11

Kumasuki kamar Mas Ody dengan langkah ringan. Ia masih tidur nyenyak. Entah karena pengaruh obat atau memang kondisinya yang belum stabil, namun tubuhnya sedikit lebih berisi sekarang. Menyadari kehadiranku, akhirnya mata itu terbuka.

"Dari mana, kamu?"

"Jalan aja sebentar. Gimana kabar siang tadi?"

"Baik, habis minum obat aku tidur, ini baru bangun?"

"Aku  punya oleh-oleh buat Mas Ody."

Kuraih kabel USB, dan segera menyambungkan dengan ponselku. Tak lama di televisi layar datar terlihat Mitha tengah menari dengan gemulai. Mas Ody terkejut,

"Dapat darimana?" tanyanya lirih.

"Aku nonton langsung di sanggarnya."

Ia menatapku tak percaya.

"Bagai mana caranya?"

Akhirnya aku menceritakan perjuanganku beberapa hari terakhir.

"Apa kata Birawa?" tanyanya pelan.

"Awalnya dia nggak kasih ijin. Tapi tadi tiba-tiba malah nawarin."

Kemudian kami sama-sama duduk diranjang dan menatap layar televisi.  Kutatap mata masku yang hampir tak berkedip. Senang melihat ia ikut bahagia.

"Dia kurusan, tapi tambah putih." ucapnya lirih.

"Mas senang lihat dia?"

"Banget, pengen lihat dari dekat."

Kami sama-sama membisu, karena tahu kemungkinan  untuk itu  semakin jauh. Birawa tidak akan mengijinkan.  Ia menoleh padaku.

"Kamu kelihatan bahagia."

"Karena mas juga bahagia." jawabku.

"Kamu bohong, lagi jatuh cinta, hmm?"

"Nggak."

"Mata kamu nggak pernah seperti ini. Siapa dia?"

"Nggak ada." aku mencoba bertahan. Tidak mungkin menyebut nama laki-laki itu di depan Mas Ody.

"Ayo ngaku, kamu udah lama jadi adikku."

Kutatap wajahnya dari samping, matanya masih fokus pada layar televisi. Tapi aku tahu pikirannya terbelah.

"Mas pasti nggak suka sama dia."

"Ya, siapa dulu?"

"Birawa." ucapku ragu.

Ia segera memalingkan wajah, menatap tak percaya.

"Dia sudah punya Karen. Kamu nggak akan bisa dapetin dia." Balasnya lemah.

"Aku tahu, tapi kenapa ya senang bisa lihat dia dari dekat."

"Dia layak dicintai banyak perempuan. Tapi yang aku tahu kamu bakalan patah hati."

"Aku nggak akan patah hati, kan belum jadian, cuma kagum saja."

Mas Ody memeluk bahuku.

"Jatuh cinta itu indah, Ia. Kita seperti  orang yang selalu bahagia. Tidak peduli bahwa sebenarnya hidup kita sangat menyedihkan."

Aku mengangguk, menyetujui kata-katanya. Karena itu yang kurasakan saat dekat dengan Birawa.

"Birawa salah satu cowok baik yang kukenal, wajar kalau kamu suka sama dia."

"Mitha cantik ya mas, kulitnya bagus." Potongku karena tidak ingin ia membicarakan cowok itu terus menerus.

"Kamu juga cantik, makasih ya atas videonya, aku jadi tahu keadaannya. Kamu pasti harus kerja keras untuk mendapatkan ini."

"Sama-sama, mas nggak mau jalan-jalan? Aku temenin yuk."

"Kepalaku masih suka pusing, nanti saja." jawab Mas Ody sambil mentransfer video terbaru Mitha ke ponselnya. Malam itu kami menghabiskan waktu dengan mengulang video penampilan Mitha.

***

Kondisi Mas Ody sedikit lebih stabil sekarang. Dia sudah mau duduk di teras apartemen di pagi hari. Menurut dokter itu bagus untuk kesehatannya. Meski masih belum mampu berjalan jauh. Bahkan lebih sering menggunakan kursi roda karena  pusing kalau berdiri.

Orangtuaku sesekali datang berkunjung, meski tidak pernah lama. Mereka menyesalkan keputusan Mas Ody yang tidak cepat memberitahu. Seharusnya bisa dirawat lebih awal. Kunjungan mereka tidak pernah lebih dari lima belas menit. Namun itu adalah rekor baru dalam pertemuan kami. Karena sebelumnya harus menunggu dalam hitungan bulan agar bisa bertemu.

