Part 30
Pagi ini, Reza mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Tidak butuh waktu yang lama dia sudah menempatkan motornya di parkiran sekolah. Ketika turun dari motor seperti ini, Ia membuka helm dan kemudian menyisir rambut gelapnya dengan jari. Mempesona. Satu kata sederhana yang cocok untuk dirinya.
Semua siswa yang berada di parkiran tentu saja menyaksikan aksi itu. Penasaran dengan Reza yang beberapa hari menghilang, lalu hari ini muncul dengan cara yang mengejutkan. Ia menggemparkan seluruh isi sekolah dengan kedatangannya yang bukan hanya karena mempesona, tetapi juga kehadiran seseorang yang ikut serta bersamanya. Jarang memang melihat Reza mengizinkan seorang cewek duduk dibelakang jok motor miliknya. Pernah sekali, saat Erin memaksa diantar pulang dan berujung pada kekesalan cewek itu sendiri karena ditinggalkan Reza ketika mengisi bensin. Bahkan Nara pun yang selama ini orang tahu dikejar-kejar oleh Reza tak pernah menaiki motor sport itu.
Hari ini berbeda, di wajah Reza tak ada mimik keterpaksaan. Justru ada senyum disana ketika Ia melangkahkan kaki memasuki pintu lobby bersama Dinda di sampingnya. Bukan hanya Reza yang berbeda, Dinda pun memancarkan aura yang tak biasa. Mungkin saja karena jilbab yang bertengger di kepala membuatnya terlihat semakin anggun. Perbedaan itu terlihat sangat mencolok dan tentu saja menarik perhatian siswa lainnya di sepanjang koridor. Banyak diantara mereka yang mulai berbisik-bisik, berspekulasi tentang keduanya. Reza ataupun Dinda sama sekali tak menghiraukannya. Bagi Reza itu adalaha hal biasa ketika Ia menjadi topik pembicaraan dikalangan siswa. Selama perjalanan menuju kelas, mereka terlihat berbincang-bincang satu sama lain. Sesekali mereka terlihat tertawa bersama. Membuat penggemar Reza seperti cacing kepanasan, padahal udara pagi ini sejuk sekali.
“Woii Reza!” Seruan itu membuat Reza memandang lurus ke arah pintu masuk sekolah di bagian selatan. Dilihatnya Bayu dan Bagas datang menghampiri dari arah yang berbeda. “Lo harus jelasin semuanya ke gue!” Kata Bayu berapi-api ketika mereka semakin dekat.
“Apa?” Tanya Reza dengan menaikkan kedua alisnya.
“Lo kemana aja? Gak ada kabar, terus tiba-tiba muncul dan membuat kehebohan.” Timpal Bagas.
“Apanya yang heboh?” Ucap Reza memandang sahabatnya bergantian.
“Gue merasakan ada bau-bau pacaran disini!” Ungkap Bayu sambil melebarkan cuping hidungnya, mengendus-ngendus di sekitar Reza dan Dinda.
“Kenapa? cemburu?” Dinda mendorong kening Bayu dengan telunjuk, ketika wajah cowok itu mengendus dihadapannya.
“Woi! Wudhu gue batal lo sentuh-sentuh.” Sungut Bayu pura-pura terlihat kesal, “Lo pakai jilbab supaya Reza suka, kan?” Selidiknya lagi dengan memincingkan mata.
“Kalau iya, terus kenapa?” Cewek itu mencebikkan bibir, mencibir Bayu dengan nada angkuh.
“Kalian itu kebanyakan gosip. Jangan terlalu cepat menyimpulkan.” Reza menepuk bahu Bayu, “Yuk ke kelas. Gue pengen jadi anak rajin dari sekarang.” Lalu berjalan melewati keduanya dan juga Dinda.
Bayu dan Bagas menyusul langkah cowok yang sudah lama tak ada kabarnya itu. Bagas merangkul dengan sedikit menimpukkan tubuh gempalnya dan tentu saja mendapatkan protes dari mulut Reza. Sedangkan Bayu yang berada di samping kanan Reza terus mengoceh tentang sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Ahh … Hal inilah yang dirindukan Reza. Seulas senyum juga terlukis di wajah Dinda yang berada di belakang mereka.
