19
***
Mitha baru saja menaruh selai pada rotinya saat aku memasuki ruang makan.
"Mas Awa sarapan nasi?" tanya Mbak Warti.
"Iya mbak, pakai telur sama sosis saja." jawabku sambil duduk di depannya. Menatap Mitha lekat kemudian bertanya.
"Kamu kemana aja sama Jordy? Rendra bilang jarang minta dijemput sekarang."
"Iya, Jordy sekarang yang jemput kan kampus kita nggak jauh."
"Kamu nggak diapa-apain sama dia kan?"
"Diapa-apain, maksudnya?"
"Kamu ngertilah maksud mas. Kamu itu perempuan, dan Jordy sakit. Jangan sampai kebablasan."
"Maksud mas apa sih? Aku nggak akan melakukan hal yang kayak gitu." Bantah Mitha.
Aku menghembuskan nafas kesal. Mencoba mencari kalimat paling bijaksana. Paham kalau adikku sedang jatuh cinta.
"Mas cuma mengingatkan. Kamu sudha besar tapi belum menikah, jadi masih tanggung jawabku. Jangan buat aneh-aneh diluar sana. Jangan bikin malu dan jadi bahan omongan orang. Sudah cukup papi sama mami yang selalu diomongin. Mas nggak larang kamu mau dekat dengan siapa, tapi pikirin masa depan juga. Kalian masih muda, jangan terjebak sama sesuatu yang bisa bikin hidup kalian hancur. nantinya."
"Iya, mas." Jawab Mitha lemah.
"Satu lagi, dekat dengan Jordy bukan berarti kamu boleh minta-minta sama dia. Mas nggak pernah ngajarin kamu dan Rendra jadi pengemis. Kita memang lagi susah, tapi bukan berarti kelaparan. Kalau mau hidup enak, nanti, setelah kamu kerja. Ingat pesan mas."
Mitha hanya mengiyakan. Tak lama Rendra memasuki ruang makan, tubuhnya penuh dengan peluh sehabis lari pagi.
"Sarapan, Ren." Ajakku.
"Duluan aja mas, aku baru kelar." Jawabnya sambil duduk di kursi sebelaku. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada krah kemejaku yang sedikit sobek.
"Mas, itu krah baju sobek kok masih dipake?" tanya Rendra.
"Mana? Nggak kelihatan tadi." jawabku pura-pura tidak tahu.
"Buka aja biar kelihatan, aku ambilin baju yang lain ya mas." Mitha segera beranjak.
Saat kembali, ia muncul dengan sebuah kemeja lain yang sangat jarang kukenakan. Karena memang merasa sayang.
"Pakai ini aja."
"Makasih Mit." Jawabku tanpa beban.
"Kayaknya mas harus beli kemeja baru deh."
"Nggak dulu, bulan ini aku harus bayar pajak rumah dan motor. Mudah-mudahan bulan depan bisa."
Kalimat yang diucapkan dengan santai itu membuat wajah kedua adikku berubah.
"Kalian berdua kenapa? Sudah santai aja, hari ini aku nggak harus keluar kok. Pakai kemeja seperti tadi juga nggak apa-apa."ucapku sambil berdiri dan meraih tas ransel dan tabung gambar.
"Mas duluan, jangan malas kuliah kalian berdua."
Bagiku kemeja bukanlah masalah besar. Kapan-kapan bisa dibeli. kebutuhan rumah dan kuliah kedua adikku jauh lebih penting.
***
Mitha dan Rendra hanya saling memandang selepas kepergian sang kakak. saat Warti memasuki ruang makan, ia yang dari tadi mendengar percakapan itu berkata,
"Sepatu Mas Awa juga kemarin mbak lihat seperti baru dijahit. Apa memang benar-benar dia lagi nggak punya uang banget ya, Mbak Mit?"
Gadis itu tertunduk lesu.
"Kasihan Mas Awa, rasanya gue jadi pengen ikut kerja deh. Jadi ojek online juga nggak apa-apa supaya bisa dapat tambahan."
"Hasil nari gue cuma bisa buat kebutuhan kuliah sama sehari-hari. Tapi bisa sih nanti gue nanya Bu Enggar."
"Lo sih enak, ada Jordy yang bayarin kalau makan. Nah gue? Kasihan Mas Awa kalau gini. Dia nggak pernah mikirin diri sendiri." Rendra menimpali.
"Nanti deh, gue tanya sama orang sanggar. Boleh pinjam honor atau enggak."
