua orangtuaku belum pulang bekerja.

Kucoba menahan airmata yang melesak keluar. Tidak... aku tidak boleh cengeng. Setiap orang akan melewati fase ini. Aku sudah terbiasa kehilangan, dan kali ini bukan benar-benar hilang. Hanya menjauh.

***

Pagi itu Mitha turun lebih dahulu. Berharap akan bertemu Birawa. Sepanjang malam ia tidak bisa tidur karena merasa bersalah. Tak lama yang ditunggu datang. Namun kali ini Mitha menemukan sikap yang berbeda. Terlihat sekali senyuman itu tidak tulus dan dibuat-buat.

"Mas, maafin aku tadi malam. Aku salah." Ucapnya saat Birawa sudah berada didepannya

Sang kakak hanya mengacak rambutnya. Namun tidak mengatakan suatu apapun. Tanpa sarapan pria itu segera ke teras dan memakai kaos kaki dan sepatunya.

"Mas, ngomong dong."

"Mas sudah maafin kamu, tenang saja. Jangan lupa ajak Jordy juga ketema papi dan mami. Untuk sesuatu hal yang serius begitu, mas nggak boleh selesaikan sendiri. Ada mereka orangtua kita."

"Mas nggak sarapan dulu?"

"Nggak, aku harus buru-buru, nanti makan di kantor saja."

Mitha terpaku, selama ini masnya paling jarang makan diluar dengan alasan boros. Tapi pagi ini semua berubah. Selesai melepas sang kakak yang berlalu bersama motornya, Rendra muncul.

"Lo sih mbak, kalau ngomong suka sembarangan. Mas Awa jadi tersinggung, kan? Sekarang mau gimana cara bikin dia kayak dulu? Lagian lo belum tahu tujuannya ngomong udah ngegas duluan. Kenapa sih? Lo lebih sayang sama Jordy daripada Mas Awa?

Jangan lupa, Mas Awa udah bikin kita bisa hidup seperti sekarang. Dia sampai mengorbankan dirinya, dan elo mau ngelupain semua?"

"Bukan gitu Ren, gue cuma merasa Mas Awa menyesal udah ngomong setuju. Terus ngapain ngasih Jordy angin kalau ternyata dia sebenarnya nggak setuju,"

"Nah lo juga mikir dong, ada ngomong nggak sebelumnya? Jadi Mas Awa nggak merasa diabaikan, terus masih bisa kasih lo pandangan. Nah lo tiba-tiba nanya dia setuju apa enggak. Di depan Kaia lagi! Ya nggak mungkinlah dia nolak terus nasehatin lo. Cara berpikir masih kayak begini lo mau kawin."

Mitha akhirnya diam.

***

Sesampai di kantor, Pak Kemal menghampiri mejaku. Beliau memang biasa datang pagi.

"Hei, saya dengar kamu sudah dapat sertifikat ya."

"Sudah, pak. Terima kasih atas bantuannya waktu mengurus berkas kemarin."

"Nggak apa-apa, saya senang kalau anggota tim saya bisa maju. Saya cuma mau bilang, ingin mengenalkan kamu pada seseorang. Dia pemilik sebuah biro arsitek terkenal di Singapura. Aslinya sih orang Indonesia. Tapi sudah menjadi warga negara sana. Bulan depan dia akan ke Jakarta. Rencana kami akan makan siang bersama. Siapkan waktu, ya. Siapa tahu nanti kamu bisa bergabung dengan mereka.

Sayang kalau kemampuan dan kinerja kamu dihabiskan di biro kecil seperti ini. Kamu masih bisa melesat jauh lebih tinggi. Kamu punya potensi untuk itu. Jangan bilang siapa-siapa dulu, nggak enak sama rekan kamu yang lain nanti."

Aku mengangguk dan tersenyum lebar, ternyata selama ini beliau diam-diam memperhatikan kinerjaku. Sekali lagi kujabat tangannya dengan erat. Sambil mengucapkant erima kasih berulang- ulang. Sebuah kabar bahagia, setelah tadi malam aku tidak bisa tidur.

Kembali aku duduk di meja kerja. Jam masih menunjukkan pukul delapan lebih sedikit. Belum ada rekanku yang datang. Akhirnya aku turun, untuk sarapan. Di depan kantor ada penjual bubur ayam yang selalu mangkal setiap pagi.

