16



Kak Awa baru pergi, tapi aku sudah merindukannya. Aku bingung dengan perasaan dan keinginanku tentang hubungan kami.  Dari cerita beberapa hari lalu, aku tahu kalau ia akan cukup lama berada di sana. Ada beberapa proyek yang menggunakan jasa biro tempatnya bekerja. Karena baru lulus, masih harus banyak menimba ilmu dari atasannya untuk bisa memiliki sertifikat arsitek.

Aku berpikir tentang keuangannya. Birawa bukan berasal dari kalangan kami. Ia pernah cerita kalau harus mencari uang untuk membantu membiayai sekolah dan kuliah adik-adiknya. Karena pemberian orangtua mereka tidak cukup.

Aku kagum pada sosoknya yang tangguh sebagai kakak laki-laki. Ia tidak pernah mengeluh. Aku berharap bisa menemukan sosok seperti Kak Awa untuk menjadi pasangan kelak. Aku tidak sekuat mami, yang sampai sekarang masih bisa bertahan disamping papi. Meski hanya demi selembar surat.

Aku tidak sanggup membayangkan kalau kelak memiliki suami seperti papi. Bukan  anti pada jalan yang dipilihnya. Tapi kenapa ia tidak pernah memikirkan perasaan kami anak-anaknya? Papi terlalu sibuk dengan dunianya.

Kutatap matahari yang baru bersinar dari balik jendela. Menunggu panggilan dari Kak Awa.

"Kok bengong?" suara Mas Ody mengagetkanku.

"Iya, kepengen ngelihat matahari. Tumben sudah bangun?"

"Tadi malam tidur nyenyak karena dibantu obat. Jadi bisa bangun pagi. Jalan pagi, yuk."

Aku meliriknya tidak yakin.

"Memang sudah bisa?"

"Kalau cuma jalan kaki sih bisa. Kalau capek kan tinggal berhenti."

Akhirnya aku mengiyakan. Lima belas menit kemudian kami sudah berada di Jogging track halaman belakang.

"Pulang dari Italy, Mas Ody kelihatan tambah seger. Ada sesuatu yang aku nggak tahu? Maksudku apa yang membuat mas senang?"

Ia mengacak rambutku kemudian memeluk bahuku. Kami tetap berjalan pelan.

"Karena aku ketemu Mitha di sana."

"Ya jelas, mas kan ke sana memang untuk melihat dia, kan?"

"Bukan itu, ada hal lain."

"Jadi?"

"Aku mencoba ketemu  langsung. Kebetulan malam sebelum pulang, dia sendirian di cafe depan hotel tempatnya menginap. Disana aku meminta maaf,  rasanya lega sekarang."

"Dia memaafkan?"

Mas Ody mengangguk.

"Aku nggak yakin kalau cuma itu. Mas istirahat hanya sebentar lho sepulang dari sana. Terus sekarang malah bisa ajakin aku olahraga. Aneh aja."

Kali Ini dia tersenyum dan menatap langit pagi yang cerah.

"Aku suka lihat suasana pagi ini. Tenang banget rasanya." Kami kemudian berhenti di bangku taman dekat area kolam renang.

"Aku juga bilang ke Mitha kalau aku sayang sama dia." Lanjutnya.

Aku terkejut mendengar pengakuannya.

"Terus dia jawab apa?"

"Nggak ada, karena pernyataan itu bukan untuk dijawab. Kamu tahu kan kondisiku, mana tega kalau dia harus tertular. Tapi minimal aku lega karena sudah menyampaikan."

"Reaksi dia?"

"Nggak ada. Mungkin dia memang tipe begitu. Atau bisa juga sudah punya seseorang."

"Setahuku dia belum punya pacar." Jawabku.

"Kamu tahu darimana?" tanyanya tak percaya.

"Aku baru kemarin ketemu dia."

"Kalian sengaja ketemu?"

"Bisa dibilang begitu. Di acara Wisudanya Birawa."

"Ada temen kamu yang wisuda juga?"

"Aku dapat undangan dari Birawa langsung." Jawabku akhirnya. Rasanya lebih baik jujur sekarang.

Kali ini ia tersenyum lebar.

"Kalian jadian?"

Aku mengangguk. Mas Ody kemudian memelukku erat.

"Aku senang, kalau dia yang jadi pacar kamu. Aku kenal dia sebagai cowok baik-baik. Dia akan jaga kamu sama seperti aku menjaga kamu selama ini. Keluarganya tahu?"

