13


Jordy duduk di bangku tribun saat pertunjukan berlangsung. Mengenakan stelan jas sebagaimana kebiasaan masyarakat di sana saat menonton pagelaran seni. Matanya menatap panggung yang masih kosong. Sebentar lagi pertunjukan tari akan dimulai.

Ia tidak pernah tertarik pada acara seperti ini sebelumnya. Juga mengabaikan pidato dubes dan seorang menteri. Jordy hanya ingin menatap Mitha. Melihat sendiri bagaimana keadaannya sekarang.

Tak lama saat yang ditunggunya tiba. Lima orang gadis menari dengan iringan gending jawa yang lembut. Langkah mereka terlihat lambat. Namun matanya segera bisa melihat sosok gemulai yang begitu dirindukannya.

Mitha seolah menyatu dengan gerakannya. Seperti biasa kecantikannya begitu memukau. Jordy akhirnya bisa tersenyum lega, saat melihatnya sudah kembali pada kehidupan semula. Ia tahu kalau test gadis itu negatif.

Perlahan pria muda itu mengerjapkan mata. Seandainya waktu bisa diputar, dan mereka bertemu sebelum ia benar-benar putus asa dengan hidupnya. Ia akan dengan bangga mendekati seorang Mitha. Ia akan mampu berhadapan dengan Birawa sebagai laki-laki yang layak. Tapi sekarang menatap dari jauh sudah merupakan kebahagiaan untuknya.

Ketika pertunjukan selesai, ia ikut berdiri memberikan standing applause. Sampai bertemu kembali. Bisiknya dalam hati. Perlahan ia beranjak meninggalkan kursinya. Kembali pada kehidupan sebenarnya. Kali ini tidak berniat mengikuti Mitha dari jauh atau menemuinya. Ia harus bisa menjaga jarak. Takut tidak mampu menahan diri seperti dulu.

Melewati jalanan yang ramai, tertatih ia menatap bangunan tua disepanjang jalan. Terselip rasa iri, bahwa usia bangunan itu akan jauh lebih tua daripada dirinya kelak. Langit Roma terlihat mendung, bergegas ia memasuki sebuah cafe. Memesan kopi favoritnya beserta sebuah roti.

Ia hanya ingin menghabiskan waktu sendiri. Sama seperti adiknya yang juga tengah melakukan hal yang sama. Pertanyaan besarnya kenapa mereka harus jatuh cinta pada orang dengan nama belakang yang sama? Dan akhinya mengalami kegagalan yang sama.

Jordy sudah pasrah pada takdirnya. Tapi bagaimana dengan Kaia? Adiknya berhak bahagia. Kenapa pula pria itu seorang Birawa? Pada akhirnya ia kembali pada kenyataan, bahwa ia juga tidak mampu berpaling dari seorang Paramitha.

Sedang apa Mitha sekarang? Mungkin masih mengganti pakaian dan menghapus make up. Atau mungkin juga sudah berada di sebuah kafe seperti dirinya sekarang. Bedanya pasti gadis itu pergi beramai-ramai dengan teman-temannya sementara ia harus sendirian.

***

Malam ini bukan hal yang membahagiakan bagiku. Apa yang kuinginkan tidak pernah terjadi. Sebelumnya aku berharap, bahwa akan ada ucapan selamat ulang tahun dari Birawa. Aku bahkan sudah menghabiskan setengah hari di kampus. Berdandan cantik dan berdoa agar ia menemuiku.

Setidaknya sekadar mengucapkan selamat dan bertanya tentang donasi itu. Kutatap wajahku dikaca. Betapa menggenaskannya hari ini. Betapa tingginya angan-anganku sejak kemarin. Tapi semua adalah pilihanku. Apakah salah kalau aku berharap ucapan selamat dari seorang Birawa?

Perlahan kulangkahkan kaki ke kamar mandi. Mencoba berendam di sana sambil merenung. Sayang pikiranku malah melayang pada pesta ulang tahun saat masih kanak-kanak dulu. Hanya ada kebahagiaan ketika itu. Kedua orang tuaku akan berkumpul bersama kenalan mereka. Ada banyak teman, makanan dan kado. Tidak pernah merasa aneh saat langkah papi selalu diikuti oleh seorang teman prianya yang sangat tampan. Yang kukira hanya teman atau asisten.

Berawal saat  memasuki remaja. Aku melihat sendiri papi sedang bercumbu dengan salah seorang teman laki-lakinya yang kebetulan adalah ayah dari teman sekelasku. Cukup lama mereka berada di kolam renang, dan seluruh permainan mereka terlihat jelas olehku dari kamar.