Pukul sepuluh, formasi kami sudah lengkap. Kembali aku memasuki ruang rapat. Ada proyek baru  menanti di depan mata. Seperti kata Pak Kemal, aku harus tetap belajar.

***

Jordy tengah duduk di hadapan kedua orangtuanya. Pagi ini ia memang meminta waktu untuk bertemu.

"Kamu yakin pada Mitha? Kalian masih muda Lho." tanya sang mami.

"Aku sudah dua enam, Mi. Mitha dua dua."

"Kamu yakin dia mau karena cinta? Ingat kondisi kamu. Jangan sampai perempuan itu menginginkan hal lain." Kali ini Rudi Subiantoro yang berbicara.

"Pi, hubungan kami sudah dua tahun lebih. Aku kenal Mitha. Sampai sekarang belanja dengan uangku saja ia tidak mau."

"Keluarganya?" tanya Pak Rudi lagi.

"Dia tidak tinggal bersama orangtuanya, tetapi dengan kakak dan adik laki-lakinya." Balas Thalia Subiantoro.

"Oh, baru ingat, dia putri Pak Radyatama. Nanti aku akan suruh orang untuk menemuinya. Untuk kepastian kita datang ke keluarga mereka. Ada yang lain?"

"Tidak ada." jawab mereka semua.

Setelah kepergian Rudi dan Jordy, Thalia bertanya pada putrinya.

"Bagaimana hubungan kamu dengan pacar kamu itu? Dia kakak laki-laki Mitha, kan?"

"Baik, Mi."

"Kalau sudah ketemu laki-laki yang baik, jangan macam-macam kamu. Lihat kan bagaimana mami harus bertahan dengan papi kamu? Karena itu mami tidak ingin kamu menikah dengan kalangan kita. mami mengenal mereka, dan tahu bagaimana mereka diluar sana.

Mami ingin kamu bahagia, jangan mengalami seperti mami sekarang. Apa yang akan menjadi hak kamu akan tetap mami berikan untuk kamu. Tidak akan ada iming-iming kamu menikah dengan si A maka akan ada penggabungan perusahaan kita dengan mereka. pernikahan itu bukan untuk bisnis.

Mami tahu laki-laki seperti apa dia, jangan sampai kamu mengecewakan dia."

"Ia, mi." Jawab Kaia.

"Ya sudah, ayo ke kantor."

Kaia menurut. Sama sekali tidak percaya kalau maminya akan mengucapkan kalimat dukungan itu. Ada apa sebenarnya? Kenapa Mas Jordy yang ingin bertunangan lalu mami malah mengingatkan tentang hubungannya dengan Birawa?

***

Saat pulang dari kantor, papi sudah menunggu di rumah. Kali ini bersama Gea istri mudanya. Mitha juga ada disana.

"Pulang malam, Wa?"

"Iya, tumben papi datang, ada apa?" Jawabku sambil duduk.

"Tadi Pak Rudi menghubungi papi, katanya adik kamu mau tunangan dengan Jordy. Papi sih tidak masalah, toh ini demi masa depan Mitha. Dia juga nanya pertemuan kelarga akan diadakan dimana? Papi pikir, lebih baik dilakukan di rumah papi. Di sana kan ruangannya besar dan luas. Kalau disini terlalu kecil, apartemen mami kamu juga kecil."

"Terserah papi saja." Jawabku singkat.

"Tantemu akan menyiapkan semuanya. Apa kamu bisa menghubungi mamimu untuk menyampaikan kabar ini dan kesediaannya untuk datang?"

Rasanya mau marah, saat menyambut keluarga Subiantoro papi berada didepan. Sementara urusan mami, dia menghindar. Kutahan emosi sebisa mungkin.

"Lebih baik papi saja, hubungan Awa dan mami juga kurang baik. Awa tidak akan ikut campur."

"Mas--" Mitha langsung menyela pembicaraanku.

"Awa cuma anak, apa papi ingin bicara tentang hal lain?"

"Tidak ada, itu saja. Oh ya seragam kita sekeluarga juga sudah diurus oleh Gea, kamu tinggal datang untuk mengukur."

Aku mengangguk, "Ya sudah, Awa pamit dulu. Capek banget tadi di kantor."

Selesai mengucapkan itu, aku beranjak meninggalkan mereka. Rasanya aku bukan orang penting dalam pembicaraan itu. Memasuki kamar, aku langsung masuk mengunci pintu. Kebiasaan yang berlangsung hampir sebulan ini.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

18920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top