Tentang Birawa, kini kami jarang bertemu. Aku juga tidak ingin mengganggunya lagi. Kesediaannya mengabulkan keinginanku sudah lebih dari cukup, tidak mungkin terus menerus mengganggu. Meski jujur aku ingin selalu melihatnya.

Rasanya ada yang hilang saat kami jarang bertemu. Aku juga sudah hampir tidak pernah keluar. Karena memang tidak tahu mau kemana. Hari-hariku dihabiskan di apartemen Mas Ody. Atau kadang di rumah sakit bila ia membutuhkan perawatan lebih intensif.

Hidup sebagai penderita ODHA jelas tidak nyaman. Banyak sekali yang harus kami jaga. Akhirnya berita tentang sakitnya diketahui oleh teman-teman dekatnya. Tidak ada satupun yang datang, bahkan semua terkesan menjauh. Mungkin mereka takut, atau malah sedang memeriksakan diri ke dokter.

Ini yang membuat kondisi kakakku kadang drop. Ia tidak siap kehilangan teman-teman dilingkungannya. Aku sendiri menyikapi dengan sedikit bersyukur. Minimal ia tidak lagi bergaul dengan orang yang hanya mencari keuntungan darinya.

Kini hari-hari kami hanya diisi dengan menonton, makan bersama, dan mengobrol. Aku sendiri tengah asyik dengan hobby baruku, yakni membuat hiasan rambut dari pita-pita cantik. Ada rasa puas saat melihat hasil karyaku.

"Jangan-jangan kamu sebenarnya berbakat dari desainer asesoris." ucap Mas Ody yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku.

"Nggak sih, senang aja lihat hasilnya. Lagian nggak tahu mau dikemanain."

"Kuliah lagi aja semester ini."

"Nanti mas nggak ada yang jaga."

"Ada banyak perawat, lagian lo kamu kan nggak bakal lama. Jangan di rumah terus, selesaikan kuliah kamu. Siapa tahu nanti bisa wisuda bareng Awa."

Aku cemberut mendengarnya. Nama Awa sangat sensitif ditelingaku akhir-akhir ini.

"Kalaupun bareng, duduknya jauhan kok, kan beda fakultas." Bantahku.

"Siapa tahu ketemu." Godanya.

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.

"Dia pasti udah bahagia dengan Karen. Aku nggak boleh ganggu."

"Kamu  menyerah?"

Kutatap masku dengan sedih,

"Cowok kayak dia nggak bakal ngelirik perempuan kayak aku."

Mas Ody tidak mengatakan apapun lagi. Itu memang kebenaran yang tidak bisa kami pungkiri.

***

Tak terasa sudah masuk semester baru. Dan aku memutuskan kembali kuliah. Kampus masih sama dengan dulu, tapi sudah ditambah dengan anak baru. Sepertinya Gengnya Karen juga sudah sibuk dengan skripsi mereka. Hingga tak lagi terlalu memperhatikanku.

Hanya beberapa adik tingkatku yang kini sering menatap dengan iri. Entah karena selalu ada bodyguard yang tak jauh dariku atau pada mobil yang kugunakan. Semua semakin membuat aku tidak punya teman. Apalagi kabar tentang kembalinya aku ke kampus cukup menjadi berita yang menarik perhatian banyak pihak.

Kondisi Mas Ody akhirnya mengalami kemajuan. Itu juga yang menjadi salah satu alasanku. Rasanya bosan juga kalau menemaninya terus. Beberapa hari lalu kami sudah pindah ke rumah. Ia minta dibelikan peralatan melukis. Katanya ingin mencoba hal yang sering dilakukannya saat masih kecil dulu. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jan bersama kanvasnya.

Masku juga suka jalan-jalan ke sekitar taman. Kadang aku yang menemani saat pagi. Lalu kami sarapan bersama, menunggu jadwal kuliahku. Saat meninggalkanya, kupastikan ia sudah meminum obat harian.

Ia menjalani standard antiretroviral therapy yakni serangkaian terapi yang terdiri dari obat ARV untuk membantu menjaga daya tahan tubuh melawan infeksi, serta menyetop perkembangan virus HIV juga mencegahnya menjadi AIDS.

Mas Ody juga harus makan, makanan bergizi seperti buah, susu, telur dan sayuran. Menghindari garam, gula dan lemak yang berlebih. Karena tubuhnya rentan terhadap infeksi, kami hanya memakan makanan matang yang berasal dari dapur sendiri sekarang. Aku harus memastikan, kalau ia menghabiskan makanannya. Karena kadang ia merasa bosan.

