15

Mitha pulang ke hotel dengan perasaan tak menentu. Kalimat Jordy terus terngiang ditelinga gadis itu. Awalnya masih ada perasaan marah yang mendominasi. Namun melihat cara cowok itu mengatakan semuanya. Kenapa rasa marah itu malah pergi?

Sementara itu, di hotel yang kenyamanannya jauh berbeda, Jordy juga masih belum bisa tidur. Ia tersenyum sendirian dibalik selimut. Keputusannya tadi tidak salah ternyata. Meski pada awalnya merasa tidak yakin. Ragu, takut dan malu mengisi seluruh kepalanya.

Kini ia bahagia, karena berhasil mengatakan langsung. Saat makan malam,  harus berusaha menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Takut kalau Mitha menatapnya dengan rasa benci. Tadipun sekilas masih terlihat. Namun saat mereka berpisah, sinar itu memancarkan sesuatu yang berbeda.

Ia tidak akan mengambil kesempatan apapun. Hanya ingin agar gadis itu tahu perasaannya. Jordy memutuskan memulai hidupnya kembali. Agar kelak bisa dikenang dari sisi yang lain. Dan semua akan diawali dari Mitha.

***

Kutatap undangan wisuda Birawa yang baru saja tiba. Apakah aku benar-benar layak untuk hadir? Apakah ini hanya sebagai seorang teman? Kusentuh satu persatu gaun yang ada didalam walk in closet. Mencoba memilih salah satu yang terbaik untuk datang ke acara kelulusan Birawa. Entah kenapa hatiku mengatakan kalau ini akan menjadi spesial. Aku tersenyum, bagaimana besok harus duduk berdampingan dengan Mitha? Apa yang harus kami bicarakan? Aku bukan seseorang yang ahli dalam memulai percakapan.

Aku masih malu padanya. Ada rasa bersalah karena kasus Mas Ody. Apakah ia akan membenciku? Bagamana dengan Karen? Apakah nanti aku juga mendapat tatapan tak suka? Apakah jika aku pacaran dengan Birawa bisa memuluskan hubungan Mas Ody dengan Mitha? Tidak penting dengan perasaanku, mengembalikan semangat kakakku jauh lebih penting daripada semua masalah yang akan menghampiri. 

Beberapa sepupuku pernah bilang, kalau diundang saat ada acara wisuda, apalagi dikampus. Itu artinya kita memiliki hubungan yang spesial. Tapi apa nama hubungan kami? Birawa tidak pernah mengucapkan satu katapun tentang rasa suka atau cinta.

Akhirnya kuputuskan mengenakan sebuah gaun berwarna lime. Modelnya cukup sopan. Kupadukan dengan sepatu flat berwana hitam dan sebuah clutch. Paling tidak aku ingin tampil sempurna di hadapan Birawa. Karena ini juga bertujuan untuk membuat masku bahagia. Agar aku bisa menatapnya lebih lama lagi. Tidak ada salahnya untuk pura-pura mencintai kelak. Kalau ia benar-benar menyukaiku, berarti adalah bonus.

***

Kutatap diri dicermin. Sudah rapi dengan kemeja putih, dasi dan jas. Toga akan kukenakan saat di kampus nanti. Hari yang kutunggu setelah sekian lama, ada gelar baru di belakang namaku. Birawa Ekata Radyatama S.Ars.

Undangan untuk Kaia sudah kukirimkan beberapa hari lalu. Berharap kalau nanti ia hadir. Itu akan menjadi penyemangat tersendiri. Saat keluar kamar, Mitha sudah tampil cantik dengan dress batiknya. Aku mencubit pipinya.

"Kamu cantik banget."

"Iya dong, kan adiknya mas Awa."

Sementara Rendra muncul dengan wajah cemberut.

"Masak gue nggak dapat undangan. Cuma mbak Mitha doang."

"Satu undangan lain untuk seorang yang spesial."

"Pacar, mas?" teriak Rendra.

Aku hanya tersenyum, kami kemudian sarapan bertiga. Lalu berangkat menggunakan mobil yang kali ini dikendarai oleh Rendra. Berharap Kaia sudah di sana.

Aku sengaja tidak mengundang kedua orangtuaku. Mereka bukan dua orang yang bisa bertemu dan duduk berdekatan. Bisa jadi keduanya tidak saling sapa. Lalu Tante Gea yang pencemburu akan marah-marah karena tidak mendapat ijin masuk karena terbatasnya undangan. Aku tidak ingin ada masalah hari ini.

