20
***
Kutatap kemeja dan sepatu yang tadi diberikan Mitha. Sama sekali tidak menyangka kalau adikku akan melakukan ini. Aku tahu ia tidak punya uang banyak, tapi yakin kalau ia jujur. Bahwa uangnya berasal dari honor menari.
Ia terlalu takut kalau ketahuan berbohong, bahkan sampai memberikan struk belanja agar aku percaya. Kutatap gelap yang ada dibalik jendela. Rasanya bangga sekali saat adikku mengerti akan kesusahan kami. Pengeluaran bulan ini cukup besar. Tapi aku bersyukur, bulan depan honor menulis laguku akan keluar. Minimal masih ada cadangan penghasilan yang bisa diharapkan. Nanti aku akan mengganti uang Mitha.
Ia masih kuliah, tentu banyak kebutuhan. Apalagi sebagai seorang gadis, pasti selalu ada yang ingin dibeli. Kadang kasihan melihatnya yang harus menahan hasrat untuk memiliki suatu barang. Disaat seperti itu aku merasa marah pada kedua orangtua kami. Tahu bahwa mereka hidup berkecukupan. Tapi kami malah harus hidup pas-pasan.
Semoga kelak kami bisa menjadi orang yang berhasil dalam karier maupun kehidupan pribadi. Sehingga tidak perlu mempermalukan diri sendiri dihadapan keluarga baru mereka. Untuk itulah aku bekerja keras di kantor, bahkan sampai harus menomorduakan kehidupan pribadiku.
Minggu ini pekerjaanku sedikit kosong. Karena beberapa gambar sudah selesai. Saatnya sedikit bernafas lega, karena banyak hal yang telah terlewati. Sedikit demi sedikit semua berubah kearah yang lebih baik.
Tadi malam aku janjian bertemu dengan Kaia, tapi tidak d iluar. Ia sama denganku yang lebih memilih untuk berada di rumah daripada keluyuran tidak jelas. Untuk satu hal ini kami setipe. Sama-sama orang rumahan.
Tak terasa kuliahnya sudah selesai. Dan hubungan kami sudah hampir dua tahun. Kaia yang kukenal tidak memiliki perubahan berarti. Ia masih sosok introvert dan sulit bergaul. Jaringan pertemanannya juga tidak banyak berubah. Selain mulai sering ikut ibunya ke kantor. Karena akan memegang satu jaringan bisnis keluarganya.
Sebenarnya ia tidak ingin, karena tidak yakin dengan kemampuan dirinya sendiri. Tapi aku mendorongnya, itu baik untuk perkembangan kemampuan dan kariernya kelak. Sambil menyampaikan bahwa ia adalah orang yang beruntung. Sementara banyak teman seangkatannya harus mati-matian mencari pekerjaan. Ia malah sudah bisa langsung duduk enak dalam sebuah posisi.
Mobilnya muncul saat hampir jam makan siang. Kutatap heran Kaia, karena mobil yang mengantarnya langsung pergi.
"Kamu sama siapa?"
"Pak Rudi, tapi dia kusuruh makan siang di luar."
"Bodyguard kamu?"
"Mulai bulan kemarin nggak pakai lagi. Aku sudah ngomong sama mami kalau semua akan baik-baik saja."
"Tapi aku yakin pasti nggak semudah itu?"
Kaia hanya tertawa kemudian menggandeng lenganku, terlihat mengabaikan pertanyaanku.
"Semua pada kemana?" Tanyanya saat melihat rumah dalam keadaan sepi.
"Mitha kan keluar sama Jordy, Rendra kayaknya lagi ngojek."
Kaia menatapku heran,
"Ia, tadi pagi Mas Ody bilang. Ngapain dia jadi tukang ojek? Atau aku minta tolong ya, supaya bisa kerja di salah satu kantor mami?"
Aku menggeleng, kugenggam tangannya erat.
"Nggak akan bisa, karena dia harus kuliah. Lagian ini sekadar untuk uji nyali, bahwa hidup itu nggak selamanya mudah. Dia harus belajar cari uang sendiri, dia laki-laki."
"Nggak kasihan? Kapan selesainya kuliah kalau nyambi kerja begitu? Anak arsitektur kan tugasnya banyak." Protesnya.
"Ya biar dia belajar bagi waktu juga. Tidak ada hal yang percuma saat kita mencari pengalaman."
Kaia hanya tersenyum kemudian menyenderkan kepalanya ke bahuku saat kami sudah duduk disofa.
