Part 28

Nara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Ia berusaha menghubungi Dita semenjak tadi sore, namun tidak ada balasan. Usai sholat Isya, cewek itu kembali menelpon ataupun mengirim pesan ke Dita. Sungguh, Nara merasa bersalah dengan kejadian tadi di sekolah. Ia tak pernah menyangka bahwa Rian juga menyimpan perasaan seperti dirinya.

Nara meletakkan kembali ponselnya. Lalu Ia berbaring, memandang langit-langit kamarnya. Cewek itu rupanya sedang bernostalgia. Ia memang suka Rian. Tapi itu dulu. Perasaan itu telah berubah seiring berjalannya waktu. Ada sesuatu yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Meskipun awalnya Ia tidak pernah menghiraukan hal itu. Namun lambat laun, kehadiran orang itu membuatnya terbiasa. Ia pun akhirnya mempercayai kata orang bahwa perasaan itu hadir ketika sudah terbiasa bersama.

Nara menghela napas dan seiring dengan helaan itu, ponselnya bergetar dengan layar menyala.

Satu pesan masuk.

Cewek itu lantas bangun dan segara meraih ponselnya, sembari berharap pesan itu dari Dita.

Plg yth, paket 500MB + 1.5GB lokal 30 hari anda telah berakhir. Selanjutnya akan dikenakan tarif non paket. Aktifkan kembali Paket Flash Anda di *363#

Haisshh...

Nara membanting ponsel ke atas kasur. Kesal, akhirnya Ia pun menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia berusaha memejamkan mata, melupakan semua yang terjadi untuk sesaat.

Keesokan harinya, Nara berpapasan dengan Dita, Intan dan Lala. Nara yang baru keluar dari Aula sekolah segera menghentikan langkah Dita yang berniat ke kantin. Cewek itu berusaha menjelaskan segalanya kepada Dita. Ia mengatakan bahwa tidak pernah berencana menghancurkan hubungan sahabatnya itu. Soal perasaan Rian, Nara pun mengaku kaget. Selain itu, Nara juga mengaku tentang dirinya yang pernah menyukai Rian.

Dita tersentak kaget mengetahui satu fakta yang selama ini disembunyikan Nara. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah, kejujuran Nara justru membuat Dita semakin geram.

"Seandainya lo jujur dari awal, semua ini gak bakalan terjadi. Dasar munafik!" Teriak Dita garang.

"Aku pikir tidak semua perasaan harus diungkapkan. Maafkan aku Dita." Ungkap Nara lembut dengan wajah memelas.

"Maaf lo basi! Kejujuran lo udah gak ada gunanya lagi. Minggir!" Dita mendorong tubuh Nara ke samping. Lalu melanjutkan jalannya bersama Intan. Sementara Lala diam di tempat untuk menghibur Nara.

"Dita butuh waktu untuk kembali seperti semula. Dua orang manusia tidak akan menjadi seorang teman sebelum mereka saling bertemu, bermalam, berhutang dan memiliki masalah. Jadi masalah itu wajar dalam persahabatan. Justru masalah itulah yang akan membuat kita semakin kuat dan saling memahami." Lala menggenggam pundak kanan Nara, berusaha memberikan kekuatan sahabatnya yang kini tengah memandang kepergian Dita.

***

"Dita, aku mau ngomong sama kamu!" Rian meraih tangan Dita dari belakang dan berusaha menghentikan langkah cewek itu.

"Lepas! Lo gak berhak nyentuh gue!" Dita berbalik dan menghempaskan tangan Rian. Matanya menatap tajam ke arah mantannya itu, sebelum akhirya memunggungi Rian dan pergi.

Namun sekali lagi, Rian menggapai lengan Dita dan kali ini menarik paksa cewek itu.

