17
"Halo, sudah selesai kuliah?" Tanya Kak Awa begitu ia menjawab panggilanku.
"Sudah, Kak Awa di mana?"
"Di rumah, baru bangun tidur lumayanlah dua jam lebih. Kamu sama supir?"
"Iya, mau sama siapa lagi?"
"Mampir ke rumah Kak Awa, yuk."
"Malu ah, sama Mitha dan Rendra." Tolakku.
"Ya nggak apa-apa. Ada oleh-oleh roti abon tuh buat kamu."
"Share location, kak." Jawabku akhirnya. Bergegas aku menuju ke rumahnya.
Kak Awa sudah menunggu di halaman. Hanya mengenakan celana basket dan kaos tanpa lengan. Terlihat ia sedang menyiram tanaman.
"Duduk dulu Ia. Sebentar lagi Kak Awa selesai." ucapnya. Aku segera duduk di teras sambil menatap sekeliling. Halamannya tidak terlalu luas. Namun banyak pohon buah-buahan di sana. Ada mangga, beberapa jenis jambu air, dan belimbing.
Rumah ini cukup kecil, tapi kelihatan sangat asri. Terletak di sebuah perumahan yang tak jauh dari pintu keluar tol. Tak lama seorang perempuan datang sambil membawa dua gelas teh. Satu untukku sisanya untuk Pak Rudi ternyata.
Selesai menyiram tanaman, Kak Awa menghampiriku.
"Masuk yuk, ngobrol di dalam saja."
Aku menurut, bagian dalam hanya diisi furniture seadanya, bahkan terlihat sudah sangat lama. Rumah ini berlantai dua. Ada sedikit halaman dibagian belakang yang terlihat melalui pintu kaca. Dindingnya dihias dengan beberapa tumbuhan pakis dan tanaman menjalar. Dan ada kolam ikan hias dibagian bawah yang airnya terus mengalir. Membuat suasana terasa sejuk.
Kak Awa sendiri memasuki area dapur dan kembali dengan membawa sekotak kue.
"Nih buat kamu, nggak tahu juga harus bawa apa dari sana. Semoga kamu nggak sedang diet."
"Makasih kak, Ia nggak pernah diet, kok."
Ia hanya tersenyum sambil terus menatapku.
"Gini deh tempat tinggal kak Awa. Jauh beda sama rumah kamu."
"Jangan ngomong gitu. Ia nggak pernah mikir sampai kesana. Rendra sama Mitha kemana?"
"Jemput Mitha latihan. Bagaimana kabar Jordy?"
Pertanyaan yang selalu kuhindari itu akhirnya ditanyakan juga. Ada rasa gelisah karena aku menyimpan sesuatu yang ia tidak tahu.
"Sudah lebih baik. Rencana akan mulai kuliah semester depan."
"Pengobatannya berjalan baik ya."
Aku cuma mengangguk. Karena memang tidak punya jawaban lain. Meski sebenarnya Mas Ody sudah membaik, karena mood-nya juga bagus. Kami berbincang cukup lama sampai kemudian kedua adik Kak Awa pulang. Aku diajak makan bersama termasuk Pak Rudi. Sebenarnya supirku menolak mati-matian. Namun mengingat ini sudah jam makan malam Kak Awa memaksa.
Kami makan di meja yang cukup untuk delapan orang. Dengan menu khas rumahan. Sambal goreng udang, sayur lodeh, tempe tahu goreng tepung yang sepertinya favorit seisi rumah. Masakan Mbak Warti terasa enak dilidahku.
"Ayo, ditambah mbak Ia, Sambel udang sama sayur lodehnya masakan Mas Awa." ucap Rendra.
Aku menatap pria yang duduk di hadapanku, ia hanya mengangguk. Sama sekali tidak menyangka kalau ia pandai memasak. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan di rumah.
Suasana di meja makan terasa hangat. Mereka saling berbagi cerita tentang kegiatan seharian. Kharisma Kak Awa sebagai anak sulung sangat kuat. Ia menjalankan posisinya dengan baik.
