14
Hujan turun cukup deras, Jordy merapatkan coat . Semua orang terlihat terburu-buru dibawah payung berwarna hitam. Udara seperti ini kurang baik untuk kesehatannya. Hidungnya mulai terasa tersumbat. Karena itu, langkahnya semakin cepat menuju hotel. Di sana seorang perawat sudah siap dengan air hangat untuk memberinya penguapan.
Seharian tadi ia pergi ke museum, sekadar menghabiskan waktu karena memang sengaja memperpanjang liburan kali ini. Ingin menikmati semua lebih lama. Takut waktunya habis. Menatap lukisan para maestro dengan teliti. Kagum pada kemahiran mereka menorehkan kuas diatas kanvas. Melukis adalah hobby barunya. Sangat menyenangkan ketika banyak warna berpadu menjadi sesuatu yang indah. Butuh ketelitian dan pemikiran cerdas menghasilkan mahakarya seperti lukisan tadi. Jordy semakin merasa kecil.
Selesai menghangatkan tubuh dan saluran pernafasan. Ia menuju ranjang, dan berbaring di sana. Berusaha memejamkan mata yang sebenarnya belum mengantuk. Namun tubuhnya terasa lelah. Itu adalah hal yang melekat dengannya sekarang. Meski sudah berbulan-bulan mengikuti terapi.
Ditatapnya hujan yang turun semakin deras melalui jendela. Sampai kemudian sebuah panggilan mengganggu istirahatnya. Dari Mbak Lulu, asisten pribadi mami.
"Ya mbak?"
"Jadi pulang lusa?"
"Jadi mbak, kenapa?"
"Baru saja pihak kedutaan memberikan undangan makan malam. Semacam pertemuan biasa karena kemarin perusahaan Pak Subiantoro menjadi sponsor di acara kebudayaan. Ibu Thalia berencana mengutus kamu untuk mewakili, karena kebetulan kamu di sana."
"Kapan?"
"Besok, sebelum rombongan kembali ke Indonesia. Bisa?"
"Kirim jadwalnya."
***
Ini adalah kali pertama ia mengikuti acara resmi mewakili kedua orangtuanya. Setelah mendapat sedikit wejangan dari Mbak Lulu mengenai apa yang harus dan tidak boleh lakukan. Akhirnya Jordy duduk satu meja dengan beberapa petinggi negara yang hadir.
Saat memasuki ruangan, ia tahu ada Mitha di ujung sana. Matanya sudah terbiasa menemukan sosok itu dimanapun ia berada. Gadis itu duduk sekelompok dengan teman-temannya. Jordy hanya menyimpan kesedihan dalam hati, saat wajah itu pias ketika menyadari kehadirannya. Mungkin masih takut atau trauma. Berusaha tidak terpengaruh, ia mengikuti seluruh acara yang sebenarnya cuma basa-basi. Namun ada satu kalimat pak Dubes yang menohok.
"Kamu masih muda, perjalananmu masih panjang. Ayolah buat sesuatu untuk Indonesia. Negeri kita itu sangat kaya. Jangan sampai budaya yang indah harus hilang karena tidak ada yang melestarikan. Dan semua anak muda tidak lagi bangga pada akar mereka."
Nasehat yang akan selalu diingat, juga kata lakukan sesuatu terus terngiang dalam benaknya. Apa yang sudah dilakukan sebelumnya? Tidak ada! Apalagi tentang perjalanan panjang. Apakah ia masih memiliki kesempatan?
Berasal dari keluarga yang tidak normal, membuatnya harus bertahan dari tudingan banyak orang di sekitar. Ketika mereka menatap melalui ekor mata . Apa kesalahannya? Saat akhirnya ia menemukan teman yang tidak jauh berbeda latar belakang mereka. Dunianya memang tidak pernah senormal orang kebanyakan.
Kembali ditatapnya panggung kecil di depan sana, melupakan sedikit beban yang ada. Ia tidak berani menoleh ke arah lain. Karena mata Mitha akan selalu menghukumnya. Dan ia tidak sanggup untuk menyaksikannya itu.
Dua jam kemudian jamuan makan selesai. Jordy mengucapkan selamat pada seluruh perserta satu-persatu. Selesai foto bersama, ia menyalami peserta satu persatu. Saat berjabat dengan tangan Mitha yang dingin. Ia menyadari satu hal, bahwa tidak ada harapan untuk memperbaiki kesalahan dimasa lalu. Namun cukup merasa bahagia, ia bisa mencium aroma parfum gadis itu dari dekat.
