1

Namaku Birawa Ekata. Kalian boleh memanggilku Awa. Anak tertua dari tiga bersaudara. Masih menjadi mahasiswa jurusan arsitektur di sebuah universitas negeri di Jakarta. Ayahku seorang petinggi disalah satu perusahaan terkemuka di Jakarta. Sementara ibuku seorang dosen.

Kalau kalian mengetahui jabatan kedua orangtuaku, mungkin kalian akan membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis dan mapan. Tapi kalian salah, kehidupan keluarga kami berantakan. Dimulai dari papa yang memilih tinggal bersama perempuan lain yang merupakan selingkuhannya. Juga mama yang selalu memiliki pria simpanan yang seusia denganku.

Rumah kami sepi, sangat sepi malah. Di sini tidak pernah ada pertengkaran. Apalagi canda tawa layaknya sebuah keluarga. Entah apa yang membuat kedua orangtuaku tidak bercerai meski tak lagi tinggal bersama.  Kalaupun pulang hanya sebatas memberikan uang saku untuk kami dan gaji untuk para pembantu. Kami jarang bertemu, mungkin mereka juga menganggap bahwa kami tak pernah ada.

Adik perempuanku bernama Paramitha Citapasada. Sekarang sudah kuliah semester dua. Ia adalah seorang penari tradisional yang sudah sering melanglang buana ke berbagai negara. Untuk mengikuti kompetisi atau sekedar menjadi duta seni Indonesia saat ada pameran di luar negeri. Sejak kecil sudah belajar menari. Aku bangga sekaligus sangat sayang padanya.

Sementara si bungsu Birendra Tribuana. Masih kelas dua SMU. Jago karate sejak masih SD. Bahkan sempat  masuk pelatnas. Sayang cedera membuatnya harus angkat kaki dari sana. Untuk kegiatan di luar sekolah orangtuaku tidak pernah main-main. Bagi mereka anak adalah investasi. Dan juga sebagai atribut penunjang untuk menaikkan status dimata teman-teman mereka.

Sederet piala terpajang di rumah kami. Menunjukkan bahwa kami adalah anak-anak yang berprestasi. Aku sendiri suka bermain musik dan melukis. Juga seorang drummer di sebuah grup band. Belum tenar sih, tapi hampir tiap weekend kami manggung. Hasilnya lumayan, bisa mengantongi sekitar tiga sampai lima ratus ribu setiap kali manggung. Cukuplah untuk tambahan membeli alat tulis anak arsitektur yang harganya menguras kantong.

Keluarga kami akan berkumpul hanya saat hari raya keagamaan atau ulang tahun eyang saja. Selebihnya kami jarang bertemu. Adalah keajaiban kalau menemukan Papa dan Mama di rumah saat sarapan atau makan malam. Aneh? Ya! Karena itu aku tidak punya teman dekat, apalagi sahabat. Pacar adalah hal yang kucoret dari daftar resolusiku setiap awal tahun. Rasanya jengah kalau kelak ditanya-tanya. Bagaimana keadaan keluargaku. Karena memang tak ada yang layak untuk diceritakan.

Orangtuaku beruntung, meski tidak mendidik  secara langsung. Tidak ada dari kami yang bersikap aneh diluar sana. Mungkin karena dulu ada eyang putri yang tinggal bersama kami. Menjaga dan mendidik saat kedua orangtua kami tidak ada di rumah. Tapi sayang, Eyang putri sudah tiada. Namun didikannya tetap terasa sampai sekarang.

Rasa iri melihat kehidupan bahagia orang lain tetap ada, terutama saat manggung di pesta ulang tahun, misal. Menatap kebahagiaan sebuah keluarga dari jauh. Aku tetap berusaha untuk bersikap professional. Meski kadang  hati teriris.

Akhirnya aku menyadari kalau hidup tak selalu seperti harapanku. Banyak anak-anak lain yang mengalami nasib yang sama. Berasal dari keluarga broken home, yang akhirnya memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Entah itu positif atau malah negatif.

***

Pagi ini sebenarnya aku malas bangun. Grupku manggung gila-gilaan beberapa minggu terakhir. Awalnya kami ingin menghabiskan waktu libur kuliah dengan mencari uang tambahan. Namun akhirnya keterusan, karena hasilnya lebih dari lumayan.

Zenno, sang  vokalis berencana untuk merekam lagu  kami. Selama ini grup  banyak menggunakan lagu-lagu ciptaanku. Rekaman berarti  harus membagi waktu antara manggung dan  di studio. Dan kami sudah memiliki base penggemar di youtube. Meski masih terhitung puluhan ribu. Tapi mereka cukup solid dan loyal. Itu bisa menjadi ajang promosi untuk kami. Banyaknya party dan juga event pernikahan atau pertunangan membuat grup kami seolah kekurangan waktu. Sehari bisa manggung dua sampai tiga kali. Benar-benar menguras energi. Namun saat menerima transferan, rasa lelah itu hilang sudah.

Tadi malam aku pulang pukul tiga pagi. Setelah mengisi sebuah acara ulang tahun yang tidak jelas. Kukatakan seperti itu, karena hampir seluruh peserta sudah mabuk parah bahkan sebelum tengah acara. Sayangnya oleh sang empu acara kami dilarang pulang. Beruntung tipnya lebih dari lumayan. Sepertinya mereka adalah anak-anak muda yang memiliki uang tak terbatas. Pemilik pesta adalah  Jordy, teman kampus Mitha yang terkenal anak orang kaya. Bukan sekedar kaya, tapi lebih dari itu.