***
Jangan pernah berpikir hati cowok selamanya lurus. Tidak selamanya Reza akan perhatian sama lo, karena cowok juga butuh kepastian. Jadi mending lo ungkapin perasaan lo yang sebenarnya kalau gak mau Reza berapaling hatinya ke gue.
Sebuah tangan menyentuh bahunya pelan membuat Nara tersentak kaget. Ia tersadar dari lamunan yang menghadirkan kalimat Dinda dulu. Ia kemudian menoleh dan mendapati senyuman tulus dari Dita. Cewek itu mengangkat kedua alisnya, membentuk kerutan di kening seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya.
“Dita?” Lirih Nara pelan.
“Kenapa? Segitunya ngeliatin aku?” Goda Dita dengan mata jahilnya. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding balkon, bertumpu dengan kedua tangan sambil memperhatikan Reza dan temannya dari kejauhan.
“Kamu gak marah lagi?” Tanya Nara lagi dengan hati-hati.
“Aku masih marah.” Dita menghadapkan tubuhnya ke arah Nara, melihat cewek itu tercekat karena ucapannya tadi.
“Aku marah karena sebagai sahabat aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Ra. Bahkan kamu saja tidak mempercayaiku untuk sebuah rasa yang selama ini kamu pendam. Kamu gak pernah berbagi, selalu menyimpannya sendiri. Dan itu membuatku sebagai sahabat terberengsek sepanjang tahun 2017,” Jelas Dita.
“Maafkan aku Dita. Aku selalu berpikir bahwa tidak semua hal harus diungkapkan.”
“Tapi mengungkapan bisa menjadi jembatan untuk menghindari kesalahpahaman. ”
“Maaf. Aku salah. Aku tidak berniat merusak hubungan … ”
“Aku pikir kamu bahagia. Dari dulu kan kamu nggak pernah setuju sama pacaran!”
“Iya sih, tapi…”
“Aku sedih dan kecewa putus sama Rian. Tapi kamu juga sakit, kan Ra waktu lihat aku berdua sama Rian? Aku bodoh karena tidak menyadari itu, justru selalu pamer hubunganku sama dia. Jadi aku juga salah dan aku gak mau egois, apalagi sampai kehilangan sahabat kayak kamu.”
“Makasih ya Ta dan maafin semua kesalahanku.” Nara menghambur ke dalam pelukan sahabatnya itu.
“Ini kok jadi melo gini, sih?” Dita melepaskan pelukannya, memandang Nara tepat di bola matanya, “Pokoknya mulai sekarang kamu harus jujur sama perasaan kamu sendiri terlepas dari prinsip yang kamu yakini. Pacaran emang gak boleh. Tapi rasa suka dan sayang itu gak diharamkan, kan?”
Nara hanya mengangguk.
“Kamu harus cerita sama aku, termasuk soal Reza.” Dita mengalihkan pandangannya lagi, “Gue gedek banget sama Reza, terlebih sam tuh cewek.” Dagunya terangkat menunjuk Dinda dari lantai 2.
Nara mengikuti arah pandangan Dita, “Hush, gak boleh gitu. Dinda kan gak salah apa-apa!” Cewek itu menunduk dalam,“Aku yang salah karena baru menyadari rasa itu tumbuh,” Lalu menghela napas panjang.
