12
Kami membisu setelah aku mengatakan bahwa tidak ingin punya pasangan. Ada kekecewaan besar dimata Kaia. Sebenarnya aku tidak tega, mengingat sedikit perasaanku selama ini padanya. Tapi juga tidak ingin melihat harapan dimata indahnya.
"Lo nggak tanya kenapa?" tanyaku akhirnya memecah kebisuan kami.
"Itu privasi, lo."
"Gue cuma nggak mau menyakiti dan disakiti saat nanti hubungan gue hancur. Kasihan anak orang kalau harus menangis karena gue. Lagian gue masih harus menjaga Mitha dan Rendra. Pasangan gue akan sedih kalau perhatian buat dia terbelah."
Dia menunduk, aku tahu sudah menyakitinya. Sampai kemudian ia kembali menatapku.
"Karen?"
"Dia sahabat terbaik gue, nggak lebih. Gue sudah bilang tadi, kan?"
Entah kenapa aku ingin menjelaskan sesuatu yang sebenarnya mungkin tidak penting untuk didengar. Aku masih menatapnya lekat. Ia kemudian menghindari tatapanku dengan membuang muka.
"Oh ya sebentar lagi bulan maret. Lo punya utang kan sama gue?" aku berusaha mencairkan suasana.
"Iya, utang kasih donasi."
"Sudah ketemu yayasannya?"
"Sudah, untuk anak-anak penderita HIV di dan yayasan kanker anak."
"Lo, mau gue temenin?"
"Gue akan sama Mas Jordy. Lo boleh nemenin kalau bawa Mitha." jawabnya sambil mencoba tersenyum. Sayang ia gagal.
"Hitung-hitungan lo lumayan, ya."
"Bukan lumayan, paling nggak gue bisa melihat mas gue bahagia disaat itu."
"Sayang gue nggak akan bawa adik gue. Pertama karena memang itu nggak baik buat dia. Kedua karena tanggal 22 dia nggak ada di Jakarta. Ada pameran kebudayaan Indonesia di Roma. Dan dia menari di sana."
"Gue tahu lo bakal nolak."
"Nggak akan, kalau cuma gue yang nemenin elo."
"Jangan kasih gue harapan, kalau lo nggak mau memulai sebuah hubungan. Gue akan jadi seseorang yang disakiti." Ucapnya pelan namun penuh ketegasan.
"Sorry kalau gue menyakiti lo. Masih ada kuliah?"
"Nggak, tadi udah mau pulang, tapi sadar bakal kesepian kalau di rumah. Cuma ada gue dan Mas Ody. Oh ya selamat ya, lagu ciptaan lo sekarang lagi tenar-tenarnya."
"Kok tahu?"
"Kan kemarin lo wawancara diradio."
"Lo, fans gue?"
Dia mengangguk. Kembali kutatap matanya. Kami sudah cukup lama bicara di sini namun ia tidak juga beranjak. Kedua bodyguard-nya masih berdiri tak jauh dari kami.
"Suatu hari nanti gue akan buat lagu tentang lo."
Dia kembali tersenyum.
"Dan gue akan menangis kalau mendengar itu."
"Kenapa?"
"Karena lo udah mengingatkan gue tentang hidup yang sepi." Kali ini matanya berkaca-kaca.
Aku merasa bersalah sudah menyakiti hati lembutnya.
"Lo bisa jadi adik gue. Hubungan kakak dan adik akan abadi."
Ia mengangguk, namun mata indah itu terlihat berkaca.
"Sorry gue nyakitin lo." Aku mencoba meminta maaf.
"Nggak kok, terima kasih sudah menemani sore ini. Gue tunggu lagunya. Gue pamit."
Kaia pergi setelah menghapus airmatanya. Rasa bersalah itu tiba-tiba menggunung. Apa yang sudah kulakukan? Aku hanya ingin jujur meski itu juga menyakitkanku.
***
Sepanjang perjalanan pulang aku cuma bisa menangis. Mas Ody benar, cinta itu akhirnya menyakitiku. Saat awal ia mendekat, rasanya hatiku penuh dengan bunga. Tapi sekarang, hancur!
Baru kali ini aku benar-benar mencintai dan mengagumi seseorang sekaligus. Bukan karena ia terlalu tampan, tapi karena ia memang orang yang baik. Meski kadang kata-katanya terlalu tajam untuk ukuran seorang laki-laki.
Sesampai di rumah kulihat Mas Ody masih melukis. Lukisan Mitha tengah menari.
"Lagi kangen?" tanyaku.