Tentu saja Dita memberontak, berusaha melepasakan dirinya dari cengkraman Rian. Sumpah serapah pun tak luput dari bibirnya. Cewek itu tak lagi meronta ketika beberapa mata menatap mereka. Koridor sekolah yang sepi berubah ramai karena bel pulang berbunyi. Hal tersebut mengakibatan Dita harus bersabar jika tidak mau menjadi bahan gosip esok harinya.

"Lo mau apa? Gak cukup nyakitin gue kemarin?"

"Dita... Ini semua salahku, jadi nggak apa-apa kalau kamu benci sama aku. Tapi aku mohon, jangan marah ataupun benci sama Nara."

Dita melongo, lalu tersenyum miring. Ia tidak habis pikir bahwa Rian menyeretnya ke taman belakang sekolah hanya demi Nara.

"Ucapan lo membuat gue semakin membencinya!"

"Aku minta maaf dan terserah kamu memaafkan atau tidak. Tapi sekali lagi, aku nggak mau melihat persahabatan kalian hancur hanya karena aku." Rian menghela napas sejenak, "Kamu nggak salah apa-apa, begitu pun dengan Nara. Tapi beginilah kenyataannya, aku harus jujur sepahit apapun itu. Aku nggak mau kamu semakin tersakiti jika aku tetap dalam kebohongan. Aku harap kamu mengerti Dita. Sekali lagi maaf sebesar-besarnya."

Rian menunduk dalam, kemudian kepala itu terangkat. Matanya memandang lurus ke Dita yang membuang muka.

"Mau pulang bareng?" Tawarnya.

Dita menghela napas untuk menetralisir rasa sesak yang kian membuncah. Lalu kepalanya kembali lurus ke depan, menatap Rian dengan mata elangnya.

"Gue sangat berterima kasih kalau lo menyingkir dari hadapan gue!"

Rian memahami gadis itu dan kakinya pun perlahan berbalik meninggalkan Dita bersama taman yang sepi.

Setelah kepergian Rian, Dita berjongkong seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia benci dengan dirinya sendiri, Ia menyuruh cowok itu pergi namun hatinya justru semakin tertikam melihat punggung Rian kian menjauh.

Cewek itu mengusap wajahnya dan menyeka bulir bening yang terbendung di kelopak mata. Kemudian membuka mata dengan Pupil yang melebar saat menyadari sepasang kaki berpijak di atas rumput berada dihadapannya. Lalu Dita pun mendongak. Dahinya berkerut melihat sosok laki-laki yang tengah bersedekap itu.

"Lagi nangis?"

"Ngapain lo disini?" Tanya Dita sembari bangkit, "Mau menertawakan gue?" Lanjutnya saat posisinya sudah sejajar dengan Aldo.

"Gak boleh Su'udzon!" Kata Aldo memperingatkan.

"Patah hati itu bertahan selama kamu menginginkannya dan akan mengiris luka sedalam kamu membiarkannya. Tantangannya bukanlah bagaimana bisa mengatasi melainkan apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dan hikmahnya sehingga tak akan terulang lagi kesalahan yang sama."

"Lo gak tahu apa-apa soal cinta, jadi gak usah banyak cincong deh!" Ujar Dita sewot dan berjalan meninggalkan taman.

Aldo tersenyum sekilas, lalu mengikuti langkah Dita dan mesejajarkan posisinya.

"Terkadang orang yang memilih tidak pacaran lebih memahami arti cinta dibandingkan mereka yang mengobral kata cinta. Gue lebih memilih tidak pacaran karena gue gak mau ada cewek yang tersakiti seperti lo. Gue gak mau hanya karena hubungan sesaat bisa menghancurkan pertemanan yang udah bertahun-tahun."

Dita menghentikan langkahnya, kemudian memiringkan badan menghadap ke Aldo.

"Gak usah ikut campur sama urusan gue. Urus saja hidup lo sendiri!"

Cewek itu lebih mempercepat jalannya karena tidak ingin mendengarkan kalimat Aldo lagi. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan Aldo memang benar adanya. Tapi untuk saat ini Ia belum bisa memaafkan sepenuhnya, entah itu Rian ataupun Nara. Dita butuh waktu untuk menata kembali hatinya yang hancur.