Rendra hanya menunduk. Selesai sarapan keduanya segera beranjak dan berangkat ke kampus masing-masing. Siang harinya Mitha memberanikan diri bertanya.
"Bu Enggar, apa saya boleh minta duluan honor bulan ini? Ada sesuatu yang penting mau saya beli."
Enggar sang pemilik sanggar menatap anak didiknya dengan bingung. Mitha tidak pernah meminta uang di depan. Ia mengenal gadis itu sejak kecil, ketika ibunya masih menjadi pemilik sanggar ini.
"Kamu perlu berapa?"
"Lima ratus ribu boleh, Bu?"
Enggar segera mengeluarkan uang itu dari dompetnya. Mitha menerima dengan senyum lebar.
"Terima kasih, Bu."
"Apa itu cukup? Bulan ini jadwal menari kamu lumayan banyak lho."
"Apa boleh bu?"
"Boleh, kenapa nggak? Kamu mau tambah berapa?"
"Lima ratus ribu lagi bisa?"
Bu Enggar kembali membuka dompetnya.
***
"Turunin gue di mal depan situ aja, Dy." Pinta Mitha.
"Ngapain ke mal kecil begitu?"
Gadis itu menghela nafas. "Mau beli sesuatu buat Mas Awa."
"Jangan disitu deh, ke MTA aja yuk atau ke PS sekalian. Gue yang bayarin."
"Di sana mahal, uang gue nggak akan cukup."
"Yang bilang pakai uang lo siapa?"
"Mas Awa akan curiga kalau gue beli barang mahal. Dan gue nggak mau dia marah."
"Terserah lo deh, gue nemenin aja." jawab lelaki itu dengan kesal.
Jordy mengikuti langkah Mitha memasuki sebuah toko. Mereka segera menghampiri bagian pakaian pria yang memberikan diskon lumayan besar. Gadis itu memilih beberapa yang disuka. Sayang ia hanya mendapatkan satu yang sesuai dengan ukuran Birawa. Sampai kemudian SPGnya berkata,
"Kalau yang ini kan udah special price, mbak. Jadi ukurannya sudah tidak lengkap. Kalau mau ambil yang diskon 30 persen saja."
Setelah menghitung, Mitha merasa bahwa itu masih cukup mahal. Tidak akan cukup kalau harus membeli sepatu juga karena ingin membelikan beberapa buah. Akhirnya ia pindah ke bagian merk lain. Sementara Jordy menatap dengan jengkel namun tidak bisa berbuat apapun. Sampai akhirnya Mitha berhasil mendapatkan tiga buah kemeja dan sepasang sepatu.
Ia bisa keluar dari toko tersebut dengan senyum lebar. Membayangkan Awa mengenakan kemeja yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Sementara jordy kelihatan masih kesal.
"Lain kali nggak usah belanja dengan cara gitu kenapa? Lo kan bisa pakai uang gue? Lagian berapa sih harganya? Satu kemeja dua ratus tibu aja lo masih cari yang lebih murah?!" teriak pemuda itu saat mereka sudah sampai di mobil.
Mitha menatap wajah kekasihnya tak percaya. Kalimat Jordy jelas merendahkannya.
"Buat lo memang itu murah, mungkin juga nggak ada artinya. Tapi yang lo harus tahu, gue nyari uang segitu setelah nari diberapa tempat. Uang gue nggak ada pohonnya."
"Gue bukan ngerendahin nilai uangnya. Tapi lo belanja lebih dari satu jam cuma buat beli kemeja yang jelas-jelas ukurannya nggak ada. Lo nggak lihat muka mbak-mbaknya ngeremehin gitu?!"
Seketika mata gadis itu berkaca-kaca.
"Lo bisa ngomong gitu karena nggak tahu bagaimana mas gue harus kerja keras buat cari uang. Lo bisa ngomong gitu, karena lo nggak pernah kekurangan apapun. Sementara gue untuk beli ini aja harus minta uang honor, yang artinya bulan depan gue harus lebih berhemat.
Lo nggak tahu bagaimana rasanya jadi adik Birawa, saat mas gue mau ke kantor dan krah kemejanya sobek tanpa dia tahu. Bukan dia nggak bisa beli untuk diri sendiri. Tapi dia mengorbankan kepentingannya supaya kami semua bisa kuliah dan makan!" selesai mengucapkan itu Mitha keluar dari mobil meninggalkan Jordy yang terdiam.