Ia menoleh dan mengangguk.
"Tanggal 22 dia akan menari di Roma. Nggak mau ke sana?"
"Tahu dari mana?"
"Birawa."
"Tadi kalian ketemu?"
"Ya, waktu pulang ke rumah."
"Tapi kenapa kamu kayak orang patah hati?"
Aku duduk disampingnya, kemudian ikut menatap gambar itu.
"Mitha cantik." bisikku.
"Nggak perlu bilang adiknya cantik, kalau kamu sebenarnya mau ngomong Birawa ganteng."
"Apaan sih." Elakku.
"Dia sudah punya pacar?"
Aku menggeleng. "Dia nggak mau terikat pada suatu hubungan."
"Orang tuanya bercerai. Papinya punya selingkuhan dan udah punya anak sejak lama. Maminya penyuka berondong. Mungkin itu yang buat dia malas. Dia cuma tinggal sama adik-adiknya. Sekalian bantu cari uang, karena mungkin pemberian orangtuanya nggak cukup."
Aku terpaku mendengar penjelasan Mas Ody.
"Karena itu dulu dia suka nge-band. Mungkin karena keuangannya juga nggak bagus banget."
"Tapi sekarang malah nggak lagi." Balasku.
"Oh ya? Jadi dia ngapain?"
"Kerja di biro arsitek gitu. Magang kayaknya. Tapi masih nulis lagu sih. Itu yang dinyanyiin sama Jingga lagunya dia."
"Dia tipe pekerja keras. Aku sebenarnya kagum sama dia. Anaknya nggak macem-macem. Kalau kamu sih cocok sama dia. Tapi jelas nggak akan dikasih sama mami."
"Dengan alasan nggak selevel?"
"Tuh kamy tahu, makanya cari cowok yang dilingkungan kita aja. Lebih jelas."
"Nah mas, kenapa masih suka sama Mitha?"
Lama Mas Ody menatap lukisan didepannya.
"Cinta itu nggak mudah berpaling, Ia."
"Dan kenapa kita harus selalu menyetujui apapun kalimat yang dia ucapkan?" tanyaku pelan.
"Mungkin karena sebagian hati kita adalah miliknya."
"Lo jadi sok puitis mas."
"Lo yang mulai."
Akhirnya kami tersenyum, meski dalam kepedihan.
***
Ini tentang kita
Sebuah masa saat cinta menyapa
Ini tentang kita
Sebuah kisah yang tak tahu ujungnya
Harummu selalu menyertai langkahku
Nadamu lebih indah dari dawaiku
Senyummu bagai mentari menyapa pagi
Ingin kupeluk saat kabut masih memutih
Tahukah engkau sang pemilik jiwaku
Namamu tertancap kuat dalam nafasku
Mengikat erat nadiku.
Engkau selalu ada, namun tak pernah ada.
Kutatap rangkaian kata yang tengah kutulis. Semua tentang Kaia. Aku menyukainya, tapi tidak yakin kalau kami bisa bersama. Ada jurang terlalu dalam yang tidak bisa dilewati. Aku harus membunuh rasa yang mulai berkembang. Meski kadang dia hadir dalam mimpiku. Sudahlah, siapa aku? Konsentrasiku terpecah saat Mitha menepuk punggungku.
"Lagi buat apa?"
"Lagu, tapi belum kelar."
"Kok kayak yang sedih gitu? Buat seseorang?"
"Iya."
"Patah hati, Mas?"
Aku menggeleng.
"Atau jatuh cinta terus nggak kesampaian?"
"Nggak, mas cuma lagi cari uang. Buat bantu sekolah Rendra. Papi mengurangi jatah kita. katanya akan ditambah saat pembagian bonus nanti. Jadi lagu ini harus cepat selesai karena sudah ada yang minta." Apapun yang terjadi, hanya aku yang boleh tahu.
"Papi baru beli rumah, kan?"
"Tahu darimana?"
"Kemarin iseng buka akun Tante Gea. Lagi mamerin koleksi anggreknya."
Kupeluk ia dan kuletakkan wajahku dibahunya. Aku lelah, sangat lelah.
"Mas Awa kenapa?"
"Capek aja kerjaan nggak ada habisnya di biro."
"Kan uangnya lumayan. Royalty lagu juga besar kan?"
Bukan itu Mit. aku sedang memikirkan yang lain.]
"Iya sih, kerjaanku dibayar sepadan."
"Ya udah, mas mikirin apa lagi?"
"Nggak ada."
"Mau aku pijat?"
"Boleh."