Kami tiba setengah jam sebelum acara dimulai. Tapi mendapat parkir cukup jauh dari balairung. Sebelum masuk kami berfoto bersama dengan aku yang mengenakan toga. Kaia belum muncul. Padahal aku sangat ingin mengambil foto bersamanya.

Saat duduk diantara wisudawan lain. Aku gelisah, dan takut menoleh ke tribun. Khawatir kalau Kaia tidak datang. Akhirnya kuberanikan diri untuk menoleh. Ternyata ia sudah ada di sana, duduk disebelah Mitha. Aku melambaikan tangan, dibalas oleh mereka berdua.

Bahagia? Jelas! Karena hal ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Menunggu giliran, aku berbincang dengan teman yang duduk di sebelah. Kemudian saat giliran tiba, kami berbaris berdiri menuju pentas. Menunggu detik-detik dikukuhkan menjadi sarjana.

Saat turun kembali  kulambaikan tangan pada mereka berdua. Aku bisa tersenyum bangga dan lega. Perjuangan yang cukup panjang  akhirnya usai. Meski sebenarnya sangat sedih, karena kedua orangtuaku tidak menyaksikan langsung. Sementara teman yang lain dengan bangga mempersembahkan hari ini untuk kedua orangtua mereka. Hidupku memang tidak semenyenangkan mereka. 

Selesai acara aku keluar bersama Mitha dan Kaia menemui Rendra. Kegenggam tangan keduanya erat. Kaia memberikan rangkaian bunga yang cukup besar. Kami kembali berfoto bersama. Kali ini aku bisa memiliki foto bersama Kaia. Sambil memeluk bunga pemberiannya, sama seperti teman yang lain. Itu sudah cukup membuatku bahagia.

"Kalian sudah saling kenal?" tanyaku pada Mitha.

"Baru kali ini sih. Tapi kayaknya pernah ikut waktu aku latihan nari ya."

"Iya," jawabku singkat. 

Selesai semua kami pulang, merayakan kelulusanku di sebuah restoran yang sebenarnya cukup mewah untuk ukuran keuangan kami. Kaia ikut meski  menggunakan mobil sendiri. Hal itu memicu pertanyaan kedua adikku.

"Kok nggak ikut sini aja sih?" tanya Mitha saat sudah di mobil.

"Dia tidak boleh menggunakan kendaraan lain." jawabku

"Anak sultan?" tanya Rendra.

Kutarik nafas dalam, kuhembuskan perlahan.

"Adiknya Jordy."

Rendra seketika mengerem mobil mendadak.

"Nggak salah? Sejak kapan?"

Kutolehkan kebelakang, melihat reaksi Mitha. Ia sama terkejutnya dengan Rendra.

"Belum officially sih. Masih pendekatan."

"Lo tahu kan, nggak mungkin kalau sama dia. Terlepas dari kasus Mitha sama Jordy. Jangan nanti malah sakit di elo, mas." Rendra memperingatkanku.

Aku terdiam, mobil kembali melaju.

"Nggak tahu kedepannya gimana. Apakah nanti akan  bahagia atau nggak. Tapi saat ini gue bahagia karena dia. Tolong jangan ingatkan tentang masalah Jordy atau apapun."

Kedua adikku mengangguk. Ada sedikit perubahan pada wajah Mitha. Apa dia tidak suka aku dekat dengan Kaia?

Kaia tiba tak lama kemudian, ia segera duduk disampingku. Suasana terasa santai, sesekali Mitha ikut nimbrung dalam pembicaraan. Meski tetap terlihat ia menjaga jarak. Apalagi Kaia memang pendiam. Hanya matanya yang terlihat berbinar.

Selesai semua, kami pulang, aku langsung menuju kamar, karena harus mempersiapkan keberangkatan ke Papua nanti malam. Kembali kutatap ponselku, ada pesan dari Kaia, menyampaikan kalau ia telah tiba di rumah.

Saat Rendra masuk, aku kembali menasehatinya.

"Gue akan kerja. Mungkin pulangnya agak lama. Lo jangan suka keluyuran. Jangan lupa jemput dan antar Mitha. Uang saku kalian akan gue transfer sesuai harinya. Doain gue sehat ya."

Rendra mengangguk sambil meninju bahuku pelan. kulihat matanya berkaca, kami sama-sama menahan airmata turun. Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan mereka. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain agar Rendra bisa kuliah.