***
Seisi kelas sibuk mengerjakan tugas Fisika dari Bu Rini. Tugas yang diberikan adalah tugas kelompok dengan formasi empat orang setiap regu. Kelompok tersebut ditentukan berdasarkan urutan bangku, bangku pertama dengan bangku kedua dan begitu seterusnya. Nara dan juga Aini segera membalik bangku mereka sehingga berhadapan dengan temannya yang di belakang. Dari posisi ini, Nara bisa menyaksikan Reza yang tengah sibuk memainkan penanya di atas buku. Mata cowok itu fokus memerhatikan setiap soal yang dikerjakannya. Sesekali Ia terlihat berdiskusi dengan teman satu kelompoknya, termasuk Dinda. Mata cowok itu bergerak ke kanan, sedang menoca memikirkan sesuatu dengan serius. Lalu kepalanya mengangguk, seuntai senyum pun terbentuk. Pupilnya mulai bergerak ke bawah, namun terangkat kembali ketika menyadari seseorang tengah menatapnya. Bola mata itu berhenti tepat di manik mata milik Nara. Mata mereka bertemu. Hanya sebentar. Karena detik berikutnya Nara segera membuang muka. Malu. Tertangkap basah memerhatikan Reza.
Nara merutuki dirinya sendiri. Cewek itu mendesis dan mengeluh. Bodoh. Rasanya pengin sekali Ia meminjam pintu ke mana saja milik doraeomon, dan menghilang dari tempatnya sekarang juga. Ahh, Ia malu sekali.
“Kenapa Ra?” Tanya Aini disebelahnya.
“Eh?” Nara menoleh sekilas, lalu mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Mmm … Ini aku nggak ngerti soal nomer 3.”
Aini mengernyit heran. Pasalnya mereka telah menyelesaikan soal nomer 3 beberapa menit yang lalu, bahkan soal itu dikerjakan oleh Nara sendiri. Ckck … Aini mendecakkan lidah, “Kamu gak fokus? Kita kan sudah mengerjakan soal nomer 3, Ra?”
Nara memeriksa buku catatannya, lalu menyengir lebar ketika menyadari kecerobohannya. “Maksudku nomer 5, hehe.” Lagi-lagi Nara terkekeh sendiri. Aini menggelengkan kepala, kemudian kembali mengerjakan sisa soal lainnya. Pun dengan Nara yang berusaha mengembalikan konsentrasinya.
Semenjak hari itu, Reza sedikit demi sedikit terlihat berubah. Terbukti saat Ia mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Guru. Tidak seperti biasa, dimana cowok itu kerap kali menghilang dari kelas di saat jam belajar. Lalu kembali sebelum 15 menit bel berbunyi. Sesekali Ia juga terlihat mengunjungi perpustakaan di jam istrirahat, suatu hal yang tentunya sangat jarang Reza lakukan. Tidak seperti dulu ketika cowok itu lebih memilih nongkrong di kantin atau bahkan yang lebih parahnya bersembunyi di belakang kantin untuk menyesap rokok bersama teman-temannya. Bukan hanya itu, jam istrirahat biasanya dimanfaatkan oleh Reza untuk menjahili teman kelasnya sampai menjahili guru yang tidak disukainya.
Siswa sekolah yang mendapat cap biang kerusuhan ini juga sekarang mulai terlihat lebih disiplin. Ia mulai mengubah kebiasaan telatnya yang sudah mendarah daging. Meskipun sulit, tapi belum tentu tidak bisa dijalankan. Buktinya, beberapa kali Reza berhasil datang ke sekolah tepat waktu. Misalnya saja hari Jum’at ini, Semua siswa tercengang dibuatnya. Mereka tidak percaya ketika Reza dengan anteng berjalan ke dalam Aula. Tidak ada lagi adegan kehar-kejaran seperti di film India untuk menyuruhnya mengikuti kegiatan ngaji bersama. Perubahan ini tentu saja mendapatkan perhatian dari yang lain, ada yang senang tapi tak jarang pula terdengar cibiran yang mengatakan bahwa itu hanya pencitraan saja. Maka saat Reza melintas di koridor bersama Dinda, sering kali nada meremehkan terdengar di kupingnya. Hal tersebut tentu saja mengundang emosi Dinda, tapi Reza benar-benar berubah. Ia tidak menghiraukan omongan teman-temannya itu, justru menghalangi Dinda untuk membalas. Percuma. Karena membalas ucupan buruk mereka dengan perbuatan buruk bukanlah suatu tindakan yang dicontohkan oleh nabi kita, ujarnya kala itu.