Sadar bahwa sang kekasih sudah pergi, pemuda itu segera keluar dari mobil dan mengejar Mitha dan menarik tangannya.
"Sorry buat omongan tadi, gue anter lo pulang."
"Nggak usah, gue bisa naik ojek."
"Mith, jangan gitu, ini tempat ramai. Semua orang pada ngeliatin kita. Gue minta maaf."
Mitha menatap sekeliling, mereka memang menjadi tontonan sekarang. Apalagi ketika banyak yang melihat dari mobil Ody turun. Malu karena menjadi pusat perhatian akhirnya ia menurut.
"Gue nggak bermaksud nyakitin elo. Gue cuma nggak suka melihat cara mereka melihat lo yang sibuk nyari harga murah. Rasanya gue pengen beli seluruh isi toko mereka supaya mereka tahu siapa lo."
Mitha menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan perlahan. Ia tidak ingin berdebat.
"Lain kali kita beli online aja." Ujar Jordy akhirnya.
***
Jordy mendekati Kaia yang tengah duduk di tepi kolam renang.
"Ngapain di sini?"
"Bengong aja, dari mana mas?"
"Habis anterin Mitha belanja buat Birawa."
"Memangnya dia ulang tahun?" Kaia segera mengerenyit dahi.
"Nggak, tadi pagi waktu mau ke kantor. Katanya kemeja Birawa sobek. Dan dia nggak tega. Pakai acara minjem honor nari lagi. Kayak nggak bisa minta ke mas aja." Omel Ody.
"Kok bisa pakai kemeja sobek?"
"Mitha bilang sih, Awa selama ini yang bantu keuangan keluarga mereka. Mungkin pengeluaran dia lagi gede. Kerja di biro arsitek gitu apalagi masih pemula kan gajinya nggak gede. Mungkin orangtuanya nggak ngasih banyak. Tapi mas nggak yakin, mereka ananya Pak Radyatama lho? Itu petinggi di anak perusahaan keluarga papi, kan?"
"Aku nggak pernah nanya keluarganya. Dia juga nggak mau cerita apa-apa. Atau mungkin selama ini dia sibuk kerja untuk itu."
"Kamu nggak pernah nanya?"
Kaia menggeleng lemah.
"Dia kalau ngobrol sama aku cuma bilang baru pulang kerja."
"Tadi mas niat bantu Mitha, tapi ditolak. Kasihan dia. Makanya dia ingin secepatnya menyelesaikan kuliah. Nanti aku akan bantu dia buat kerja."
"Birawa hebat ya, bisa menjalani semua tanpa pernah mengeluh. Dia juga nggak pernah kelihatan punya masalah keuangan."
"Kamu nggak pernah diajak makan di luar gitu?"
"Nggak, berapa kali cuma makan di rumahnya. Sebenarnya nggak masalah kalau aku yang bayarin. Tapi dia memang nggak pernah ngajak. Awalnya Ia malah mengira kalau dia pelit. Nggak tahu kalau kondisi keuangan mereka separah itu."
"Kamu yakin melanjutkan hubungan sama dia? Cowok yang nggak pernah ajak makan di luar?"
"Mas merendahkan dia." jawab Kaia tak suka.
"Kamu tidak berbeda sama Mitha, selalu nganggap begitu. Mas cuma tanya masa depan kalian. Butuh berapa lama supaya dia bisa mapan? Apa kamu bisa menunggu? Apa kamu nggak akan malu kalau ada yang tanya tentang asal usul dia? Apa kamu bisa menurunkan standar hidup yang selama ini kamu jalani? Pikirkan mulai sekarang Ia. Jangan menyesal, kasihan Awa nanti. Mas tahu dia nggak bakal nerima uluran tangan kita. Dia cowok yang punya prinsip."
"Mas sendiri yakin sama Mitha?"
"Kalau nggak yakin mas nggak akan ngejar dia sampai begini."
"Bagaimana kalau dia cuma kasihan dan memanfaatkan?"
"Kalau soal kasihan mas nggak tahu, kalau memanfaatkan aku jamin, Mitha nggak seperti itu. Tadi saja aku ajak ke PS dia nggak mau. Dia juga nggak pernah terima ajakan buat makan ditempat kita biasa."
"Aku tahu dia baik dan bukan tipe perempuan matre. Semoga mas bahagia sama dia." ucap Kaia tulus.
***
Happy reading
Maaf utnuk typo
15920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top