"Jaga diri, jangan ikut teman yang nggak bener. Gue nggak bisa jaga lo sekarang. Rajin belajar supaya bisa masuk negeri." lanjutku

Tak lama Mitha ikut masuk. Belum apa-apa dia sudah menangis dan memelukku.

"Gue akan kangen sama lo, mas."

"Gue juga, lo jaga diri ya. Jangan suka kemana-mana sendirian tunggu dijemput atau diantar Rendra. Gue usahain kerjaan di sana bisa cepet kelar. jangan khawatir, gue bukan pindah ke sana."

 Aku tidak pernah pergi dalam waktu yang lama. Semoga mereka bisa menjaga kepercayaanku. Terutama Rendra yang juga harus menjaga Mitha. Tanggung jawab itu kini ada dipundaknya. "Kita antar ya?" rajuk Mitha.

"Nggak usah, gue naik taksi aja. Kalian istirahat. Nanti sampai di sana gue akan telepon."

Keduanya mengantar keberangkatanku sampai gerbang. Di dalam taksi aku menangis. Untung keadaan gelap jadi tidak perlu malu pada siapapun. Begitu banyak yang sebenarnya kuinginkan. Termasuk nge-band. Merasakan kembali aksi di atas panggung. Kenapa terkadang hidup membawaku ke jalan yang berbeda?

***

Sesampai di bandara aku langsung check in. Ikut menunggu bersama para penumpang lain yang juga melakukan penerbangan malam. Memilih kursi di sudut. Memastikan kembali ponsel dan power bank.

Kutatap beberapa orang yang akan bepergian bersama keluarga mereka. Ada anak-anak juga tengah bermain bersama adik atau kakak mereka. entah kenapa aku sudah merindukan Mitha dan Rendra.

Sadar bahwa ini adalah jalan yang harus kulalui. Menjadi arsitek tidaklah mudah. Aku harus magang untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Arsitek dari Ikatan Arsitek Indonesia paling singkat dua tahun. Ini juga berlaku untuk mendapatkan sertifikat Arsitek internasional. Bila sudah mendapatkan sertifikat tersebut barulah aku sah disebut seorang Arsitek.

Kembali kubuka grup WA kantor. Teman seperjalananku ternyata baru tiba di bandara. Kuhubungi nomor Kaia.

"Malam, Ia. Sudah tidur?"

"Belum kak, sudah di bandara?"

"Sudah, ini lagi nunggu teman. Gue berangkat ya."

"Iya, hati-hati. Sampai sana telepon Ia, ya?"

"Pasti, Jordy di mana?"

"Sudah tidur di kamarnya. Capek mungkin, kemarin hasil labnya nggak bagus."

"Apa dia sering sakit?"

"Nggak juga, cuma kadang kalau dia stress mikirin satu hal. Biasanya kekebalan tubuhnya menurun."

"Ada yang jaga dia?"

"Ada, perawat. Cuma aku harus sering cek juga. Kadang dia merasa putus asa. Apalagi mereka punya komunitas. Terus ada yang meninggal. Dia jadi drop."

Aku menarik nafas dalam.

"Jaga kesehatan ya. Jangan suka terlambat makan."

"Kak Awa juga ya."

"Ia,"

"Hmm."

"Kak Awa sayang sama kamu." Kuputuskan menyampaikan perasaanku. Kalau diterima syukur. Kalau ditolak tidak apa-apa. Sesuatu yang menjadi beban selama ini.

"Ia juga sayang Kak Awa."

Jawaban itu membuatku tersenyum lebar. Aku tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Tapi aku akan berusaha. Bahkan bisa jadi kami akan putus ditengah jalan. Tapi paling tidak aku sudah mencoba.

Aku suka Kaia yang selalu menatapku malu-malu. Tahu bahwa banyak masalah dalam hidupnya. Tanpa banyak berkata, sorot matanya sudah memancarkan itu. Entah kenapa aku ingin  menjadi teman berbagi untuknya. Sama seperti aku, dia memilih untuk memendam semua sendirian. Jalan hidup kami sama-sama tidak mudah.

Entah kenapa, saat bersamanya aku memdobrak tembok yang kubangun sedari dulu. Karena terlalu takut dengan bayangan hubungan masa lalu kedua orangtuaku. Rasa padanya tumbuh tanpa kusadari. Aku tidak ingin kehilangan dia.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

11920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top