"Kamu mau makan apa? Mbak Warti lagi keundangan teman sekampungnya. Jadi tadi nggak masak."
"Apa aja deh. Aku sebenarnya cuma kepengen berdua aja."
Aku tersenyum, ini adalah kebiasaannya saat sedang memikirkan sesuatu. Bersyukur ia lebih terbuka denganku sekarang.
"Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?"
"Mami minta aku fokus mengurus perusahaan importir produk kecantikan dari korea. Katanya itu lebih mudah karena sudah settled. Aku sendiri bingung mau ngapain disana."
Aku tersenyum, karena apa yang dikatakan Kaia adalah sebuah kebenaran. Ia tidak pernah bekerja, apalagi membawahi orang.
"Makanya belajar dari sekarang. Apa yang kamu dapat dari bangku kuliah kan bisa diterapkan. Sambil tanya-tanya sama orang yang lebih berpengalaman. Nggak usah malulah, namanya juga belajar. Dari situ kamu akan melihat bahwa hal kecil yang kamu putuskan bisa berdampak besar nantinya."
Ia hanya diam menatapku.
"Boleh nanya sesuatu? Tapi maaf kalau nanti Kak Awa tersinggung."
"Tanya aja, aku nggak apa-apa."
"Kak Awa masih kesulitan keuangan sekarang?"
Aku tertawa mendengar pertanyaanya. Kutatap wajahnya yang imut. Kemudian menarik tubuhnya kedalam pelukanku.
"Semua akan baik-baik saja asal kamu ada disamping aku. Kami memang masih sulit, tapi aku masih bisa handle semua. Kamu tenang dan selalu tersenyum, itu sudah cukup buat aku."
Kaia tersenyum dan membalas pelukanku. Kukecup keningnya. Entah kenapa aku sangat menyayanginya.
"Jadi sekarang kamu mau makan apa?"
"Apa yang kak Awa masak aku pasti suka. Aku nggak request jenis karena nggak tahu bahannya ready apa nggak."
"Kalau gitu kamu duduk aja di dapur nemenin aku." Perintahku. Kaia menurut kemudian sibuk dengan ponselnya seperti biasa.
Kembali aku berkutat dengan ikan dan sayuran. Rencana cuma buat ikan panggang dan cah buncis saja. Selesai membumbui, aku memasukkan ikan ke dalam kulkas. Kemudian memotong sayur dan bumbu. Tak lama sayur sudah matang. Tinggal memasukkan ikan kedalam oven. Selesai!
Dikulkas hanya ada buah nenas dan papaya. Akhirnya kuputuskan membuat jus. Rasanya akan cukup enak disiang hari seperti ini.
"Makan di ruang tengah saja ya, Ia?"
Kaia mengangguk kemudian membantuku membawa piring dan beberapa peralatan lain. Aku menyusul dengan dua buah ikan panggang yang masih mengepul. Kaia bersorak saat melihat semua sudah ada dimeja.
Saat tengah menaruh nasi muncul Mitha.
"Hai, pada mau ngapain?" sapanya.
"Makan, kamu sudah makan? Jordy mana?" tanyaku.
"Belum sih, baru aja dia pulang."
"Hubungi dia suruh makan bareng. Ada Kaia juga disini."
"Kita kayak orang double date." Sindir Mitha.
Kami hanya tertawa. Jordy bersedia datang, tak lama ia sudah muncul karena tadi memang belum jauh.
"Gue tahu ini pasti bukan masakan Kaia, soalnya adik gue nggak bisa masak." Kalimat pertamanya sontak membuat Kaia meradang.
"Kalau udah tahu ngapain komentar."
Kami berempat tertawa. Kemudian melanjutkan makan siang. Jordy sudah lulus. Ia sendiri sudah mulai bekerja di perusahaan ayahnya. Aku pernah ditawari untuk bergabung dengan mereka, tapi kutolak. Rasanya tidak akan nyaman kalau harus berkantor dengan kekasih adikku sendiri. Selain malu pada Kaia tentunya. Takut dianggap sebagai penjilat dan memanfaatkan kekayaan mereka.
Kutatap mereka berdua, terlihat sangat akur. Jordy mampu berubah menjadi pria yang manis disamping Mitha. Tapi pertanyaanku adalah, mau sampai kapan? Aku tahu virus itu masih terus bersarang ditubuh Jordy seumur hidup Tidak akan hilang sampai kapanpun. Bagaimana nanti Mitha akan mendampinginya?