Sementara di belakang, Aldo tetap mengikuti jejak Dita. Cowok itu sadar bahwa seseorang marah bukan berarti tidak mau mendengarkan nasehat. Hanya saja cara orang berbeda-beda dalam menghadapi suatu masalah.

"Kenapa lo ngikutin gue?" Dita mengurungkan kakinya yang hendak masuk ke angkot dan berbalik menghadap Aldo yang sedari tadi mengikutinya.

"Gak usah kepedean! Gue juga mau pulanglah. Buruan naik!"

"Terus ngapain lo naik angkot ini?" Tanya Dita lagi setelah duduk di bangku belakang sopir.

"Emang angkot ini punya nenek moyang lo? Terserah gue dong," Jawab Aldo santai sembari melepaskan tas dari punggungnya dan mengambil posisi bangku paling belakang berseberangan dengan Dita.

Dita mencebikkan bibirnya. Ia kesal dengan jawaban Aldo sekaligus heran. Sepengetahuan Dita, Aldo biasanya pulang menggunakan sepeda motor. Baru kali ini Ia melihat Aldo naik angkot dan tahu bahwa ternyata rumah mereka searah. Cewek itu kemudian melirik Aldo dan melihat cowok itu membatasi dirinya dari beberapa sisiwi yang juga naik angkot dengan tasnya.

"Siapa suruh naik angkot!" Dumel Dita dalam hati saat menangkap kerisihan Aldo di dekat para cewek. Dia pun menghela napas, tak mau ambil pusing dengan kehadiran Aldo.

Butuh 15 menit untuk sampai di lingkungan rumah Dita. Cewek itu lantas menghentikan angkot begitu sampai di depan komplek perumahan lingkungan tempatnya tinggal. Sebelum turun, Dita sempat melirik Aldo dan kemudian bergegas meninggalkan angkot yang membuatnya kegerahan.

Baru beberapa detik angkot melintasi jalan, Aldo menghentikan angkot itu lagi. Kemudian turun dengan meraup udara sebanyak-banyaknya. Cowok itu mengenakan tasnya kembali dengan mata mengamati jalanan. Ia menyeberang dan menghentikan angkot lainnya untuk kembali ke sekolah dengan tujuan mengambil motor yang ditinggalkannya. Sebelum tenggelam ke dalam angkot, sekali lagi matanya memandang gerbang cokelat yang menjadi pintu masuk perumahan Griya Indah. Menatap lekat dengan tekad yang dipanjatkannya, Ya Allah aku berlindung dari ketaqwaan yang luntur karena bertemunya dua hati yang saling merindu.

***

Motor itu melaju membelah jalanan Kota yang mulai memadat seiring dengan datangnya senja. Kendaraan roda dua atau roda empat mulai mengisi setiap sisi jalan. Deringan klakson ribut mengganggu pendengaran, bak dentuman musik pengiring perjalanan. Motor Reza meliuk-liuk diatas aspal menghindari arus yang sedikit macet. Sesekali mata hitamnya melirik ke arah spion. Sesosok gadis terpantul di kaca itu.

Mereka baru saja kembali setelah beberapa hari meninggalkan hiruk pikuk keramaian Kota, menenangkan diri ke rumah masa kecil. Rumah yang tidak hanya memberikan cinta untuk Reza, tapi juga meninggalkan luka. Ia ingin berdamai dengan masa lalu, bukan menghapus atau melupakannya, begitulah tujuannya datang berkunjung. Kini ia terlahir kembali dengan harapan yang sempat dilupakan. Sekali kali lagi, Reza ingin berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang beberapa tahun terlelap. Meskipun sulit, bukan berarti hal itu mustahil. Bersama gadis yang kini duduk di belakangnya, Reza yakin bahwa cita-cita itu masih ada.

***

TBC. Just waiting!

Im sorry if you don't like this part :)

See you soon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top