Nara pun ikut bahagia dengan perubahan yang ditunjukkan Reza, tapi Ia juga kecewa disaat yang bersamaan. Mengapa? Entahlah … Ia hanya merasa kehilangan. Salahkah jika Nara merasa begitu?
***
“Hai!” Sapaan itu terdengar tidak asing di telinga Nara. Ia menoleh. Cewek itu tersentak kala melihat sosok Reza menghampirinya yang tengah duduk sendiri di halte bus, menunggu jemputan yang tak kunjung datang.
“Aku boleh duduk disini?” Tanya Reza ketika melihat Nara diam.
Cewek itu melirik dari sudut matanya, merasa aneh dengan sikap Reza. “Boleh.” Kata Nara mempersilahkan. Cowok itu pun duduk, mengambil posisi sebelah kiri Nara dengan menyisakan jarak diantara mereka.
“Sendirian aja?” Tanya Reza tanpa menghadap ke Nara.
“Tadi sama Dita, tapi dia sudah dijemput.” Sama seperti Reza, Nara pun memandang lurus ke depan. Matanya sibuk mengamati kendaraan yang lalu lalang, meskipun telinganya fokus mendengarkan kalimat Reza.
“Ohh. Syukurlah kalau kalian tidak marahan lagi.” Nara melebarkan pupil matanya, lalu menoleh sebentar dengan dahi berkerut. Ia bingung bagaimana Reza tahu soal permasalahannya dengan Dita. Pasalnya, selama masalah itu bergulir Reza tidak ada di sekolah.
“Apa kabar?” Suara itu kembali memecah pikiran Nara sendiri. Ia sebenarnya heran dengan obrolan yang entah mengapa terasa berbeda dari biasanya. Reza berubah. Tidak seperti kemarin yang asal ceplos ketika bicara. Juga tidak ada candaan yang diam-diam membuat Nara tersenyum saat mengingatnya.
“Aku baik,” Jawab Nara pelan.
“Kamu?” Lanjutnya lagi.
“Selalu baik.” Bibirnya membentuk senyuman dengan mata yang berbinar. Reza terlihat bahagia, pikir Nara. Ia pun ikut bersyukur melihat itu.
“Gak mau nanyak siapa Dinda?”
Senyuman yang baru saja Nara ingin sunggingkan pupus ketika kalimat itu meluap dari mulut cowok itu. Ia menghela napas pendek dan rasanya ingin berteriak dihadapan Reza, cewek itu gak suka ditanya! Nara kesal, kenapa Reza nggak langsung menceritakan saja tentang siapa Dinda. Tapi kalimat yang keluar justru kontra dengan isi hatinya, “Buat apa? Toh itu bukan urusanku.”
Nara bisa melihat dari celah matanya bahwa Reza menoleh sebentar, lalu menundukkan wajahnya. Kemudian menganggukan kepala seolah Ia baru memahami sesuatu. Cowok itu berusaha menerima kenyataan. Tidak mau sedih ataupun marah lagi.
“Benar juga. Kamu kan bukan siapa-siapaku.” Lagi-lagi Reza berusaha membentuk senyuman. Tepatnya senyuman yang dipaksakan ketika matanya bertemu sesaat dengan mata bulat milik Nara.
Deg.
Lidah Nara kelu, tiba-tiba tidak bisa menjawab pernyataan Reza itu. Ia tak berkutik dari senyum simpul cowok itu. Seperti ada arus listrik yang menyengat seluruh tubuh, rasa sesak dan ngilu menggelanyar dibagian terpenting hatinya. Kamu bukan siapa-siapa, Nara. Kalimat itu terngiang memenuhi isi otaknya, membuatnya serasa jatuh ke pangkuan bumi.
“Kamu mau aku anter?”
Nara segera menoleh. Ia berusaha menahan letupan amarah yang tak menentu. Baru saja cowok itu menjatuhkannya ke dasar jurang, kini Ia mengulurkan tangan seolah memberikan harapan. Huh, dasar menyebalkan.
“Nggak usah. Bentar lagi Kak Revan datang kok.”