Dulu, aku begitu marah saat ada teman yang mengejek mengatakan kalau papiku adalah seorang biseksual. Aku akan membelanya mati-matian. Sampai pada hari itu, aku merasa bahwa semua orang menertawakan kenaifanku. Entah darimana mereka tahu, mungkin dari obrolan orang tua yang tak sengaja didengar.

Di sekolah, aku mulai menjauh dari teman yang gencar menceritakan keburukan papi. Sampai akhirnya aku meminta pindah sekolah. Menarik diri dari seluruh kegiatan siswa dan lingkup pergaulan. Aku tidak berani menatap mereka. Takut kalau seorang dari mereka mengetahui rahasia keluargaku.

Kesepian itu terus kubawa hingga sekarang. Bayangan papi dan teman kencannya membawaku pada sebuah kenyataan. Keluarga kami tidak normal. Mami sendiri tampaknya tidak memedulikan hal tersebut. Baginya sudah cukup kalau  bisa memiliki banyak uang dan kekuasaan.

Bagi mereka, kami adalah topeng untuk menutupi rahasia terburuk rumah tangga. Meski aku yakin kalau orang di sekitar juga tahu siapa mereka sebenarnya. Karena itu aku tidak pernah dekat dengan papi atau mami. Kecewa pada keluargaku sendiri.

Kubuang segala bayangan buruk tentang keluargaku. Bagaimana aku harus menghadapi masa depan? Rasanya benar-benar lelah. Kupejamkan mata perlahan. Sampai kemudian ponselku berbunyi. Tanpa melihat lagi, segera kuangkat. Pasti  Mas Ody.

"Hai, selamat ulang tahun."

Aku terkejut, ada suara ramah Birawa diujung sana. Segera aku bangkit.

"Terima kasih, kenapa nelfonnya udah malam?" pertanyaanku lebih terdengar sebagai protes. Sadar suaraku juga ketus.

Ia tertawa diujung sana.

"Tadinya mau ucapin di kampus. Tapi gue harus buru-buru ke biro. Ada sedikit meeting untuk proyek berikutnya. Dan nama gue ada dalam daftar tim. Sebagai anak buah harus ikut aturan. Gue kira cuma sampai sore, ternyata sampai malam."

"Sorry." Hanya kata itu yang akhirnya bisa kuucapkan. Menyesal karena seakan sudah menuduhnya.

"Lo kira gue lupa? Lo salah kalau begitu. Mana foto-foto ulang tahunnya?"

Aku mengerenyit.

"Lo kan nggak bilang kalau gue harus di sana dan kirim foto."

"Gue nggak perlu mengatakan sesuatu secara detail, kan? Gue tadinya berharap lo bakal bahagia berada ditengah orang yang hidupnya nggak seberuntung lo."

"Maksud lo?"

"Gue pengen lo belajar membuka diri. Hidup menyendiri itu nggak enak. Banyak karakter orang diluar sana yang bisa membuat mata lo terbuka. Bahwa apa yang lo punya sekarang adalah anugerah. Kalau lo cuma menyerahkan ke orang lain, dimana letak excited-nya?"

"Sorry, gue udah menyerahkan pada EO."

"Itu bedanya, Ia. Kalau tadinya lo urus sendiri. Lo akan lihat banyak wajah bahagia karena kehadiran lo."

"Sorry, sekali lagi"

"Keluarlah dari diri lo yang sekarang, Ia."

"Udah, tadi gue makan di pinggir jalan bareng supir sama bodyguard gue." Protesku.

Birawa kembali tertawa, membuatku bertambah jengkel.

"Itu sudah menjadi perubahan besar buat lo. Selamat kalau begitu."

"Jangan ketawa, gue tahu itu nggak ada artinya buat lo."

"Justru lo udah memulai dengan langkah besar. Enak nggak makanannya?"

"Enak juga, pantes banyak yang beli."

"Dan penjualnya pasti senang, karena hari ini pembelinya bertambah beberapa orang."

Akhirnya aku yang tertawa. Tadinya kukira ia akan mengkritikku habis-habisan. Ternyata malah sebaliknya. Ia mendukung apa yang kulakukan.

"Lo rayain sama siapa tadi?"

"Sendiri, kenapa?"

"Jordy?"

Tiba-tiba aku teringat akan hubungan buruk mereka.

"Lagi ke luar."

"Nggak makan malam sama siapa gitu? Sambil tiup lilin?"

"Nggak." jawabku pelan.