Seketika lidahku kelu. Apa yang harus kulakukan setelah ini?

"Kemarin aku cuma ketemu adiknya. Orangtuanya nggak datang."

"Makanya kamu jadi tahu kabar Mitha?"

"Ya, tapi aku nggak tahu tentang hubungan kalian."

"Hubunganku dengan  dia tidak akan jauh berbeda sampai kapanpun."

"Mas menyesal dengan keadaan sekarang?"

"Kadang ya, tapi aku berniat keluar dari rasa itu. Rencana mau kuliah lagi, minimal kalau pergi nanti aku sudah punya gelar S1." Jawab Mas Ody sambil bercanda.

"Palingan supaya Mitha melirik."

"Nggak sama sekali, bukan karena dia. Ini murni keinginanku. Rencana juga pindah kampus."

"Mau kerja juga?"

"Ya, minimal supaya aku bisa merasakan hidup normal. Tidak terpaku  memikirkan  tentang kesehatan dan kesalahan  dimasa lalu."

"Aku seneng kalau mas bisa berpikir seperti sekarang." Bisikku.

"Aku cuma ingin menjadi seseorang yang kamu banggakan. Entah saat itu nanti aku masih ada atau cuma tinggal nama."

"Jangan ngomong gitu, aku nggak suka."

Ia menatapku lekat,

"Umur orang siapa yang tahu, Ia. Bisa siapapun duluan. Tapi minimal aku nggak akan mati sia-sia setelah ini."

Aku kembali masuk ke dalam pelukannya.

"Seandainya keluarga kita normal." Bisikku lagi.

"Jangan mikir yang negatifnya terus. Kalau sudah terjadi, mau apa? Yang penting kita bisa menjadi lebih baik selagi punya kesempatan."

Aku hanya mengangguk, menikmati kebersamaan kami dipagi hari. Sesuatu yang sulit untuk kupercaya. Semua perubahan terasa terlalu singkat. Dari Kak Awa yang menyatakan cinta. Sampai Mas Ody yang ingin memperbaiki hidupnya. Mungkin aku akan tersenyum sepanjang hari ini.

***

Kutatap bandara yang cukup besar, kami baru tiba di Sorong. Menurut Pak Haikal atasanku, seseorang akan menjemput kami dan membawa ke hotel. Rasanya itu adalah pilihan terbaik, bisa meluruskan badan setelah semalaman tidak nyaman duduk di kursi pesawat.

Baru kusadari kalau kota ini berada di tepi pantai. Aku memang penyuka laut. Mudah-mudahan sebelum pulang nanti sempat menikmati keindahan Raja Ampat. Sebuah tempat yang sudah lama kuimpikan.

Sesampai di hotel, kami segera mandi dan berganti pakaian. Tubuhku terasa letih karena kurang istirahat dari kemarin. Namun tetap memaksakan diri menghubungi adik-adikku dan Kaia.

Kukabari Mitha bahwa aku sudah tiba dengan selamat. Sekaligus memberikan nasehat agar  tetap berhati-hati. Kemudian baru menghubungi Kaia melalui video. Dering kedua ia sudah menerima panggilanku.

"Hai, sudah sampai kak?" tanyanya. Baru kusadari ia merubah panggilan dan tidak lagi menggunakan kata lo gue. Mungkin karena meningkatnya status hubungan kami.

"Sudah mandi malah, lagi ngapain?"

"Baru selesai jogging sama Mas Ody."

"Dia sudah baikan?"

"Sudah, hasil labnya lumayan bagus kemarin. Mungkin obatnya sudah mulai bekerja jadi staminanya membaik. Dia juga punya semangat buat melanjutkan kuliah lagi."

"Syukur deh, yang penting dia jaga diri dan menjauh dari teman yang membawa pengaruh buruk ke dia."

"Kak Awa nggak takut dengan sakitnya Mas Ody?"

"Nggaklah, sepanjang dia nggak punya niat buruk untuk menulari orang lain. Setiap orang sebenarnya membawa penyakit dalam tubuhnya kan. Tapi mungkin karena Ody resiko penularannya tinggi jadi harus lebih hati-hati."

"Kak Awa masih marah dengan kejadian dulu?"

"Marah sih nggak, melupakan juga nggak. Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Jordy benar-benar suka sama Mitha?" tanyaku.

Kaia diam, kuanggap jawabannya adalah ya. Kuusap wajah dengan sebelah tangan. Ia hanya menatap dan diam.

"Hari ini kamu kuliah?" tanyaku sambil berusaha mengganti percakapan tentang Jordy.