Sebelum selesai makan kutatap Mitha yang lebih banyak tersenyum. Seandainya Mas Ody berada disini. Ia pasti sangat bahagia. Aku kini mengerti kenapa masku tidak bisa lepas dari rasa sukanya terhadap Mitha. Ia terlihat berbeda dengan perempuan yang selama ini ada disekitar Mas Ody. Auranya sanggup membuat udara panas menjadi sejuk. Mungkin aku terlalu tinggi dalam menilainya. Tapi itulah kenyataan yang ada didepanku.
Pantas Kak Awa menjaganya dengan sangat hati-hati. Jelas Mas Ody tidak masuk dalam kriteria yang ditetapkan. Tapi sanggupkah aku memupus harapan diwajah kakakku sendiri? Rasanya ada hal yang membuatku malah ingin menangis. Kembali kukuatkan keinginan untuk mempersatukan mereka.
***
Jordy menatap sosok Mitha yang tengah memasuki sebuah toko di mal. Kebetulan hari ini ia merasa bosan di rumah. Pertama kali masuk kedalam pusat pertokoan setelah hampir setahun menahan diri. Sebenarnya ia berdiri di tempat yang agak jauh. Melihat gadis itu diam, Jordy akhirnya menjauh. Ia tahu kalau tidak diinginkan. Akhirnya langkahnya berhenti di sebuah cafe. Memutuskan duduk di sana dan memesan secangkir teh hijau. Sesuatu yang takkan pernah ia minum sebelumnya.
Penyakit ini membawa banyak perubahan dalam dirinya. Terutama gaya hidup sehat yang selama ini sangat dijauhi. Kalaupun berada di luar seperti sekarang, ia menjadi sangat pemilih. Lebih suka menahan lapar daripada harus berbaring karena sakit. Sibuk dengan pemikiran sendiri, Jordy menyadari kalau Mitha sedang melintas. Entah kenapa akhirnya tidak bisa menahan diri.
"Mit," sapanya sambil berdiri.
Langkah itu terhenti dan gadis itu memberikan senyum. "Hai, di sini juga?"
"Mau duduk bareng?"
Akhirnya Mitha memutuskan duduk di hadapannya. Selesai memesan keduanya saling menatap.
"Hari ini gue nggak ikutin lo. Cuma memang kebetulan kemari." Jordy berusaha menjelaskan.
"Yang waktu gue nari?"
"Itu memang sengaja. Tapi gue tepatin janji kan. Anggap aja gue pemerhati seni."
"Jangan membuat alasan lain, kalau memang tujuan lo bukan itu."
"Memang susah ya berdebat sama perempuan. Tumben lo sendiri."
"Mas Awa sibuk di kantor. Dan Rendra lagi ikut bimbingan. Nanti pulangnya baru dijemput." Kalimat yang keluar dari bibir Mitha masih terdengar lembut.
"Mereka sayang banget sama lo."
"Lo juga sayang sama Kaia kan?"
"Ya," jawab Jordy pelan. Meski sudah berusaha mati-matian. Sayang, matanya tidak bisa beralih ketempat lain.
"Lo baik-baik aja?"
"Ya, kalau lagi bisa keluar begini, artinya gue sehat. Belakangan sih memang sudah lebih baik."
"Jangan menyerah."
Kalimat yang diucapkan dengan sangat pelan itu sanggup menghentikan segala keresahan dipikiran pemuda itu.
"Lo salah satu hal yang membuat gue tidak ingin menyerah. Sorry kalau gue terlalu jujur. Nggak ada maksud lain, cuma memang adanya begitu. Oh ya, bagaimana dengan Kaia dan Awa? Mereka masih jalan bareng, kan?"
"Masih, kemarin waktu Mas Awa pulang dari Papua,Mbak Ia main ke rumah."
"Dia cerita, katanya Awa jago masak."
"Dari kecil Mas Awa biasa ke dapur. Kadang di rumah nggak ada siapa-siapa. Orangtua gue kerja dan kita lapar. Dulu sih bisanya cuma masak telur dadar. Tapi makin lama makin mahir."
"Lo beruntung kalau begitu."
"Lo juga bisa masak, kan? Waktu di apartemen?"
"Ya, tapi hanya yang begitu. Kalau bumbunya banyak gue nggak bisa. Tapi Kaia paling suka kalau gue buatin pasta. Apa lo mau coba buatan gue?" tanya Jordy penuh harap agar Mitha mengangguk.