Rasanya ingin menangis, karena hari ini berlalu begitu saja.

"Lo di mana?"

"Di rumah gue, Simprug."

"Bisa tunggu gue sebentar?"

"Ngapain?"

"Rasanya belum terlambat buat meniup lilin."

Belum sempat menjawab, pembicaraan kami sudah terputus. Entah kenapa rasanya aku seperti melayang di udara.

***

Bergegas aku menuju kediaman Kaia yang memang tak jauh dari kantor. Kemudian mampir ke sebuah toko roti. Membeli kue yang paling kecil. Baru kusadari, aku tidak tahu berapa usia dan apa kue kesukaannya. Akhirnya kuputuskan membeli sebuah tiramisu cake dan lilin bertuliskan happy birthday sebagai simbol.

Sedikit takut sebenarnya melewati jalanan menuju rumahnya yang sepi. Tapi aku sudah bertekad membuatnya tersenyum hari ini. Saat tiba di depan gerbang, pintu tiba-tiba terbuka. Seseorang mempersilahkan aku untuk masuk. Setelah sebelumnya menitipkan tanda pengenal. Aku harus meninggalkan motorku dan masuk dengan menggunakan golfcar.

Di halaman belakang Kaia sudah menunggu. Dengan stelan batik berwana pink. Kami kemudian duduk berhadapan berbataskan sebuah meja. Kubuka kue dan memasang lilin. Kunyanyikan lagu happy birthday secara lambat. Matanya berkaca namun bibirnya tersenyum.

Kemudian ia meniup lilin setelah mengucapkan sebait doa. Kulihat wajah cantiknya. Menyimpan dengan baik dalam ingatanku.

"Thank you, Kak Awa."

"Sama-sama. Sukses dan bahagia selalu ya. Lagi diet?"

Ia menggeleng, kemudian memotong kue didepannya.

"Gue suka banget tiramisu."

"Berarti nggak sia-sia gue nebak di toko kue tadi. Sorry ulang tahun keberapa hari ini?"

"Dua puluh. Terima kasih kuenya."

"Udah, nggak usah ngucapin itu terus. Minggu depan gue wisuda." Ucapku sebagai pemberitahuan.

"Selamat kalau begitu. Bareng Mbak Karen?"

"Iya sih, tapi beda fakultas, kan. Habis itu gue bakal ditugasin ke luar kota."

"Ke mana?"

"Papua, ada beberapa proyek di sana yang pakai jasa biro tempat gue magang."

Ia menatapku tak berkedip, kubalas tatapannya.

"Hati-hati kalau di sana."

"Lo nggak mau datang waktu wisuda gue?"

"Nanti ada yang marah."

"Kalau satu undangan gue kasih ke elo, gimana?"

"Satunya lagi?"

"Buat Mitha."

"Ortu lo?"

Gue menggeleng, karena memang tidak berencana untuk mengundang mereka.

"Kenapa harus kerja sejauh itu?"

"Gue masih anak magang, belum arsitek beneran. Harus benar-benar cari ilmu yang nggak gue dapat di kampus. Ke mana ditugaskan gue harus nurut. Lagian gue kerja buat bantu adek-adek gue, gaji di biro lumayan gede apalagi proyeknya lancar begini. Orangtua gue nggak support penuh keuangan kami." ucapku jujur.

"Gue boleh nanya? Kenapa malam ini lo datang?"

"Karena gue denger suara lo tadi sedih dan putus asa banget. Kenapa?"

"Gue takut berharap."

Aku cuma bisa diam mendengar kalimatnya. Kutatap sekeliling kami. Jelas ia tidak sepadan denganku.

"Gue sayang sama lo. Tapi yakin kalau kita nggak akan bisa bareng-bareng. Kita beda banget, Ia."

Kaia menangis di depanku. Cukup lama, sampai kemudian gue sentuh tangannya.

"Gue mau lo tersenyum hari ini. Oh ya udah malam, gue harus pulang."

Kaia mengangguk. Dia mengantar sampai ke depan. Aku kembali menaiki motor dan memakai jaket.

"Telepon gue kalau sudah sampai."

Kalimat itu seolah menyadarkan aku, kalau semenjak malam ini hubungan kami takkan pernah sama lagi. Aku mengacak rambutnya sebagai ucapan pamitku.

Keluar dari rumah besar itu separuh hatiku lega. Namun sebagian lagi terluka. Karena jalan didepan kami akan sangat terjal. Kulalui jalanan Jakarta yang tidak sepadat siang hari. Kembali ke rumah. Di sana Rendra sudah menungguku.

***

080920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top