Sepanjang perjalanan, rekaman kejadian tadi menari dibenaknya. Entah kenapa, rasanya tidak ingin lagi berlama-lama disini. Akhirnya Jordy memutuskan menghubungi Mbak Lulu. Agar mempersiapkan kepulangannya ke Jakarta. Tidak ada gunanya lebih lama lagi di sini. Meski sebelum berangkat ia tetap berharap, agar bisa bertemu Mitha, sekali lagi saja.
***
Mitha menatap nanar pada sosok yang memasuki ruangan. Tidak percaya kalau Jordy Subiantoro berada disini. Seluruh rekan perempuannya berbisik penuh kekaguman. Berharap kalau kehadiran mereka akan dilirik oleh cowok itu. Tubuhnya sendiri berkeringat sepanjang acara berlangsung. Tahu bahwa diakhir acara kelak harus bersalaman. Mitha tidak ingin bersentuhan dengannya lagi. Tapi apa daya? Akhirnya semua yang ditakutkan harus dijalani.
Sesekali ditatapnya tubuh itu dari jauh. Terlihat tegang dan tidak banyak bicara. Hanya mendengar apa yang diucapkan rekan semejanya. Yang memang berusia jauh diatasnya. Beruntung Jordy tidak pernah menoleh lagi ke belakang.
Dari bisik-bisik teman didekatnya, akhirnya Mitha mengetahui bahwa kehadiran cowok itu sebagai perwakilan pihak sponsor utama. Saat acara bersalaman dimulai, rasanya ingin agar tubuhnya menghilang. Sayang ia tidak memiliki mantra untuk melakukan itu.
Dengan langkah enggan Mitha mendekati sosok itu. Mereka adalah rombongan terakhir yang bersalaman. Meski bisa merasakan genggaman sangat erat ditangannya. Jordy hanya menatap sekilas seolah tidak pernah mengenal. Saat photo bersama, cowok itu berada di posisi tengah berdiri di dekat Pak Dubes dan Pak Menteri. Beruntung, sekalipun mata mereka tak lagi bertemu. Buru-buru Mitha meninggalkan ruangan. Lebih baik menunggu di luar saja.
Ia adalah orang pertama yang menaiki bus rombongan, menuju hotel. Duduk bersama temannya Tiwi, yang tak henti-henti menceritakan kekaguman pada sosok Jordy.
"Kayaknya dia sosok yang down to earth banget ya, Mit. Senyumnya juga ramah. Duuh, nggak kebayang kalau suatu saat gue yang ada disampingnya. Gila keluarga Subiantoro yang kayanya kemana-mana."
Mitha hanya tersenyum kecil, enggan memberikan tanggapan. Kalau saja Tiwi tahu siapa Jordy sebenarnya termasuk penyakitnya. Apa dia masih rela untuk bermimpi menjadi pendamping cowok itu?
Sesampai di hotel gadis itu membereskan koper. Di sana sudah ada sedikit oleh-oleh untuk Mas Awa dan Rendra. Ia tidak punya uang banyak membeli hadiah mahal. Beberapa temannya memanfaatkan waktu kemarin dengan berburu diskon barang-barang branded yang tengah sale.
Hanya Mitha yang tidak ikut, karena tahu bahwa keuangan keluarga mereka tengah memburuk. Kasihan pada Birawa yang harus ikut bekerja keras untuk mereka. Ia berencana akan memberi sedikit honornya nanti. Meski begitu Mitha sudah membeli hadiah kelulusan, yakni satu set drawing pen dengan kualitas bagus. Meski cukup mahal, tapi ia bangga membeli dengan uang sendiri. Berharap kelak, Birawa akan mengenang pemberiannya.
***
Jakarta
Seseorang tengah mencuci rambut Thalia Subiantoro di salon pribadinya. Saat Lulu memasuki ruangan tersebut.
"Selamat pagi, Bu. Jordy baru saja selesai menghadiri acara di kedutaan."
Perempuan itu menoleh sedikit.
"Dia sudah bertemu—"
"Namanya Paramitha, nyonya."
"Ah, ya Paramitha."
"Sudah."
"Semoga Jordy bahagia. Terima kasih atas informasi kamu kemarin. Kapan dia pulang?"
"Baru saja dia meminta dijadwalkan untuk besok."
"Urus segala keperluannya. Pastikan dia baik-baik saja."
"Baik, nyonya. Ada yang lain?"
"Dimana suami saya?"
"Sedang sarapan pagi di Apartemen Pakubuwono. Bersama Mr. Harry."
"Kekasih barunya?"
"Sepertinya begitu."
"Kamu boleh pergi." Perintahnya.