Akhirnya aku berbaring di sofa membiarkan Mitha memijat bahuku.
"Aku kepingin cepat lulus kuliah dan kerja. Supaya bisa bantu Mas Awa."
"Gimana mau cepat kalau nari melulu."
"Tapi kan nari juga bisa dapat uang, mas."
"Iya sih, nggak kerasa Rendra tahun ini kuliah ya."
"Iya, katanya mau ambil teknik juga kayak Mas Awa."
"Semoga dia lulus."
"Mas, gimana kabar Mbak Karen?"
"Baik, lagi nyusun skripsi. Kenapa? Tumben nanya."
"Udah lama dia nggak ke sini."
"Iya sih, dia sibuk banget. Ada banyak event juga."
"Atau karena mas nggak pernah terima cinta dia?"
Aku berbalik dan menatap Mitha.
"Tahu darimana?"
"Mbak Karen sendiri yang cerita. Katanya mas nolak."
"Mas lagi nggak mau berhubungan dengan siapapun." jawabku akhirnya.
"Bukan karena latar belakang kita kan?" tanyanya.
Aku menggeleng.
***
Jordy memasuki area bandara, sudah cukup lama ia tidak kemari. Mengenakan kemeja lengan panjang berbahan jeans yang terlihat masih kebesaran. Langkahnya juga masih pelan. Namun merasa sudah jauh lebih baik. Semua demi melihat pertunjukan Mitha di sebuah gedung kesenian.
Disana ia tak akan bisa dikenali. Tempat itu terlalu luas untuk bisa menatap sosoknya. Ia akan dengan mudah melihat Mitha dari jauh. Kali ini Kaia tidak ikut, ia berangkat bersama seorang perawat. Menggunakan pesawat pribadi keluarga.
Duduk di ruang tunggu nan luas, ia menatap sekeliling. Rasanya tempat ini sudah terlalu lama tidak didatangi. Dulu dalam sebulan, bisa dipastikan minimal dua kali ia kemari. Meski kadang tujuannya cuma untuk menghadiri sebuah pesta di pulau lain.
Kini hingar bingar itu sudah menjauh. Ia kehilangan banyak teman tertawa. Mereka takut padanya, apalagi ada dua temannya yang ternyata memiliki penyakit sama. Entah siapa menulari siapa. Ini pelajaran termahal bagi Jordy. Bahwa teman baik, tidak selamanya akan baik.
***
Aku membenahi letak blouseku. Hari ini tepat tanggal 22 Maret. Hari ulang tahunku ke duapuluh. Orangtuaku sudah menawarkan pesta besar. Namun kutolak, karena ingin merayakan sendiri dengan cara berbeda.
Mas Ody meminta untuk menyusul saja. Tapi kutolak mentah-mentah. Karena menghabiskan hari bersamanya bukanlah tujuanku. Aku sudah menyerahkan pelaksanaan acara donasi pada sebuah EO. Aku sendiri tidak datang. Doa mereka di sana sudah cukup untukku.
Setelah berpakaian rapi aku berangkat ke kampus. Pertama-tama kuminta Pak Rudi berhenti di sebuah pertigaan jalan. Ada sebuah gerobak yang selalu penuh dengan pembeli. Tulisannya cendol. Kami menyantap minuman itu di sana. Rasanya manis dan kenyal, lumayanlah.
Pak Rudi sampai menatap tak percaya saat ia kuminta ia untuk ikut minum. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke kampus. Di tepi danau, aku kembali memintanya berhenti. Ingin menikmati makan siomay dengan pemandangan orang-orang melepas lelah.
Rasanya juga lumayan enak. Aku menghabiskan makanan dengan santai. Saat salah seorang bodyguard mengingatkan untuk menghentikan kegilaanku karena bisa sakit perut. Aku hanya tersenyum, bagiku ini adalah sebuah titik awal dalam hidup. Aku tidak ingin lagi menjadi Kaia yang sama.
Entahlah aku ingin sesuatu yang baru. Selama ini hidupku sangat monoton. Sadar, bahwa sebenarnya aku yang membuat hidupku seperti itu. Sedikit terinspirasi pada Mitha yang bisa ke luar negeri karena hobby menarinya. Ia punya tujuan untuk menghabiskan hari.
Lalu hobbyku apa? Tak punya! Kalau ingin sesuatu tinggal bilang. Kalau ingin pergi ke suatu tempat yang jauh, cukup hubungi Mbak Lulu. Lalu semua akan terjadwal untukku. Aku tidak butuh siapapun dan apapun untuk mencapai keinginanku.
***
060920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top