Kami masih harus menghindari keramaian karena tubuh Mas Ody sangat  rentan. Virus flu yang bagi  orang lain adalah biasa, namun bisa membuatnya sakit parah. Sekarang ia juga suka memasak. Aku men-support seluruh kegiatan barunya di rumah secara positif. Agar tidak stress, lalu  bisa menyebabkan imunnya menurun.

Aku juga baru tahu bahwa ODHA harus melakukan imunisasi. Untuk mengurangi resiko terinveksi virus yang bisa menyebabkan penyakit serius seperti Pneumonia, meningitis dan hepatitis B. Dengan penjelasan detail dari para dokter akhirnya  aku bisa merasa nyaman hidup berdampingan dengan Mas Ody tanpa rasa khawatir.

Kini aku  meninggalkannya di rumah tanpa rasa khawatir. Meski hanya untuk beberapa jam. Sisanya, aku belum melakukan kegiatan apapun. Masih ada rasa khawatir yang terselip saat kami berjauhan.

Setiap kali memasuki area kampus, aku berharap akan bertemu sosok Awa. Sayang rasanya semakin mustahil, karena kampus kami sangat luas. Lagi pula ngapain anak teknik ke ekonomi kalau bukan nyari gebetan? Apalagi Karen sudah jarang ke kampus. Artinya tidak ada alasan bagi Awa untuk mengunjungi kantin kami.

Seperti siang ini, saat baru selesai kuliah, aku kembali melangkah melewati kantin. Sudah sangat lama aku tidak kemari. Entah kenapa, kali ini rasanya ingin duduk sebentar di sana. Setelah memberi kode pada bodyguard-ku agar menjauh. Kuraih sebuah kursi lalu memesan minuman ringan.

Mencoba menggali kembali kenangan tentang Birawa. Kenapa aku masih merindukannya? Aku bukan orang yang mudah untuk jatuh cinta. Tapi melihat caranya melindungi Mitha, rasanya ada nilai lebih dalam dirinya. Belum lagi kalau melihat ia naik motor dengan jaket baseball kesayangannya.

Apakah kelak kisahku akan berakhir seperti Mas Ody? Yang hanya bisa mencintai Mitha dari jauh? Berbicara tentang adik cowok itu, ia sudah kembali manggung. Aku melihat beberapa kali ia tampil diacara kesenian. Tetap cantik seperti biasa, wajar jika ia  menjadi gadis pujaan masku.

Kutatap daun yang rimbun di kejauhan. Entah kenapa aku merasa kesepian. Rasanya butuh teman bicara.  Ke mana aku harus mencari teman? Sibuk dengan lamunanku, sampai tak menyadari kalau seseorang sudah duduk dihadapanku. Seketika aku bingung harus bersikap bagaimana.

"Kak Birawa?"

"Lo, udah mulai kuliah, lagi?"

"Sudah hampir dua bulan ini."

"Tapi kita jarang ketemu ya."

"Mungkin beda jam. Tumben ketemu."

"Tadi gue lewat, lihat lo duduk sendirian."

"Bukannya nyari mbak Karen?"

Ia menatapku sambil tersenyum.

"Nggaklah, cuma karena sudah lama nggak lihat lo. Bagaimana kabar Jordy?"

"Sudah lebih baik, perawatan selama enam bulan lebih membuat dia sehat. Terima kasih atas ijin waktu itu, dia senang sekali."

"Syukur deh, dia nggak kuliah lagi?"

"Belum sanggup, ini masih kegiatan di rumah. Kondisinya belum stabil untuk beraktifitas di luar."

"Kok lo bengong tadi?"

"Nggak punya teman disini, dan masih malas pulang. Apa Mbak Karen nggak marah nanti kalau ketahuan Kak Birawa ngobrol sama gue?"

"Dia sahabat terbaik gue, nggak akan marah."

Aku cukup terkejut dengan penjelasannya.

"Bukannya pacar?" tanyaku.

Ia tertawa keras, sampai menarik perhatian banyak orang disekitar kami. Satu yang kusadari, terlihat lebih tampan.

"Gue belum punya, dan mungkin nggak akan punya." jawabnya sambil menatapku lekat.

Jawaban itu membuatku lemas seketika.

***

Sungguh mati aku jadi penasaraaaaannn

Sabar yaaaaa

060920

Happy reading

Maaf untuk typo

5 September 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top