Selesai mengucapkan itu, Lulu mundur dari ruang salon yang terdapat disudut apartemen mewah milik sang nyonya. Ia tahu Thalia membutuhkan waktu sendiri setelah ini.
Benar saja, perempuan itu segera mengibaskan tangannya, pertanda agar semua orang diseluruh ruangan itu keluar. Ia hanya ingin berbicara secara pribadi pada suaminya. Supaya jangan terlalu mengumbar hubungan dengan kekasih barunya. Itu bisa menimbulkan citra yang buruk di masyarakat. Meski hampir semua orang dekat mereka tahu siapa Rudi Subiantoro.
***
Mitha tengah menghabiskan malam terakhir di Roma. Kali ini ia sendirian. Duduk di sebuah cafe di seberang hotel. Teman-temannya baru saja kembali dari berbelanja. Ia enggan berada didekat mereka. karena akan banyak yang bertanya, kenapa tidak ikut mengunjungi pertokoan.
Ia tahu, harga barang-barang itu mungkin lebih murah daripada di Jakarta. Tapi sekali lagi ia harus menghemat. Tidak mungkin selalu meminta pada masnya. Tahu bagaimana Birawa harus bekerja keras mencari tambahan.
Menyecap kopi, Mitha tidak berani menatap orang disekitar. Kulitnya terlihat jauh berbeda. Sehingga membuat mata beberapa lelaki menatap tanpa kedip. Asyik melamun karena harus menghabiskan waktu, ia cukup kaget saat seseorang duduk di hadapannya.
Mitha sudah mau beranjak saat tangan itu menahan langkahnya.
"Ini tempat ramai. Gue nggak akan berbuat jahat. Lagi pula ini negara orang, kekuasaan keluarga gue nggak berlaku di sini. Duduk aja, gue cuma mau bicara sebentar."
"Lo mau ngomong apa?" tanya Mitha saat sudah kembali ke posisi semula.
"Lo sehat?"
"Gue nggak ngerti arah pembicaraan lo."
"Lo nggak tertular—"
"Nggak, gue udah cek."
Terlihat Jordy menarik nafas lega.
"Gue khawatir dan takut kalau lo sampai tertular."
Mitha hanya diam dan menatap kearah lain.
"Lo, besok pulang?"
"Lo pasti tahu kapan gue pulang."
"Sama sekali nggak. Tapi jujur gue memang tahu kalau lo di sini."
"Bisa nggak sih menjauh dari gue?"
"Suatu saat kalau lo nggak pernah lihat gue lagi, saat itu artinya gue udah pergi jauh dari lo."
Mitha menatapnya lekat. Jordy mencoba tersenyum.
"Lo tahu penyakit gue kan? Nggak tahu kapan hari terakhir gue. Cuma sebelum hari itu datang. gue mau ngomong sesuatu. Gue sayang sama lo."
Mitha terkejut, rasanya teringat kembali kalimat yang diucapkan saat pintu apartemen akan tertutup.
"Gue nggak minta lo membalas perasaan gue. Cukup lo tahu aja. Dan semoga ini akan menjadi rahasia kita. Gue nggak minta dikasihani. Lo layak dapat yang lebih baik dari gue. Dan semoga suatu saat lo bisa ketemu sama seseorang yang mencintai lo.
Lusa gue akan balik ke Jakarta. Lo juga akan di sana, tapi nggak mungkin bisa ketemu seperti ini. Akan ada keluarga yang selalu disamping lo. Gue juga nggak mau buat masalah lagi."
Mitha tidak menjawab satu katapun.
"Gue pamit, cuaca tambah buruk, lo balik aja ke hotel. Di sini akan dingin sekali. Nanti lo sakit."
"Lo masih sakit, kenapa memaksakan diri ke sini?"
"Karena ingin memanfaatkan waktu yang gue punya. Ada saatnya nanti gue nggak akan bisa kemana-mana. Meski kangen sama lo, gue harus ditempat tidur terus. Makasi, lo udah mau dengerin gue. Kalau butuh sesuatu lo bisa hubungi gue. Gue akan berusaha buat bantu lo. Apapun itu, gue janji kita nggak harus ketemuan.
Gue minta maaf atas hal bodoh yang gue lakukan dulu. Waktu itu gue kira akan mati. Tapi ternyata gue salah. Tuhan masih baik dan kasih gue hidup. Gue ingin berubah menjadi orang yang lebih baik. Doain ya, supaya nanti gue nggak mati sia-sia."
"Lo nggak akan pernah mati dengan sia-sia. Lo punya semua yang diimpikan banyak orang."
Jordy menatap tak percaya saat Mitha berbicara. Dan kini ia kehabisan kata-kata.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
10920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top