Kaia menambahkan sayur dipiringku sambil dengan sengaja sedikit menyentuh punggung tanganku.
"Kok bengong?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum. Tidak ingin berbagi cerita apapun. Karena masalah ini sangat sensitif. Selesai makan kami berempat duduk di teras belakang sambil menikmati ikan koi berenang. Suara air mancur memberikan suasana sejuk disiang hari yang panas. Beberapa tanaman koleksi Mbak Warti terlihat subur.
"Mas—"
Suara Jordy mengagetkanku. Ia memang sudah ikutan memanggil namaku dengan embel-embel, mas.
"Ya, ada apa?"
"Gue rencana mau tunangan sama Mitha."
Tiba-tiba aku merasa udara disekitarku berubah kosong. Tahu bahwa mereka bertiga melihat perubahan wajahku. Sejenak aku terdiam dan tidak tahu harus berkata apa. Kutatap Mitha, tak lama adikku menunduk.
"Kalian berdua yakin?" Entah mendapat ide darimana bertanya tentang itu. Yang pasti aku sedang berusaha menahan diri untuk tidak membuat semua orang didepanku tersinggung.
"Yakin!" jawab Jordy dengan tegas.
"Kamu, Mit?"
Kali ini Mitha menatapku. Aku tahu bahwa dimatanya ada sebuah kecemasan, kegelisahan juga rasa takut. Akhirnya Mitha mengangguk. Seketika tubuhku lemas.
"Sakit, kamu?" tanyaku pada Jordy.
Mata kami bertemu. Aku tahu ada luka menganga besar disana. Tapi ini demi adikku.
"Kita nggak mungkin pacaran terus mas. Gue sayang dia, dan janji nggak akan menularkan apapun yang ada dalam diri gue. Gue udah nanya banyak dokter juga kok, apakah nantinya kita bisa aman. Dan jawaban mereka, bisa asal kami hati-hati."
Aku sadar bahwa adikku sudah dewasa dan bisa berpikir tentang baik dan buruk. Entah kenapa aku kecewa terhadap keputusan mereka. Mestinya kalau memang tidak setuju seharusnya sejak awal aku melarang hubungan keduanya.
"Kalau Mas Awa nggak setuju, aku nggak akan melanjutkan semua." Jawab Mitha tiba-tiba. Membuat kami semua terkejut.
"Bukan tentang setuju atau nggak, masalahnya ada di kesehatan kalian berdua."
"Selama ini Mas Ody juga sudah bisa jaga kondisinya. Itu yang jadi pertimbangan awal kami untuk ambil keputusan ini."
Aku tidak punya jawaban apapun lagi. Adikku sudah memutuskan. Dan Mitha sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya. Kecewa? Jelas! Tapi aku adalah orang luar dalam hubungan mereka sekarang. Kutatap Kaia yang juga tengah menunggu jawabanku.
"Rencana kalian kapan?" tanyaku.
Seketika wajah mereka bertiga cerah, senyum lebar dan bahagia tercetak jelas.
"Setelah Mitha wisuda."
"Apa kamu yakin, Mit? Nggak mau kerja dulu?"
"Mitha akan kerja, gue jamin dia nggak akan jadi pengangguran." Jordy menjawab penuh semangat.
Aku hanya mengangguk, untuk yang satu itu aku yakin Jordy tidak akan berbohong. Tapi ada hal yang tetap mengganjal dalam hatiku. Rasanya ada hal yang membuatku tidak rela melepaskan Mitha untuk Jordy. Apa ini hanya ketakutan seorang kakak yang harus melepaskan adiknya untuk pria lain?
"Nanti aku akan bantu bicara dengan papi dan mami. Pastikan juga kedua orangtua kamu setuju. Aku nggak mau ada masalah dengan mereka. Kamu tahu kan level kita beda banget."
"Kami juga nggak akan buat acara besar-besaran, mas. Cukup keluarga dekat saja." Balas Jordy.
Dan aku tahu, kata cukup keluarga dekat saja bagi mereka berarti akan melaksanakan pertunangan di sebuah hotel bintang lima dengan pesta mewah. Aku juga tahu kalau Jordy tidak akan membebankan biaya apapun padaku. Tapi ini bukan hanya masalah uang. Kucoba tersenyum saat melihat kebahagiaan mereka. meski sebagian jiwaku terasa kosong.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
17920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top