Masih teringat saat  sebelum mabuk, ia menatapku dengan aneh. Berkali mata kami bertemu. Namun tak ada yang diucapkannya. Teringat sekilas cerita Mitha tentang Jordy yang menyukainya. Aku berdoa dalam hati, semoga tidak. Rasanya adikku akan hancur kalau berpacaran dengan pria seperti Jordy.

***

Akhirnya aku  bangun kesiangan. Sudah hampir jam sebelas. Belum sempat beranjak dari tempat tidur, Mitha sudah masuk ke kamar.

"Ketuk pintu dulu kenapa sih?" teriakku.

"Siapa suruh nggak ngunci pintu." protesnya.

"Ada apa?"

"Mas Awa, punya Ovo?"

"Buat?"

"Aku kepingin pizza." jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Bilang aja minta traktir."

"Ya jelas, kan seminggu ini manggung terus."

Aku hanya tertawa,  Mitha adalah adik perempuanku satu-satunya. Selain cantik, ia juga sangat penurut dan menyayangiku. Mungkin karena kami yang sering bertemu di rumah.

Kuberikan ponselku padanya.

"Nih, pesan. Kamu mau yang mana?"

Ia segera berteriak girang.

"Sekalian buat Rendra ya nanti."

Aku hanya mengangguk dan segera beranjak ke kamar mandi. Ke luar dari sana, Mitha sudah  tiduran di tempat tidur.

"Sanaan." perintahku.

Ia menggeser tubuhnya. Kembali aku berbaring sambil memeluknya.

"Ih, mas Awa. Jorok banget sih." teriaknya.

"Kamu bilang mas jorok. Terus Ovo mas nggak?" balasku sambil memeluknya semakin erat.

"Makanya cari pacar, biar ada yang dipeluk. Ketahuan amat sih jomlo abadi."

"Kalau mas punya pacar, nanti kamu nggak disayang lagi. Mau?" godaku.

Ia hanya cemberut. "Kalau gitu siapa nanti yang sayang sama aku?" rajuknya.

"Ya mas Awa." ucapku sambil mengacak rambut hitamnya.

Ia tertawa lebar. Tak lama Rendra ikut memasuki kamarku.

"Ngapain kalian?"

"Ini, Mas Awa katanya mau punya pacar." teriak Mitha.

"Tapi bohong..." balas Rendra sambil ikut berbaring di sampingku.

"Mas, kita nggak makan-makan nih. Kan minggu ini full manggungnya."

"Udah dipesan sama Mitha. Pizza."

"Asyik." jawab Rendra sambil ikutan tersenyum lebar.

Kami kembali bercengkerama sambil mengobrol. Sampai kemudian, pizza datang lalu menghabiskan bersama. Rasanya sangat bahagia, saat adik-adikku menikmati hasil keringatku.

Entah kenapa, nasehat eyang tentang tanggung jawab anak sulung membekas dalam pikiranku sampai sekarang. Mungkin karena orangtuaku tidak bertanggung jawab kecuali dalam hal uang, itupun lebih sering tidak cukup. Akulah yang mengambil alih tugas itu sekarang.

"Bagaimana kabar cowok yang namanya Jordy itu?" tanyaku.

Beberapa kali Mitha bercerita. Betapa kesalnya ia pada Jordy. Seorang playboy kampus yang selalu mengejarnya. Aku mengenal pemuda itu, sebaya denganku. Namun memiliki perilaku buruk. Selain kuliahnya yang tak kunjung selesai. Juga kegiatannya diluar rumah yang benar-benar membuatku geleng kepala. Mabuk, pesta, freesex, dan juga pengguna narkoba.

Aku tahu karena bandku beberapa kali diundang hadir dalam acara kelompok mereka di sebuah hotel berbintang lima. Mereka kerap  menyewa sebuah ruangan yang sangat eksklusif. Hanya sekitar sepuluh orang. Namun jumlah wanita penghibur yang disewa bisa  mencapai dua puluh orang.

Dari sana aku tahu, kalau acara party mereka gila-gilaan. Aku sampai menggeleng kepala. Bagaimana bisa menghabiskan uang begitu banyak hanya untuk pesta yang tidak jelas tujuannya  selain untuk mabuk dan sakau.

"Masih suka nungguin sih, kalau keluar kampus. Makanya aku suka nebeng temen."

"Sayang kampus mas jauh sama kamu. Kalau nggak, udah mas jemput tiap hari. Kamu, Ren. Bisa jemput Mitha?"

"Jadwalnya sering tabrakan, Mas. Bukan nggak mau." jawab Rendra yang merasa bersalah.

Kutatap wajah adikku yang tengah menikmati pizza. Jelas aku khawatir, laki-laki seperti Jordy pasti penasaran dengan perempuan seperti Mitha. Semoga adikku baik-baik saja. Aku akan berusaha melindunginya dari tangan kotor pria itu.

Sampai sore kami masih di rumah dan menghabiskan waktu bersama. Sampai akhirnya Mitha pamit untuk latihan menari. Rendra yang mengantar kali ini. Aku mengantar mereka sampai pintu. Kembali ke kamar, aku mengambil gitar. Mencoba menciptakan lagu untuk persiapan album baru. Aku suka sekali merangkai kata. Rasanya segala gelisah, kesal, marah dan cinta bisa tertuang disana. Senang rasanya saat para penggemar menikmati lagu yang kuciptakan.

***


Medan 17820

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top