"Nanti aja kalau Mbak Ia ke rumah lagi. Lo titipin, itupun kalau lo sehat dan dan nggak sibuk."
"Gue sama sekali nggak sibuk. Gue akan kirim lewat Ia." Jawab Jordy penuh semangat. Sebuah permintaan menarik yang tidak akan pernah ditolaknya.
***
Kutatap Mitha yang duduk tenang di hadapanku. Bagaimana harus memulai percakapan kami? Apa nanti ia tidak akan tersinggung? Bagaimana kalau gadis yang dicintai masnya ini mengadu pada Awa?
"Mbak Kaia?"
Terdengar suara Mitha mengingatkannya. Kaia membalas tatapan itu dengan sungkan. Apa yang harus dikatakannya? Ia tidak ahli dalam merangkai kata.
"Mbak Ia mau ngomong apa?"
"Sorry gue takut lo tersinggung."
"Memangnya ada apa sampai gue harus tersinggung?"
"Ini tentang mas gue, jordy."
"Ada apa dengan dia?"
"Jangan marah ya kalau gue ngomong sesuatu."
Ada anggukan yang tegas disana.
"Bagaimana perasaan lo ke mas gue?"
Kalimatku sukses membuat senyum Mitha hilang. Lama kami sama-sama diam. Sampai akhirnya kuberanikan diri melanjutkan kalimatku.
"Lo tahu kan sakitnya Mas Jordy. Dia sayang banget sama lo. Gue yakin, mas gue bukan cowok yang lo inginkan. Tapi yang nggak bisa gue larang adalah rasa sukanya ke elo.
Kemarin waktu kirim spaghetti, dia sibuk masak di dapur, berulang kali dicoba sampai kemudian menurut dia itu yang paling enak. Sampai segitunya dia berharap agar lo melirik dia. Gue cuma mau bilang, kalau lo nggak punya rasa apa-apa ke dia. Jangan terima apapun yang dia tawarkan ke lo.
Gue tahu, dengan kondisi dia sekarang pasti semua perempuan akan mikir untuk dekat atau punya hubungan sama dia. Gue juga ngerti kalau lo bukannya sayang, tapi mungkin cuma nggak enak matahin semangat dia dan kasihan. Tapi tolong, dengan cara begini lo kasih dia harapan. Dan suatu saat nanti, kalau dia tahu lo sebenarnya nggak membalas perasaan dia. Dia akan hancur banget. Dan gue nggak mau itu terjadi lagi."
Mitha menatapku tak percaya.
"Dulu setelah kejadian dia nyulik lo. Gue yang jagain dia sepanjang hari. Dan kerjaan dia cuma ngelihati video lo dan ngelus bantal bekas lo tidurin. Gue nggak mau dia begitu lagi. Kalau lo menghindari dia dari sekarang, gue yakin dia akan ngerti."
Kali ini aku tidak bisa menahan airmata. Ini adalah keputusan tersulit yang pernah kuambil. Membicarakan ini saja membuatku harus berpikir berhari-hari lamanya.
"Sepulang dari Roma dia banyak senyum, dia semangat kuliah lagi bahkan dia semangat buat melakukan banyak hal yang positif. Gue tahu itu karena dia ingin lo melihat dia sebagai seseorang yang layak. Tapi gue tahu itu cuma mimpi. Lo nggak akan pernah melihat ke dia. Please... stop it."
Kali ini aku benar-benar menangis. Tidak peduli pada semua orang yang menatap heran pada kami. Tapi entah kenapa Mitha malah menatapku tersenyum.
"Bagaimana kalau gue memang sayang sama dia?"
Kutatap wajah adik Birawa itu dengan tak percaya.
"Nggak mungkin, jangan main-main Mit? Ini bukan masalah sederhana."
"Kecuali lo takut kalau karena hubungan gue dengan Jordy. Lo bakal bermasalah dengan Mas Awa. Tapi tolong jangan bilang apa-apa sama Jordy. Biar saja semua berjalan natural. Satu lagi jangan bilang apa-apa pada Mas Awa."
Entah kenapa, aku merasa bahwa ia tengah berbohong. Tapi kenapa bibirnya tersenyum? Apa aku yang salah melihat?
***
Happy reading
Maaf utnuk typo
13920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top