“Ya udah, aku duluan.” Reza bangkit dari duduknya. “Oh ya,” Sebelum benar-benar pergi, Ia berdiri menghadapkan tubuhnya ke Nara. Cewek itu pun mendongak, penasaran dengan kalimat Reza yang selanjutnya. “Aku cuma mau bilang makasih untuk semuanya, Aku bahagia bisa mengenalmu. Dan aku juga minta maaf udah ganggu kamu selama ini. Semoga kita bisa tetap berteman setelah ini.” Reza menyunggingkan senyum tulus, lalu berbalik meninggalkan Nara dalam kesendiriannya.
***
“Sial! Kok aneh ya. Kaku banget tadi gue ngomong sama Nara.” Keluh Reza ketika sudah berhadapan dengan Aldo yang menunggunya di parkiran.
Aldo tertawa, “Karena lo udah terbiasa ngomong asal nyablak aja.” Cowok itu menghentikan tawanya, “Tunggu bentar, kok Nara? Gak ada Ai lagi?” Tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.
“Besok sajalah kalau sudah sah.” Reza terkekeh kemudian melangkah menuju motornya.
“Baguslah. Doa adalah cara terbaik mencintai seseorang. Kita masih terlalu muda untuk mengejar sesuatu yang sifatnya sementara. Habis lo dapat hatinya, terus mau ngapain? Pacaran? Nanti juga ujung-ujungnya putus waktu masuk kuliah. Karena gak sanggup LDR-lah atau yang lebih nyesek karena menemukan cewek yang lebih bening dari pacar SMA-nya. Kita punya jalan cerita masing-masing dan perjalanan cerita kita masih jauh. Terlalu dini menurut gue kalau ngomongin masalah hati. Yah walaupun itu pasti normal untuk remaja seusia kita.” Cerocos Aldo mengikuti dan mensejajarkan langkahnya dengan Reza.
“Widihhh berat omongan lo!” Reza menoleh sebentar, “Tapi gue setuju dan sekarang gue mau berusaha dengan cara yang lain. Berusaha mengejar cita-cita yang sempat gue lupain.”
Reza berdiri di samping motor, lalu mengenakan helmnya, “Ayok lah. Gue gak mau kena marah Dinda karena telat.”
“Ngomong-ngomong lo ceramahin pakai apa, makanya Dinda pakai jilbab lagi?” Tanya Aldo penasaran. Tetapi Ia tidak mendapatkan jawaban, Reza justru sibuk menyalakan mesin motornya sendiri. “Jangan-jangan emang benar kata anak-anak, Dinda pakai jilbab karena pacaran sama lo?” Ujarnya lagi karena tak kunjung mendapatkan balasan.
“Lo emang gak berubah. Ngeselin kalau ngomong.” Reza mendengus mendengar kalimat itu. Lalu tangannya terjulur menyerakan satu helm lainnya kepada Aldo, “Buruan naik atau gue tinggal nih?”
Aldo meraih helm itu, menggunakannya seraya berkata, “Gue pikir lo udah lupa sama hubungan kalian berdua.” Lalu Ia menaikkan tubunya untuk duduk di jok motor.
Reza menutup kaca helm, lalu tancap gas meninggalkan sekolah. Seiring dengan deruan mesin motor, Reza berujar, “Karena Mama sayang banget sama dia, Do. Jadi gak mungkin.” Mereka kemudian sama-sama diam, meluncur menuju rumah Aldo yang disana Dinda sudah menunggunya.
***
Semoga suka. Maafkan kalo banyak typo dan maaf kalo gak sesuai ekspektasi kalian.
Jangan lupa vomment yah. Komennya yang panjang juga gak apa-apa.
Aku pengen tahu gimana pendapat kalian tentang cerita ini sampai bab 30 sekarang.
Mmm... Mau nanya dong. Apa sih alasan kalian pertama kali klik cerita ini? Dan masih bertahan sampai sekarang? Tahu cerita ini dari mana?
Jawab yah 😁
See you 😉
Senin, 3 Juli 2k17.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top