"Iya, ada dua mata kuliah. Ada kuis juga."

"Ya sudah, hati-hati ya. Kak Awa istirahat dulu."

Ia tersenyum manis sekali. Kenapa aku sudah merindukannya? Tak sabar pekerjaan ini cepat selesai.

***

Menjalani pekerjaan ini memberikan banyak manfaat padaku. Termasuk tentang kesabaran. Bagaimana menghadapi konsumen yang kadang tidak jelas apa maunya dan juga keinginan mereka yang berubah-ubah.

Beruntung Pak Haikal sudah memiliki jam terbang tinggi. Sehingga bisa meng-cover semua keinginan mereka. Aku hanya mendapat tugas merevisi sedikit demi sedikit sekaligus mengerjakan maket. Itu bukan lagi pekerjaan sulit bagiku.

Aku terlalu mencintai dunia arsitektur. Sehingga kemanapun pergi mataku tidak pernah terlepas dari bentuk bangunan yang kulewati. Bekerja dari pagi hingga tengah malam membuat waktu tidak terasa. Kami sudah pindah dari Sorong ke Kaimana dan akhirnya Biak.

Setelah dari Biak baru kembali ke Jakarta. Tak terasa perjalanan kami hampir sebulan. Aku sudah mengabari Rendra tentang kepulanganku. Mereka tampak senang sambil meminta oleh-oleh khas papua. Sementara Kaia hanya tersenyum senang. Aku yakin ia tidak butuh benda apapun sebagai oleh-oleh.

***

Mitha dan Rendra sedang merayakan kepulanganku di sebuah restoran cepat saji. Setelah menjemput di Bandara kami terdampar di sebuah mal yang cukup ramai. Tentu saja tanpa kehadiran Kaia. Karena aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan mereka bertiga.

"Gimana kalian selama gue tinggal?"

"Biasa aja, gue lagi persiapan ujian. Mbak Mitha sibuk kuliah sama narinya."

"Jordy ada ikutin Mitha?"

Pertanyaanku tidak ada yang menjawab. Kutatap keduanya dengan tajam.

"Kalian menyembunyikan sesuatu?"

Keduanya masih diam.

"Kalau nggak ada yang mau jawab, gue anggap kalian sudah dewasa dan nggak butuh gue didekat kalian."

"Jordy berapa kali nonton pertunjukanku." jawab Mitha dengan takut.

"Ngapain?"

"Cuma nonton doang. Habis itu pulang."

"Dia tahu jadwal kamu?"

"Sekarang tahu."

"Kamu ngapain aja?" tanyaku pada Rendra.

"Ya tetap nganterin sama jemput. Jordy nggak ngapa-ngapain kok, cuma nonton doang. Aku kan selalu di sana."

"Dia sudah berubah mas." Suara Mitha terdengar melemah.

Kutatap wajahnya yang pias. Ada rasa takut yang besar disana.

"Aku takut dia cuma pura-pura baik untuk mendekati kamu. Hati-hati saja, jangan mudah terjebak. Jangan sampai dia memanfaatkan sisi baik kamu.  Kamu  orangnya gampang kasihan."

Kulihat Mitha tetap menunduk. Terbersit sedikit rasa kasihan, takut kalau dia tertekan. Aku tidak bertanya lagi. Akhirnya kami keluar dari restoran dan pulang. Sesampai di rumah aku segera membongkar koper mengeluarkan pakaian kotor dan memasukkan ke mesin cuci.

Ingin membicarakan hubungan Mitha dan Jordy pada Kaia. Tapi rasanya masih terlalu dini. Sebaiknya kutunggu perkembangan lebih lanjut. Selesai mencuci aku kembali ke kamar. Membiarkan Mbak Warti asisten rumah tangga kami menjemur pakaianku.

Kami cuma punya satu pembantu sekarang. Tukang kebun datang dua minggu sekali. Pekerjaan lain kami saling membantu. Karena kasihan kalau Mbak Warti harus bekerja terlalu lama dan tidak punya waktu untuk istirahat. Kami juga terbiasa membersihkan kamar masing-masing.

Kurebahkan tubuh di kasur, setelah mengirim pesan pada Kaia bahwa aku sudah sampai di Jakarta. Ia pasti masih berada di ruang kuliah. Kuputuskan untuk tidur lebih dulu. Supaya nanti bisa bangun dengan lebih fresh. Selesai melakukan perjalanan jauh membuat mataku mengantuk.

***

Happy reading

Maaf utnuk typo

12920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top